Jumat, 30 Januari 2015

ASPEK HUKUM TERHADAP KEWAJIBAN SUAMI YANG SEDANG MENJALANI MASA PIDANA PENJARA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN




A. Tujuan Perkawinan sebagai Wujud Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Suami Isteri
Tujuan perkawinan pada dasarnya adalah untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat, dengan mendirikan sebuah kehidupan rumah tangga yang damai dan tentram. Tujuan perkawinan ini bisa dilihat dari dua sudut pandang yaitu menurut Hukum Islam dan menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yang dapat dijelaskan sebagai berikut :
        Menurut Hukum Islam, bahwa tujuan perkawinan dalam Islam adalah untuk memenuhi tuntutan hajat tabiat kemanusiaan, untuk berhubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan suatu keluarga yang bahagia dorongan dasar cinta kasih, serta untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah diatur oleh syariah. Selain itu ada pendapat yang mengatakan bahwa tujuan perkawinan dalam Islam selain untuk memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani  manusia, juga sekaligus untuk membetuk keluarga dan memelihara serta meneruskan keturunan dalam menjalankan hidupnya di dunia ini, juga untuk mencegah perzinaan, agar tercipta ketenangan dan ketentraman jiwa bagi yang bersangkutan, ketentraman keluarga dan masyarakat.
         Dengan demkian, tujuan perkawinan menurut ajaran agama Islam yaitu menghalalkan hubungan kelamin untuk memenuhi tuntutan  hajat  tabiat manusia, mewujudkan suatu keluarga dengan dasar cinta kasih, dan  memperoleh keturunan yang sah atau dapat diperinci lagi bahwa perkawinan mempunyai faedah lima macam yaitu :
1.      Memperoleh keturunan yang sah yang akan melangsungkan keturunan serta memperkembangkan suku-suku bangsa manusia.
2.      Memenuhi tuntutan naluriah hidup kemanusiaan.
3.      Memelihara manusia dari kejahatan dan kerusakan.
4.      Membentuk dan mengatur rumah tangga yang menjadi basis pertama dari masyarakat yang besar atas dasar kecintaan dan kasih sayang.
5.      Menumbuhkan kesungguhan berusaha untuk mencari rizki penghidupan yang halal dan memperbesar rasa tanggung jawab.
Untuk lebih jelasnya mengenai tujuan dan faedah perkawinan di atas maka akan diuraikan satu persatu sebagai berikut :
1.      Untuk memperoleh keturunan yang sah yang akan melangsungkan keturunan serta akan memperkembangkan suku-suku bangsa manusia. Memperoleh keturunan dalam perkawinan bagi penghidupan manusia merupakan dambaan setiap orang, ini dapat dirasakan bagaimana perasan seorang suami isteri yang hidup berumah tangga tanpa seorang anak, tentu kehidupannya akan sepi dan hampa. Di samping itu keinginan untuk memperoleh anak biasa dipahami, karena anak-anak itulah yang nantinya bisa diharapkan membantu ibu bapaknya di kemudian hari. Dan dilhat dari  kepentingan yang bersifat umum atau universal anak-anak itulah yang menjadi penghubung atau penyambung keturunan seseorang dan yang akan berkembang dalam masyarakat yang bangsa dan bernegara untuk menjadi khalifah yang kelak nanti akan memakmurkan dunia.
2. Memenuhi tuntutan naluriah hidup kemanusiaan memepunyai makna bahwa Tuhan telah menciptakan manusia dengan jenis kelamin yang berlainan yaitu laki-laki dan perempuan.  Sudah menjadi kodrat manusia bahwa antara laki-laki dan perempuan memiliki daya tarik.  Daya tarik ini adalah kebirahian atau seksual.  Sifat ini yang merupakan tabiat kemanusiaan.  Dengan perkawinan pemenuhan tuntutan tabiat kemanusiaan dapat disalurkan secara sah.
3. Memelihara manusia dari kejahatan dan kerusakan mengandung pengertian bahwa dengan perkawinan manusia akan selamat dari perbuatan amoral, disamping akan merasa aman dari keretakan sosial. Bagi orang yang memiliki pengertian dan pemahaman akan nampak jelas bahwa jika ada kecenderungan lain jenis itu dipuaskan dengan perkawinan  yang disyariatkan dengan hubungan yang halal.  Maka manusia baik secara individu maupun kelompok akan menikmati adab yang utama dan ahklak yang baik.  Dengan demikian masyarakat dapat  melaksanakan risalah dan memikul tanggung jawab yang dituntut oleh Allah SWT.
4. Membentuk dan mengatur rumah tangga yang menjadi basis utama atau  madrasyah pertama dalam kehidupan bermasyarakat yang luas atas dasar kecintaan dan kasih sayang memepunayai makna bahwa Ikatan perkawinan adalah ikatan lahir batin yang berupa asas cinta dan kasih sayang merupakan salah satu alat untuk memperkokoh ikatan perkawinan.
5.   Menumbuhkan kesungguhan berusaha untuk mencari rizki penghidupan yang halal dan memperbesar rasa tanggung jawab mengandung pengertian bahwa hidup disebuah keluiarga bukan hanya sekedar hidup saja melainkan bagaimana dalam kehidupan keluarga tersebut dapat mempertahankan kehidupan,  oleh karena itu  hidup dalam sebuah keluarga ditutut untuk  mencari sumber kehidupan salah satunya adalah makanan dengan cara yang tidak melanggar aturan norma-norma yang berlaku dalam kehidupan masyarakat, istilah agama mempunyai makna yaitu mencari rezki dengan cara yang telah disyariatkan dengan tujuan, untuk mendapat sumber   kehipuan yang  khalal.

           Rasa cinta dan kasih sayang inilah kedua belah pihak yang melakukan ikatan perkawinan itu berusaha membentuk rumah tangga yang bahagia. Dari rumah tangga inilah kemudian lahir anak-anak, kemudian bertambah luas menjadi rumpun keluarga demikian seterusnya sehingga tersusun masyarakat besar. Dengan demikian tanpa adanya perkawinan, tidak mungkin ada keluarga dan dengan sendirinya tidak ada pula unsur yang mempersatukan bangsa manusia dan selanjutnya tidak ada peradaban. 
          Hal ini sesuai dangan pendapat Mohamad Ali yang dikutip oleh  Soemiyati mengatakan bahwa : “ Keluarga yang merupakan kesatuan yang nyata dari bangsa-bangsa manusia yang menyababkan terciptanya peradaban hanyalah mungkin diwujudkan dengan perkawinan”. Oleh sebab itu dengan perkawinan akan terbentuk  keluarga dan dengan keluarga itu akan tercipta peradaban.
          Menumbuhkan kesungguhan berusaha mecari rizki kehidupan yang halal dan memperbesar rasa tanggung jawab. Pada umumnya pemuda dan pemudi sebelum melaksanakan perkawinan, tidak memikirkan soal penghidupan, karena tanggung jawab mengenai kebutuhan kehidupan masih relatif kecil dan lagi segala keperluan masih ditanggung orang tua.  Tetapi setelah mereka berumah tangga mereka mulai menyadari akan tanggung jawabnya dalam mengemudikan rumah tangga.  Suami sebagai kepala keluarga mulai memikirkan bagaimana mulai mencari rezeki yang halal untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga.  Dengan keadaan yang demikian akan menambah aktifitas kedua belah pihak, suami berusaha sungguh-sungguh dalam mencari rezeki lebih-lebih apabila mereka sudah memiliki anak.
     Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, Pasal 1 merumuskan bahwa “Perkawinan ialah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasar Ketuhanan Yang MahaEsa”.  Dari rumusan tersebut dapat dimengerti bahwa tujuan pokok perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk  itu suami isteri perlu saling membantu agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual maupun material.  Selain itu, tujuan material yang akan diperjuangkan oleh suatu perjanjian perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama, sehingga bukan saja mempunyai unsur lahir atau jasmani, tetapi unsur batin atau rohani juga mempunyai peranan penting (Pejelasan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan).
Jadi perkawinan adalah suatu perjanjian yang diadakan oleh dua orang, dalam hal ini perjanjian antara seorang pria dan seorang wanita dengan tujuan material, yaitu membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaa Esa, sebagai asas pertama dalam Pancasila.
Berdasarkan uraian di atas maka tujuan perkawinan dapat di jabarkan sebagai berikut :
1. Melaksanakan ikatan perkawinan antara pria dan wanita yang sudah dewasa guna membentuk kehidupan rumah tangga.
1.      Mengatur kehidupan seksual antara seorang laki-laki dan perempuan sesuai dengan ajaran dan firman Tuhan Yang Maha Esa.
2.      Memperoleh keturunan untuk melanjutkan kehidupan kemanusiaan dan selanjutnya memelihara pembinaan terhadap anak-anak untuk masa depan.
3.      Memberikan ketetapan tentang hak kewajiban suami dan isteri dalam membina kehidupan keluarga.
4.      Mewujudkan kehidupan masyarakat yang teratur, tentram dan damai.
Berdasarkan uraian di atas, maka tujuan perkawinan dapat dicapai dengan pelaksanaan hak dan kewajiban di antara suami isteri. Bilamana hak dan kewajiban di antara pasangan suami isteri dapat terlaksana dengan baik, maka ikatan perkawinan itu berlangsung dengan baik dan tujuan untuk mencapai kebagian hidup dapat tercapai pula.
Tujuan perkawinan adalah misi atau cita-cita perkawinan itu sendiri yang mana pasangan suami isteri juga menghendaki untuk mencapainya. Untuk mencapai tujuan perkawinan tidak semudah apa yang dibayangkan oleh pasangan suami isteri. Tidak sedikit tantangan atau hambatan yang menghalaunya, tetapi hal itu dapat teratasi bilamana perkawinan itu dibangun dengan keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini yang dapat menjadi semangat dalam membentuk keluarga atau rumah tangga.
Perkawinan adalah untuk membentuk hubungan hak dan kewajiban antara suami dan isteri, yang mana salin diperlukan antara yang satu dengan yang lainnya. Lemahnya hubungan hak dan kewajiban dapat dibayangkan bagaimana lemahnya ikatan perakwinan itu sendiri. Akibatnya, terjadi ketidakseimbangan hak dan kewajiban yang mana salah satu pihak dapat menuntutnya.
Dengan demikian dalam perkawinan harus senantiasa menjaga keseimbangan hak dan kewajiban suami isteri. Tidak diperkenankan salah satu pihak mengabaikan kewajibannya kepada pasangannya, dan sebaliknya. Bilamana kewajiban rumah tangga diabaikan, maka ikatan perkawinan itu akan melemah dan selanjutnya akan berbalik arah tidak lagi untuk mencapai tujuan perkawinan tetapi mengarah pada perceraian perkawinan.  

A.    Kewajiban Suami  yang Sedang Menjalani Masa Pidana Penjara Ditinjau Dari Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
Perkawinan merupakan kesepakatan bersama antara suami dan isteri untuk melakukan suatu perjanjian perikatan sebagai suami dan isteri. Dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dijelaskan bahwa Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dalam hal mewujudkan tujuan dari suatu perkawinan sangat diperlukan kerja sama yang baik antara suami dan isteri dalam hal menjalankan hak dan kewajiban masing-masing pihak. Yang dimaksud dengan hak adalah sesuatu yang seharusnya diterima seseorang suami atau isteri setelah ia memenuhi kewajibannya. Sedangkan kewajiban adalah sesuatu yang seharusnya dilaksanakan oleh seseorang suami atau isteri untuk mendapatkan hak. Dalam hal ini apa yang dinamakan hak isteri merupakan kewajiban dari suami, begitupula sebaliknya. Jadi, hak dan kewajiban antara suami isteri terus berlangsung selama ikatan perkawinan. Selama ikatan perkawinan, suami atau isteri terikat oleh ikatan hak dan kewajiban. Oleh karena itu, suami atau isteri tidak diperkenankan meninggalkan salah satunya hingga batas waktu yang cukup lama.
Secara umum menurut Pasal 33 dan Pasal 34 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, bahwa suami-isteri wajib saling setia dan mencintai, hormat-menghormati, dan saling memberi bantuan secara lahir dan batin. Suami wajib melindungi dan memenuhi keperluan hidup rumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Begitu pula sang isteri, isteri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya.
Berbicara mengenai hak dan kewajiban isteri-suami menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, maka hak dan kewajiban tersebut dapat dipisahkan menjadi dua kelompok, yaitu hak dan kewajiban yang berupa kebendaan, yaitu mahar dan nafkah dan hak dan kewajiban yang bukan kebendaan.
Hak dan kewajiban yang berupa kebendaan antara lain sebagai berikut :
1.      suami wajib memberikan nafkah pada isterinya. Maksudnya adalah suami memenuhi kebutuhan isteri meliputi makanan, pakaian, tempat tinggal dan kebutuhan rumah tangga pada umumnya. Nafkah tersebut adalah kebutuhan pokok isteri berkaitan dengan manfaat suatu benda yang keberadaananya sangat penting.
2.      Suami sebagai kepala rumah tangga. Dalam hubungan suami-isteri maka suami sebagai kepala rumah tangga dan isteri berkewajiban untuk mengurus rumah tangga sehari-hari dan pendidikan anak. Akan tetapi, ini tidak berarti sang suami boleh bertindak semaunya tanpa memperdulikan hak-hak isteri. Apabila hal ini terjadi maka isteri berhak untuk mengabaikannaya. Jadi, dalam urusan tersebut adalah persoalan kepemimpinan suami dalam rumah tangga. Isteri berhak memperoleh arahan dari suami mengenai misi suami untuk masa depan. Tentu saja misi yang dimaksud adalah misi keselamatan dan kesejahteraan keluarga. Suamilah yang lebih dominan memikirkan misi rumah tangganya. Sebab tujuan dari perkawinan itu sendiri adalah untuk membentuk kehidupan rumah tangga yang bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Adapun hak dan kewajiban suami-isteri yang bukan kebendaan yaitu sebagai berikut :
1.      Suami wajib memperlakukan isteri dengan baik. Maksudnya suami harus menghormati isteri, memperlakukannya dengan semestinya dan bergaul bersamanya secara baik.
2.       Suami wajib menjaga isteri dengan baik. Maksudnya suami wajib menjaga isteri termasuk menjaga harga diri isteri, menjunjung kemuliaan isteri dan menjauhkannya dari fitnah. Jadi, kewajiban suami isteri tersebut harus saling memperhatikan untuk kepentingan bersama. Tidak diperkenaankan suami isteri salaing celah mencela baik secara berdua atau di hadapan orang lain. Suami isteri harus saling jaga menjagai, pelihara memeliharai satu sama lain. Sebab keselamatan kehidupan rumah tangga terdapa pada hal tersebut. Bilamana terjadi sebaliknya, maka hal inilah yang dapat menjadi konflik yang berkepanjangan hingga mengakibatkan perceraian perkawinan.
3.      Suami wajib memberikan nafkah batin kepada isteri. Keempat, suami wajib bersikap sabar dan selalu membina ahlak isteri. Maksudnya suami wajib untuk bersikap lemah lembut terhadap isterinya dan harus bersikap tegas ketika melihat isterinya melakukan perbuatan yang melanggar ketentuan agama. Sikap tegas di sini dimaksudkan untuk mendidik dan membina ahlak isteri.
4.      Isteri wajib melayani suami dengan baik. Maksudnya seorang isteri wajib mentaati keinginan suaminya selama keinginan tersebut tidak bertentangan dengan syariat agama.
5.      isteri wajib memelihara diri dan harta suami. Maksudnya isteri harus benar-benar menjaga diri jangan sampai menjadi perhatian orang yang mengakibatkan fitnah. Seorang isteri juga wajib menjaga harta milik suami, dengan tidak membelanjakannya untuk hal-hal yang tidak penting. Keenam, isteri wajib untuk tidak menolak ajakan suami ke tempat tidur.
Selain hak dan kewajiban suami-isteri, dalam suatu perkawinan juga terdapat kedudukan suami-isteri. Secara garis besar kedudukan suami-isteri dalam Pasal 31 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan adalah sama. Baik kedudukannya sebagai manusia maupun dalam kedudukanya dalam fungsi keluarga. Tujuan dari Pasal 31 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan adalah agar tidak ada dominasi dalam rumah tangga di antara suami-isteri, baik dalam membina rumah tangga ataupun dalam membina dan membentuk keturunan.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat menunjukkan bahwa hak dan kewajiban antara suami isteri tidak dapat dipisahkan. Pasangan suami isteri tidak boleh meninggalkan satu sama lainnya. Sebab hubungan hak dan kewajiban dapat terjalin bilamana keduanya selalu bersama, kapan dan di manapun. Meninggalkan isteri dalam waktu yang cukup lama dapat berarti memutuskan hubungan hak dan kewajibannya kepada isteri. Oleh karena itu pula, meninggalkan isteri dalam waktu yang cukup lama menurut Undang-undang Perkawinan dapat menjadi salah satu alasan perceraian.
         Suami adalah kepala rumah tangga. Sebagai kepala rumah tangga, suami memiliki kewajiban memberikan nafkah kepada isteri dan anak-anaknya sesuai dengan kemampuannya. Jadi, suami dalam perkawinannya memiliki tanggung jawab besar kepada isteri dan anak-anaknya karena suami yang bekerja mencari nafkah. Kewajiban suami tetap berlaku meskipun suami dikekang kebebasannya oleh putusan Pengadilan karena telah melakukan tindak pidana.
Salah satu persoalan yang dapat menghambat suami dalam melaksanakan kewajibannya kepada isteri dan anak-anaknya yaitu persoalan suami sedang menjalani masa tahanan atau masa pidana penjara di Lembaga Pemasyarakatan.  Tentu saja hak dan kewajibannya kepada isteri terputus dalam waktu yang relatif lama. Padahal, hak dan kewajiban suami terhadap isteri wajib dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
Berdasarkan hasil pengamatan penulis di lapangan (observasi, tanggal 4 Januari 2012) bahwa jumlah narapidana diLembaga masyarakatan kota kendari berjumlah 137 orang dimana jumlah narapidana pria berjumlah 106 orang dan wanita berjumlah 31 orang  jika  dibandingkan kurang lebih yaitu 3:1antara narapidana pria dan wanita. Narapidana penjara di Lembaga Pemasyarakatan di Kota Kendari yang telah berstatus suami atau telah menikah yaitu berjumlah 73 orang dan yang sestatus istri atau telah menikah berjumlah 21 orang. Mereka menjalani masa pidana penjara yang berbeda-beda sesuai dengan putusan Pengadilan.
Dalam menjalankan masa pidana penjara, seorang suami tidak diberi kesempatan sedikit pun untuk mengunjungi isteri atau anak-anaknya di rumah sampai berakhirnya masa pidana penjara. Begitupula sebaliknya, kunjungan isteri kepada suami yang sedang menjalani masa pidana penjara di Lembaga Pemasyarakatan hanya diberikan kesempatan dengan waktu yang terbatas. Meskipun juga isteri mengunjungi suami tidak berarti mendapatkan hak dan kewajiban secara utuh sebagaimana biasanya yang diperoleh sewaktu sisuami belum berada diLembaga Pemasyrakatan.
Terbatasnya ruang gerak suami yang sedang menjalani masa pidana penjara di Lembaga Pemasyarakatan tidak dapat memberikan manfaat kepada isteri dan anak-anaknya. Kewajiban suami terus berjalan meskipun suami berada dalam Lembaga Pemasyarakatan, namun pelaksanaannya tidak ada. Atomatis, kewajiban suami untuk memberikan nafkah lahir dan atau bathin tidak tercapai.
Persoalan kewajiban adalah persoalan penting dalam ikatan perkawinan. Kelangsungan ikatan perkawinan tergantung pada pelaksanaan hak dan kewajiban di antara pasangan suami isteri. Meskipun dalam Undang-undang Perkawinan telah menentukan hak dan kewajiban antara suami isteri yang seimbang tetapi tidak berarti hak dan kewajiban tersebut tidak berbeda. Dalam hal ini, kewajiban suami tetap berada pada posisi yang diutamakan. Suami sebagai kepala rumah tangga memiliki kewajiban yang cukup besar. Suami yang berwenang mengatur kehidupan rumah tangganya, termasuk mengatur kepentingan isteri dan anak-anaknya demi menjaga dan memelihara kehidupan keluarga yang bahagia.
Suami yang tidak melaksanakan kewajibannya sudah jelas tidak terdapat keseimbangan dalam keluarga. Kehidupan keluarganya dapat menjadi tidak harmonis dan bisa jadi menjadi sumber pertengkaran yang tidak dapat dihindarkan.sumber konflik antara suami isteri ketika suami enggan memenuhi kewajibannya kepada suami, misalnya suami lebih memilih kebiasaan hura-hura, minum minuman keras, main judi dan perbuatan lainnya yang mengabaikan kewajiban sehari-hari dalam memenuhi kewajiban rumah tangganya.
Jadi, suami yang sedang menjalani masa pidana penjara pada Lembaga Pemasyarakatan kewajiban suami kepada isteri dan anak-anaknya tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Kewajiban suami terhadap isteri dan anak-anaknya terhenti bukan putus hingga sampai pada akhir masa pidana penjara yang diputuskan oleh Pengadilan. Namun jika suami telah bebas dari pidana penjara, maka kewajiban suami kembali aktif untuk memberikan nafkah lahir dan bathin kepada isteri dan anak-anaknya.
Keadaan rumah tangga yang mana suami sedang menjalani masa pidana penjara di Lembaga Pemasyarakatan mengakibatkan kepincangan hak dan kewajiban di antara pasangan suami isteri. Pelaksanaan hak dan kewajiban hanya bertumpu pada isteri saja. Hanya isteri yang giat memenuhi kebutuhan hidup rumah tangganya terutama membiayai hidup dirinya dan anak-anaknya.
Berdasarkan ketentuan dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa suami yang memiliki kewajiban menafkahi kepada isteri dan anak-anaknya. Bukan sebaliknya, isteri yang memiliki kewajiban memberikan nafkah kepada suami dan atau anak-anaknya. Karena keadaan yang demikian, maka isteri terpaksa melakukan sendiri mencari nafkah hidup buat keluarganya.

Dengan demikian dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan tidak mengecualikan kewajiban suami yang sedang menjalani pidana penjara di Lembaga Pemasyarakatan. Tidak terdapat ketentuan dalam Undang-undang Perkawinan bahwa suami yang sedang menjalani masa pidana penjara di Lembaga Pemasyarakatan kewajibannya dihentikan hingga suami yang bersangkutan dibebaskan.
Jadi, menurut Undang-undang Perkawinan bahwa suami yang sedang menjalani masa pidana penjara di Lembaga Pemasyarakatan menjadi alasan  perceraian. Sebab suami yang sedang menjalani masa pidana di Lembaga Pemasyarakatan  dalam waktu yang cukup lama pasti tidak dapat lagi menjalankan kewajibannya sebagaimana yang telah ditentukan oleh Undang-undang Perkawinan.
Oleh karena itu, hubungan hak dan kewajiban suami isteri tidak dapat dibatasi oleh waktu dan tempat. Jika perkawinan itu dibatas oleh waktu dan tempat yang mana keduanya tidak dapat melaksanakan kewajibannya, maka perkawinan itu dapat bubar. Undang-undang Perkawinan selalu menghendaki bahwa pasangan suami isteri senantiasa selalu hidup bersama, kapan dan di manapun. Tidak diperkenankan salah satu pasangan suami atau isteri meninggalkan pasangannya dalamkurun waktu yang tidak seyogianya. Sebab kembali kepada hubungan hak dan kewajiban di antara keduanya.

Berdasarkan uraian di atas, maka suami yang sedang menjalani masa pidana penjara di Lembaga Pemasyarakatan  dalam waktu yang cukup lama kewajibannya tetap ada. Isteri berhak menuntut kewajiban suaminya dalam hal pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Wujud dari tuntutan isteri terhadap suaminya yang sedang menjalani masa pidana penjara di Lembaga Pemasyarakatan yaitu dapat mengajukan perceraian perkawinan.
      
C. Akibat  Hukum Atas Kewajiban Suami Yang Sedang Menjalani Masa Pidana Penjara Ditinjau Dari Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
Suami yang sedang menjalani masa pidana penjara di Lembaga Pemasyarakatan sudah tentu tidak dapat lagi memenuhi kewajibannya kepada isteri dan anak-anaknya. Suami yang sedang menjalani masa pidana penjara di Lembaga Pemasyarakatan sudah tidak dapat berbuat apa-apa untuk memenuhi kebutuhan isteri dan anak-anaknya.
Suami yang sedang menjalani masa pidana penjara Lembaga Pemasyarakatan sudah tentu tidak dapat lagi menjalankan hak dan kewajiban sebagaimana mestinya. Suami yang sedang menjalani masa pidana di Lembaga Pemasyarakatan dapat menjadi alasan perceraian bagi isteri sebagaimana yang diatur dalam Pasal 19 Undang-undang Perkawinan yang menentukan bahwa perceraian dapat terjadi karena alasan:
1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok; pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah karena hal lain di luar kemampuannya;
3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
4.  Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain;
5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;
6. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
        Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, maka dapat menunjukkan bahwa suami yang mendapat hukuman atau sedang menjalani masa pidana penjara di Lembaga Pemasyarakatan dapat dimintakan perceraian oleh isteri ke muka Pengadilan Agama. Hal tersebut sangat beralasan, sebab suami yang sedang menjalani masa pidana penjara selama lima tahun dapat menyengsarakan isteri. Kebutuhan isteri akan haknya berupa nafkah lahir dan nafkah bathin tidak dapat terpenuhi oleh suaminya. Alasan tersebut untuk mengajukan gugatan perceraian ke muka Pengadilan Agama tergantung pada isteri itu sendiri atau tergantung pada upaya kesabaran isteri terhadap keadaan suaminya.
Alasan tersebut akan sama pula dengan suami yang meninggalkan isteri dalam beberapa waktu lamanya, misalnya 2 (dua) tahun sepert tersebut di atas. Meskipun kondisi suami yang berbeda, tetapi bagi isteri yang ditinggalkan oleh suami sesuatu yang sangat menyengsarakan isteri. Oleh karena itu, kedua alasan tersebut sebagai alasan yang telah memutuskan hubungan hak dan kewajiban antara suami isteri.
Telah banyak perkara yang diajukan di muka Pengadilan Agama, misalnya karena penyebabnya suami meninggalkan isterinya dalam waktu yang cukup lama, tanpa berita atau meninggalkan isterinya karena suami sedang menjalankan pidana penjara di Lembaga Pemasyarakatan. Sebenarnya dalam hal tersebut, bukan terletak pada persoalan dipidana atau perginya suami. Tetapi yang menjadi persoalannya hubungan hak dan kewajiban antara suami isteri terputus. Apalagi keadaan isteri tergantung pada kewajiban suami yang memberikan nafkahnya. Tentu saja kondisi suami yang meninggalkan isteri dalam waktu yang cukup lama dapat mebuat isteri sabar hingga isteri kadang lebih memilih mengajukan perceraian kepada suaminya tersebut. Kedaan tersebut dapat dibenarkan dan dapat diperkenaankan oleh Undang-undang Perkawinan.
Jadi kewajiban suami yang sedang menjalani masa pidana penjara di Lembaga Pemasyarakatan tidak lain mengenai persoalan hak isteri dari suami. Suami yang menjalani masa pidana tetapi isteri ikut pula merasakan terutama penderitaan bathin. Nafkah suami terhadap isteri berupa kebutuhan pokok sehari-hari juga ikut tidak terpenuhi, apabila isteri tidak memiliki usaha ekonomi yang dapat menjadi pendukung hidup.
Oleh karena itu, akibat dari kewajiban suami yang tidak terlaksana karena sedang menjalani masa pidana penjara di Lembaga Pemasyarakatan  yaitu suami dapat dimintakan cerai oleh isterinya. Sebab suami yang sedang menjalani masa pidana penjara tidak dapat melakukan lagi kewajibannya dalam kehidupan rumah tangga. Dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan juga menyatakan bahwa suami yang sedang menjalani masa pidana penjara dalam kurun waktu 5 (lima) tahun di Lembaga Pemasyarakatan dapat dimintakan cerai oleh isterinya.      


BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
              Adapun yang menjadi kesimpulan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.   Kewajiban suami yang sedang menjalani masa pidana penjara ditinjau dari Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan adalah tetap berlaku yang mana suami tetap mempunyai kewajiban memberikan nafkah lahir dan bathin kepada isteri dan anak-anaknya.
      2.   Akibat  hukum atas kewajiban suami yang sedang menjalani masa pidana penjara ditinjau dari Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan adalah kewajibannya tidak gugur, bahkan suami yang sedang menjalani masa pidana penjara di Lembaga Pemasyarakatan dapat dijadikan sebagai alasan perceraian bagi isteri. 

B. Saran
     Adapun yang menjadi saran dalam penelitian ini  adalah sebagai berikut:
1.      Kepada Lembaga Penasihat Perkawinan agar senantiasa memberikan bimbingan perkawinan kepada pasangan suami isteri sehingga pelaksanaan hak dan kewajiban pada keduanya dapat berlangsung dengan baik.
2.      Kepada pasangan suami isteri agar senantiasa melaksanakan kewajibannya dengan sebaik-baiknya sehingga ikatan perkawinan dapat berlangsung sebagaimana layaknya dengan mencapai kebahagian yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

DAFTAR PUSTAKA

A.    Buku-Buku:
Abdurrahman, Syahrani, Riduan. 1978. Masalah – masalah Hukum Perkawinan di Indonesia, Alumni, Bandung.

     Drajen Saragih. 1984. Pengantar Hukum Adat Indonesia. Tarsito. Bandung.

Hadikusumo, Hilman. 1990. Hukum  Perkawinan Indonesia, Mandar Maju, Bandung.

Ibrahim, Hosen. 1971. Hukum Kekeluargaan Nasional. Tintamas, Jakarta.

Idris, Ramulya. 1996. Hukum Perkawinan Islam (Suatu Analisis Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam). Bumi Aksara, Jakarta.

Kadir, Muhammad, Abdul. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Adtya Bakti, Bandar Lampung.

Latief, Djamil. 1981. Aneka Hukum Perceraian di Indonesia,  Ghalia Indinesia, Jakarta.

Lubis, Ibrahim. 1982. Agama Islam  suatu  Pengantar, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Manan, Abdul. 2006. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

Sabiq, Sayid. 1990. Talak dan  Mengasuh Anak, Kalam Mulia, Jakarta.

Saleh, Wantjik, 1977. Hukum Acara Perdata, Ghalia Indonesia, Jakarta.


-----------------, 1980. Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta.

Soedjono, 1996. Pengantar Ilmu Hukum, Rajawali, Jakarta.

Soemiyati, 1999. Hukum Perkawinan. Sinar Grafika, Jakarta.

Soenggono, Bambang. 1997. Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Wignjodipuro. 1967. Hukum Kekeluargaan Indonesia. UI Press, Jakarta.
Yunus Mahmud. 1960. Hukum Perkawinan Dalam Islam. Pustaka   Mahmudia.   Jakarta.

B.     Peraturan Perundang-Undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 
Undang-Undang  Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam