A. Tujuan Perkawinan sebagai Wujud Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Suami Isteri
Tujuan perkawinan pada dasarnya adalah untuk memperoleh
keturunan yang sah dalam masyarakat, dengan mendirikan sebuah kehidupan rumah
tangga yang damai dan tentram. Tujuan perkawinan ini bisa dilihat dari dua
sudut pandang yaitu menurut Hukum Islam dan menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yang dapat dijelaskan
sebagai berikut :
Menurut Hukum Islam, bahwa tujuan perkawinan dalam Islam adalah untuk
memenuhi tuntutan hajat tabiat kemanusiaan, untuk berhubungan antara laki-laki
dan perempuan dalam rangka mewujudkan suatu keluarga yang bahagia dorongan
dasar cinta kasih, serta untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat
dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah diatur oleh syariah. Selain itu
ada pendapat yang mengatakan bahwa tujuan perkawinan dalam Islam selain untuk
memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani
manusia, juga sekaligus untuk membetuk keluarga dan memelihara serta
meneruskan keturunan dalam menjalankan hidupnya di dunia ini, juga untuk
mencegah perzinaan, agar tercipta ketenangan dan ketentraman jiwa bagi yang
bersangkutan, ketentraman keluarga dan masyarakat.
Dengan demkian, tujuan perkawinan
menurut ajaran agama Islam yaitu menghalalkan
hubungan kelamin untuk memenuhi tuntutan
hajat tabiat manusia, mewujudkan
suatu keluarga dengan dasar cinta kasih, dan
memperoleh keturunan yang sah atau dapat diperinci lagi bahwa perkawinan
mempunyai faedah lima macam yaitu :
1.
Memperoleh
keturunan yang sah yang akan melangsungkan keturunan serta memperkembangkan
suku-suku bangsa manusia.
2.
Memenuhi
tuntutan naluriah hidup kemanusiaan.
3.
Memelihara
manusia dari kejahatan dan kerusakan.
4.
Membentuk
dan mengatur rumah tangga yang menjadi basis pertama dari masyarakat yang besar
atas dasar kecintaan dan kasih sayang.
5.
Menumbuhkan
kesungguhan berusaha untuk mencari rizki penghidupan yang halal dan memperbesar
rasa tanggung jawab.
Untuk lebih
jelasnya mengenai tujuan dan faedah perkawinan di atas maka akan diuraikan satu
persatu sebagai berikut :
1.
Untuk
memperoleh keturunan yang sah yang akan melangsungkan keturunan serta akan
memperkembangkan suku-suku bangsa manusia. Memperoleh keturunan dalam
perkawinan bagi penghidupan manusia merupakan dambaan setiap orang, ini dapat
dirasakan bagaimana perasan seorang suami isteri yang hidup berumah tangga
tanpa seorang anak, tentu kehidupannya akan sepi dan hampa. Di samping itu
keinginan untuk memperoleh anak biasa dipahami, karena anak-anak itulah yang nantinya bisa
diharapkan membantu ibu bapaknya di kemudian hari. Dan dilhat dari kepentingan yang bersifat umum atau
universal anak-anak itulah yang menjadi penghubung atau penyambung keturunan
seseorang dan yang akan berkembang dalam
masyarakat yang bangsa dan bernegara untuk menjadi khalifah
yang kelak nanti akan memakmurkan dunia.
2. Memenuhi tuntutan naluriah hidup kemanusiaan memepunyai makna bahwa Tuhan telah menciptakan manusia dengan jenis kelamin yang
berlainan yaitu laki-laki dan perempuan.
Sudah menjadi kodrat manusia bahwa antara laki-laki dan perempuan
memiliki daya tarik. Daya tarik ini
adalah kebirahian atau seksual. Sifat
ini yang merupakan tabiat kemanusiaan.
Dengan perkawinan pemenuhan tuntutan tabiat kemanusiaan dapat disalurkan
secara sah.
3. Memelihara manusia dari kejahatan dan kerusakan mengandung pengertian bahwa dengan perkawinan manusia akan selamat dari perbuatan
amoral, disamping akan merasa aman dari keretakan sosial. Bagi orang yang
memiliki pengertian dan pemahaman akan nampak jelas bahwa jika ada
kecenderungan lain jenis itu dipuaskan dengan perkawinan yang disyariatkan dengan hubungan yang
halal. Maka manusia baik secara individu
maupun kelompok akan menikmati adab yang utama dan ahklak yang baik. Dengan demikian masyarakat dapat melaksanakan risalah dan memikul tanggung jawab
yang dituntut oleh Allah SWT.
4. Membentuk dan
mengatur rumah tangga yang menjadi basis utama atau madrasyah
pertama dalam kehidupan bermasyarakat
yang luas atas dasar kecintaan dan kasih sayang memepunayai makna bahwa Ikatan perkawinan adalah ikatan lahir batin yang berupa
asas cinta dan kasih sayang merupakan salah satu alat untuk memperkokoh ikatan
perkawinan.
5. Menumbuhkan
kesungguhan berusaha untuk mencari rizki penghidupan yang halal dan memperbesar
rasa tanggung jawab mengandung
pengertian bahwa hidup disebuah keluiarga bukan hanya sekedar hidup saja
melainkan bagaimana dalam kehidupan keluarga tersebut dapat mempertahankan
kehidupan, oleh karena itu hidup dalam sebuah keluarga ditutut
untuk mencari sumber kehidupan salah
satunya adalah makanan dengan cara yang tidak melanggar aturan norma-norma yang
berlaku dalam kehidupan masyarakat, istilah agama mempunyai makna yaitu mencari
rezki dengan cara yang telah disyariatkan dengan tujuan, untuk mendapat sumber kehipuan yang khalal.
Rasa
cinta dan kasih sayang inilah kedua belah pihak yang melakukan ikatan
perkawinan itu berusaha membentuk rumah tangga yang bahagia. Dari rumah tangga
inilah kemudian lahir anak-anak, kemudian bertambah luas menjadi rumpun keluarga
demikian seterusnya sehingga tersusun masyarakat besar. Dengan demikian tanpa
adanya perkawinan, tidak mungkin ada keluarga dan dengan sendirinya tidak ada
pula unsur yang mempersatukan bangsa manusia dan selanjutnya tidak ada
peradaban.
Hal ini
sesuai dangan pendapat Mohamad Ali yang dikutip oleh Soemiyati mengatakan bahwa : “ Keluarga yang
merupakan kesatuan yang nyata dari bangsa-bangsa manusia yang menyababkan
terciptanya peradaban hanyalah mungkin diwujudkan dengan perkawinan”. Oleh sebab
itu dengan perkawinan akan terbentuk
keluarga dan dengan keluarga itu akan tercipta peradaban.
Menumbuhkan kesungguhan berusaha mecari rizki kehidupan yang halal dan
memperbesar rasa tanggung jawab. Pada umumnya pemuda dan pemudi sebelum melaksanakan
perkawinan, tidak memikirkan soal penghidupan, karena tanggung jawab mengenai
kebutuhan kehidupan masih relatif kecil dan lagi segala keperluan masih
ditanggung orang tua. Tetapi setelah
mereka berumah tangga mereka mulai menyadari akan tanggung jawabnya dalam
mengemudikan rumah tangga. Suami sebagai
kepala keluarga mulai memikirkan bagaimana mulai mencari rezeki yang halal
untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga.
Dengan keadaan yang demikian akan menambah aktifitas kedua belah pihak,
suami berusaha sungguh-sungguh dalam mencari rezeki lebih-lebih apabila mereka
sudah memiliki anak.
Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, Pasal 1 merumuskan bahwa “Perkawinan ialah ikatan lahir
dan batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasar Ketuhanan
Yang MahaEsa”. Dari rumusan tersebut
dapat dimengerti bahwa tujuan pokok perkawinan adalah membentuk keluarga yang
bahagia dan kekal. Untuk itu suami
isteri perlu saling membantu agar masing-masing dapat
mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai
kesejahteraan spiritual maupun material.
Selain itu, tujuan material yang akan diperjuangkan oleh suatu
perjanjian perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama,
sehingga bukan saja mempunyai unsur lahir atau jasmani, tetapi unsur batin atau
rohani juga mempunyai peranan penting (Pejelasan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan).
Jadi
perkawinan adalah suatu perjanjian yang diadakan oleh dua orang, dalam hal ini
perjanjian antara seorang pria dan seorang wanita dengan tujuan material, yaitu
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Mahaa Esa, sebagai asas pertama dalam Pancasila.
Berdasarkan uraian
di atas
maka tujuan perkawinan dapat di jabarkan sebagai berikut
:
1. Melaksanakan ikatan
perkawinan antara pria dan wanita yang sudah dewasa guna membentuk kehidupan
rumah tangga.
1.
Mengatur
kehidupan seksual antara seorang laki-laki dan perempuan sesuai dengan ajaran
dan firman Tuhan Yang Maha Esa.
2.
Memperoleh
keturunan untuk melanjutkan kehidupan kemanusiaan dan selanjutnya memelihara
pembinaan terhadap anak-anak untuk masa depan.
3.
Memberikan
ketetapan tentang hak kewajiban suami dan isteri dalam membina kehidupan
keluarga.
4.
Mewujudkan
kehidupan masyarakat yang teratur, tentram dan damai.
Berdasarkan uraian di atas, maka tujuan
perkawinan dapat dicapai dengan pelaksanaan hak dan kewajiban di antara suami
isteri. Bilamana hak dan kewajiban di antara pasangan suami isteri dapat
terlaksana dengan baik, maka ikatan perkawinan itu berlangsung dengan baik dan
tujuan untuk mencapai kebagian hidup dapat tercapai pula.
Tujuan perkawinan adalah misi atau cita-cita
perkawinan itu sendiri yang mana pasangan suami isteri juga menghendaki untuk
mencapainya. Untuk mencapai tujuan perkawinan tidak semudah apa yang
dibayangkan oleh pasangan suami isteri. Tidak sedikit tantangan atau hambatan
yang menghalaunya, tetapi hal itu dapat teratasi bilamana perkawinan itu
dibangun dengan keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini yang dapat
menjadi semangat dalam membentuk keluarga atau rumah tangga.
Perkawinan adalah untuk membentuk hubungan
hak dan kewajiban antara suami dan isteri, yang mana salin diperlukan antara
yang satu dengan yang lainnya. Lemahnya hubungan hak dan kewajiban dapat
dibayangkan bagaimana lemahnya ikatan perakwinan itu sendiri. Akibatnya,
terjadi ketidakseimbangan hak dan kewajiban yang mana salah satu pihak dapat
menuntutnya.
Dengan demikian dalam perkawinan harus
senantiasa menjaga keseimbangan hak dan kewajiban suami isteri. Tidak diperkenankan
salah satu pihak mengabaikan kewajibannya kepada pasangannya, dan sebaliknya.
Bilamana kewajiban rumah tangga diabaikan, maka ikatan perkawinan itu akan
melemah dan selanjutnya akan berbalik arah tidak lagi untuk mencapai tujuan
perkawinan tetapi mengarah pada perceraian perkawinan.
A. Kewajiban Suami yang Sedang
Menjalani Masa Pidana Penjara Ditinjau Dari Undang-undang Nomor 1 tahun 1974
tentang Perkawinan
Perkawinan merupakan kesepakatan bersama antara suami dan
isteri untuk melakukan suatu perjanjian perikatan sebagai suami dan isteri.
Dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dijelaskan bahwa
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dalam hal mewujudkan tujuan dari suatu perkawinan sangat
diperlukan kerja sama yang baik antara suami dan isteri dalam hal menjalankan
hak dan kewajiban masing-masing pihak. Yang dimaksud dengan hak adalah sesuatu
yang seharusnya diterima seseorang suami atau isteri setelah ia memenuhi
kewajibannya. Sedangkan kewajiban adalah sesuatu yang seharusnya dilaksanakan
oleh seseorang suami atau isteri untuk mendapatkan hak. Dalam hal ini apa yang
dinamakan hak isteri merupakan kewajiban dari suami, begitupula sebaliknya.
Jadi, hak dan kewajiban antara suami isteri terus berlangsung selama ikatan
perkawinan. Selama ikatan perkawinan, suami atau isteri terikat oleh ikatan hak
dan kewajiban. Oleh karena itu, suami atau isteri tidak diperkenankan
meninggalkan salah satunya hingga batas waktu yang cukup lama.
Secara umum menurut Pasal 33 dan Pasal 34 Undang-undang
Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, bahwa suami-isteri wajib saling setia
dan mencintai, hormat-menghormati, dan saling memberi bantuan secara lahir dan
batin. Suami wajib melindungi dan memenuhi keperluan hidup rumah tangga sesuai
dengan kemampuannya. Begitu pula sang isteri, isteri wajib mengatur urusan
rumah tangga sebaik-baiknya.
Berbicara mengenai hak dan kewajiban isteri-suami menurut
Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, maka hak dan kewajiban
tersebut dapat dipisahkan menjadi dua kelompok, yaitu hak dan kewajiban yang berupa
kebendaan, yaitu mahar dan nafkah dan hak dan kewajiban yang bukan kebendaan.
Hak dan kewajiban yang berupa kebendaan antara lain sebagai berikut
:
1.
suami
wajib memberikan nafkah pada isterinya. Maksudnya adalah suami memenuhi
kebutuhan isteri meliputi makanan, pakaian, tempat tinggal dan kebutuhan rumah
tangga pada umumnya. Nafkah tersebut adalah kebutuhan pokok isteri berkaitan
dengan manfaat suatu benda yang keberadaananya sangat penting.
2.
Suami
sebagai kepala rumah tangga. Dalam hubungan suami-isteri maka suami sebagai
kepala rumah tangga dan isteri berkewajiban untuk mengurus rumah tangga
sehari-hari dan pendidikan anak. Akan tetapi, ini tidak berarti sang suami
boleh bertindak semaunya tanpa memperdulikan hak-hak isteri. Apabila hal ini
terjadi maka isteri berhak untuk mengabaikannaya. Jadi, dalam urusan tersebut
adalah persoalan kepemimpinan suami dalam rumah tangga. Isteri berhak
memperoleh arahan dari suami mengenai misi suami untuk masa depan. Tentu saja
misi yang dimaksud adalah misi keselamatan dan kesejahteraan keluarga. Suamilah
yang lebih dominan memikirkan misi rumah tangganya. Sebab tujuan dari
perkawinan itu sendiri adalah untuk membentuk kehidupan rumah tangga yang
bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Adapun hak dan kewajiban suami-isteri yang bukan kebendaan yaitu sebagai
berikut :
1.
Suami
wajib memperlakukan isteri dengan baik. Maksudnya suami harus menghormati
isteri, memperlakukannya dengan semestinya dan bergaul bersamanya secara baik.
2.
Suami wajib menjaga isteri dengan baik.
Maksudnya suami wajib menjaga isteri termasuk menjaga harga diri isteri,
menjunjung kemuliaan isteri dan menjauhkannya dari fitnah. Jadi, kewajiban
suami isteri tersebut harus saling memperhatikan untuk kepentingan bersama.
Tidak diperkenaankan suami isteri salaing celah mencela baik secara berdua atau
di hadapan orang lain. Suami isteri harus saling jaga menjagai, pelihara
memeliharai satu sama lain. Sebab keselamatan kehidupan rumah tangga terdapa
pada hal tersebut. Bilamana terjadi sebaliknya, maka hal inilah yang dapat
menjadi konflik yang berkepanjangan hingga mengakibatkan perceraian perkawinan.
3.
Suami
wajib memberikan nafkah batin kepada isteri. Keempat, suami wajib bersikap
sabar dan selalu membina ahlak isteri. Maksudnya suami wajib untuk bersikap
lemah lembut terhadap isterinya dan harus bersikap tegas ketika melihat
isterinya melakukan perbuatan yang melanggar ketentuan agama. Sikap tegas di
sini dimaksudkan untuk mendidik dan membina ahlak isteri.
4.
Isteri
wajib melayani suami dengan baik. Maksudnya seorang isteri wajib mentaati
keinginan suaminya selama keinginan tersebut tidak bertentangan dengan syariat
agama.
5.
isteri
wajib memelihara diri dan harta suami. Maksudnya isteri harus benar-benar
menjaga diri jangan sampai menjadi perhatian orang yang mengakibatkan fitnah.
Seorang isteri juga wajib menjaga harta milik suami, dengan tidak
membelanjakannya untuk hal-hal yang tidak penting. Keenam, isteri wajib untuk
tidak menolak ajakan suami ke tempat tidur.
Selain hak dan kewajiban suami-isteri, dalam suatu
perkawinan juga terdapat kedudukan suami-isteri. Secara garis besar kedudukan
suami-isteri dalam Pasal 31 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan adalah sama. Baik kedudukannya sebagai manusia maupun dalam
kedudukanya dalam fungsi keluarga. Tujuan dari Pasal 31 ayat (1) Undang-undang
Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan adalah agar tidak ada dominasi dalam
rumah tangga di antara suami-isteri, baik dalam membina rumah tangga ataupun
dalam membina dan membentuk keturunan.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat
menunjukkan bahwa hak dan kewajiban antara suami isteri tidak dapat dipisahkan.
Pasangan suami isteri tidak boleh meninggalkan satu sama lainnya. Sebab
hubungan hak dan kewajiban dapat terjalin bilamana keduanya selalu bersama,
kapan dan di manapun. Meninggalkan isteri dalam waktu yang cukup lama dapat
berarti memutuskan hubungan hak dan kewajibannya kepada isteri. Oleh karena itu
pula, meninggalkan isteri dalam waktu yang cukup lama menurut Undang-undang
Perkawinan dapat menjadi salah satu alasan perceraian.
Suami adalah kepala rumah
tangga. Sebagai kepala rumah tangga, suami memiliki kewajiban memberikan nafkah
kepada isteri dan anak-anaknya sesuai dengan kemampuannya. Jadi, suami dalam
perkawinannya memiliki tanggung jawab besar kepada isteri dan anak-anaknya
karena suami yang bekerja mencari nafkah. Kewajiban suami tetap berlaku
meskipun suami dikekang kebebasannya oleh putusan Pengadilan karena telah
melakukan tindak pidana.
Salah satu persoalan yang dapat menghambat
suami dalam melaksanakan kewajibannya kepada isteri dan anak-anaknya yaitu
persoalan suami sedang menjalani masa tahanan atau masa pidana penjara di Lembaga
Pemasyarakatan. Tentu saja hak dan
kewajibannya kepada isteri terputus dalam waktu yang relatif lama. Padahal, hak
dan kewajiban suami terhadap isteri wajib dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
Berdasarkan hasil pengamatan penulis di
lapangan (observasi, tanggal 4 Januari 2012) bahwa jumlah narapidana diLembaga masyarakatan kota kendari berjumlah
137 orang dimana jumlah narapidana pria berjumlah 106 orang dan wanita
berjumlah 31 orang jika dibandingkan kurang lebih yaitu 3:1antara
narapidana pria dan wanita. Narapidana penjara di Lembaga Pemasyarakatan di Kota Kendari yang telah
berstatus suami atau telah menikah yaitu berjumlah 73 orang dan yang sestatus istri atau telah menikah
berjumlah 21 orang.
Mereka menjalani masa pidana penjara yang berbeda-beda sesuai dengan putusan
Pengadilan.
Dalam menjalankan masa pidana penjara, seorang suami tidak diberi kesempatan sedikit pun untuk
mengunjungi isteri atau anak-anaknya di rumah sampai berakhirnya masa pidana
penjara. Begitupula sebaliknya, kunjungan isteri kepada suami yang sedang
menjalani masa pidana penjara di Lembaga Pemasyarakatan hanya diberikan
kesempatan dengan waktu yang terbatas. Meskipun juga isteri mengunjungi suami
tidak berarti mendapatkan hak dan kewajiban secara
utuh sebagaimana biasanya yang diperoleh sewaktu sisuami belum berada diLembaga
Pemasyrakatan.
Terbatasnya ruang gerak suami yang sedang
menjalani masa pidana penjara di Lembaga Pemasyarakatan tidak dapat memberikan
manfaat kepada isteri dan anak-anaknya. Kewajiban suami terus berjalan meskipun
suami berada dalam Lembaga Pemasyarakatan, namun pelaksanaannya tidak ada.
Atomatis, kewajiban suami untuk memberikan nafkah lahir dan atau bathin tidak
tercapai.
Persoalan kewajiban adalah persoalan penting
dalam ikatan perkawinan. Kelangsungan ikatan perkawinan tergantung pada
pelaksanaan hak dan kewajiban di antara pasangan suami isteri. Meskipun dalam
Undang-undang Perkawinan telah menentukan hak dan kewajiban antara suami isteri
yang seimbang tetapi tidak berarti hak dan kewajiban tersebut tidak berbeda.
Dalam hal ini, kewajiban suami tetap berada pada posisi yang diutamakan. Suami
sebagai kepala rumah tangga memiliki kewajiban yang cukup besar. Suami yang
berwenang mengatur kehidupan rumah tangganya, termasuk mengatur kepentingan
isteri dan anak-anaknya demi menjaga dan memelihara kehidupan keluarga yang
bahagia.
Suami yang tidak melaksanakan kewajibannya
sudah jelas tidak terdapat keseimbangan dalam keluarga. Kehidupan keluarganya
dapat menjadi tidak harmonis dan bisa jadi menjadi sumber pertengkaran yang
tidak dapat dihindarkan.sumber konflik antara suami isteri ketika suami enggan
memenuhi kewajibannya kepada suami, misalnya suami lebih memilih kebiasaan
hura-hura, minum minuman keras, main judi dan perbuatan lainnya yang
mengabaikan kewajiban sehari-hari dalam memenuhi kewajiban rumah tangganya.
Jadi, suami yang sedang menjalani masa pidana
penjara pada Lembaga Pemasyarakatan kewajiban suami kepada isteri dan
anak-anaknya tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Kewajiban suami
terhadap isteri dan anak-anaknya terhenti bukan putus hingga sampai pada akhir
masa pidana penjara yang diputuskan oleh Pengadilan. Namun jika suami telah
bebas dari pidana penjara, maka kewajiban suami kembali aktif untuk memberikan
nafkah lahir dan bathin kepada isteri dan anak-anaknya.
Keadaan rumah tangga yang mana suami sedang
menjalani masa pidana penjara di Lembaga Pemasyarakatan mengakibatkan
kepincangan hak dan kewajiban di antara pasangan suami isteri. Pelaksanaan hak
dan kewajiban hanya bertumpu pada isteri saja. Hanya isteri yang giat memenuhi
kebutuhan hidup rumah tangganya terutama membiayai hidup dirinya dan
anak-anaknya.
Berdasarkan ketentuan dalam Undang-undang
Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa suami yang memiliki kewajiban
menafkahi kepada isteri dan anak-anaknya. Bukan sebaliknya, isteri yang
memiliki kewajiban memberikan nafkah kepada suami dan atau anak-anaknya. Karena
keadaan yang demikian, maka isteri terpaksa melakukan sendiri mencari nafkah
hidup buat keluarganya.
Dengan demikian dalam Undang-undang Nomor 1
tahun 1974 tentang Perkawinan tidak mengecualikan kewajiban suami yang sedang
menjalani pidana penjara di Lembaga Pemasyarakatan. Tidak terdapat ketentuan
dalam Undang-undang Perkawinan bahwa suami yang sedang menjalani masa pidana
penjara di Lembaga Pemasyarakatan kewajibannya dihentikan hingga suami yang
bersangkutan dibebaskan.
Jadi, menurut Undang-undang Perkawinan bahwa
suami yang sedang menjalani masa pidana penjara di Lembaga Pemasyarakatan menjadi
alasan perceraian. Sebab suami yang
sedang menjalani masa pidana di Lembaga Pemasyarakatan dalam waktu yang cukup lama pasti tidak dapat
lagi menjalankan kewajibannya sebagaimana yang telah ditentukan oleh
Undang-undang Perkawinan.
Oleh karena itu, hubungan hak dan kewajiban
suami isteri tidak dapat dibatasi oleh waktu dan tempat. Jika perkawinan itu
dibatas oleh waktu dan tempat yang mana keduanya tidak dapat melaksanakan
kewajibannya, maka perkawinan itu dapat bubar. Undang-undang Perkawinan selalu
menghendaki bahwa pasangan suami isteri senantiasa selalu hidup bersama, kapan
dan di manapun. Tidak diperkenankan salah satu pasangan suami atau isteri
meninggalkan pasangannya dalamkurun waktu yang tidak seyogianya. Sebab kembali
kepada hubungan hak dan kewajiban di antara keduanya.
Berdasarkan uraian di atas, maka suami yang
sedang menjalani masa pidana penjara di Lembaga Pemasyarakatan dalam waktu yang cukup lama kewajibannya
tetap ada. Isteri berhak menuntut kewajiban suaminya dalam hal pemenuhan
kebutuhan hidup sehari-hari. Wujud dari tuntutan isteri terhadap suaminya yang
sedang menjalani masa pidana penjara di Lembaga Pemasyarakatan yaitu dapat
mengajukan perceraian perkawinan.
C. Akibat
Hukum Atas Kewajiban Suami Yang Sedang Menjalani Masa Pidana Penjara
Ditinjau Dari Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
Suami
yang sedang menjalani masa pidana penjara di Lembaga Pemasyarakatan sudah tentu
tidak dapat lagi memenuhi kewajibannya kepada isteri dan anak-anaknya. Suami
yang sedang menjalani masa pidana penjara di Lembaga Pemasyarakatan sudah tidak
dapat berbuat apa-apa untuk memenuhi kebutuhan isteri dan anak-anaknya.
Suami
yang sedang menjalani masa pidana penjara Lembaga Pemasyarakatan sudah tentu
tidak dapat lagi menjalankan hak dan kewajiban sebagaimana mestinya. Suami yang
sedang menjalani masa pidana di Lembaga Pemasyarakatan dapat menjadi alasan
perceraian bagi isteri sebagaimana yang diatur dalam Pasal 19 Undang-undang Perkawinan yang
menentukan bahwa perceraian dapat terjadi karena alasan:
1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok;
pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
2.
Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut
tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah karena hal lain di luar
kemampuannya;
3.
Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang
lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan
berat yang membahayakan pihak lain;
5.
Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;
6.
Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan
tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Berdasarkan ketentuan pasal tersebut,
maka dapat menunjukkan bahwa suami yang mendapat hukuman atau sedang menjalani
masa pidana penjara di Lembaga Pemasyarakatan dapat dimintakan perceraian oleh
isteri ke muka Pengadilan Agama. Hal tersebut sangat beralasan, sebab suami
yang sedang menjalani masa pidana penjara selama lima tahun dapat
menyengsarakan isteri. Kebutuhan isteri akan haknya berupa nafkah lahir dan
nafkah bathin tidak dapat terpenuhi oleh suaminya. Alasan tersebut untuk
mengajukan gugatan perceraian ke muka Pengadilan Agama tergantung pada isteri
itu sendiri atau tergantung pada upaya kesabaran isteri terhadap keadaan
suaminya.
Alasan
tersebut akan sama pula dengan suami yang meninggalkan isteri dalam beberapa
waktu lamanya, misalnya 2 (dua) tahun sepert tersebut di atas. Meskipun kondisi
suami yang berbeda, tetapi bagi isteri yang ditinggalkan oleh suami sesuatu
yang sangat menyengsarakan isteri. Oleh karena itu, kedua alasan tersebut
sebagai alasan yang telah memutuskan hubungan hak dan kewajiban antara suami
isteri.
Telah
banyak perkara yang diajukan di muka Pengadilan Agama, misalnya karena
penyebabnya suami meninggalkan isterinya dalam waktu yang cukup lama, tanpa
berita atau meninggalkan isterinya karena suami sedang menjalankan pidana
penjara di Lembaga Pemasyarakatan. Sebenarnya dalam hal tersebut, bukan
terletak pada persoalan dipidana atau perginya suami. Tetapi yang menjadi
persoalannya hubungan hak dan kewajiban antara suami isteri terputus. Apalagi
keadaan isteri tergantung pada kewajiban suami yang memberikan nafkahnya. Tentu
saja kondisi suami yang meninggalkan isteri dalam waktu yang cukup lama dapat
mebuat isteri sabar hingga isteri kadang lebih memilih mengajukan perceraian
kepada suaminya tersebut. Kedaan tersebut dapat dibenarkan dan dapat
diperkenaankan oleh Undang-undang Perkawinan.
Jadi
kewajiban suami yang sedang menjalani masa pidana penjara di Lembaga
Pemasyarakatan tidak lain mengenai persoalan hak isteri dari suami. Suami yang
menjalani masa pidana tetapi isteri ikut pula merasakan terutama penderitaan
bathin. Nafkah suami terhadap isteri berupa kebutuhan pokok sehari-hari juga
ikut tidak terpenuhi, apabila isteri tidak memiliki usaha ekonomi yang dapat
menjadi pendukung hidup.
Oleh
karena itu, akibat dari kewajiban suami yang tidak terlaksana karena sedang
menjalani masa pidana penjara di Lembaga Pemasyarakatan yaitu
suami dapat dimintakan cerai oleh isterinya. Sebab suami yang sedang menjalani
masa pidana penjara tidak dapat melakukan lagi kewajibannya dalam kehidupan
rumah tangga. Dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan juga
menyatakan bahwa suami yang sedang menjalani masa pidana penjara dalam kurun
waktu 5 (lima) tahun di Lembaga Pemasyarakatan dapat dimintakan cerai oleh isterinya.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Adapun yang menjadi kesimpulan
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Kewajiban suami yang sedang menjalani masa pidana
penjara ditinjau dari Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
adalah tetap berlaku yang mana suami tetap mempunyai kewajiban memberikan
nafkah lahir dan bathin kepada isteri dan anak-anaknya.
2. Akibat hukum atas kewajiban suami yang sedang
menjalani masa pidana penjara ditinjau dari Undang-undang Nomor 1 tahun 1974
tentang Perkawinan adalah kewajibannya tidak gugur, bahkan suami yang sedang
menjalani masa pidana penjara di Lembaga Pemasyarakatan dapat dijadikan sebagai
alasan perceraian bagi isteri.
B. Saran
Adapun yang menjadi saran dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut:
1.
Kepada Lembaga Penasihat
Perkawinan agar senantiasa memberikan bimbingan perkawinan kepada pasangan
suami isteri sehingga pelaksanaan hak dan kewajiban pada keduanya dapat
berlangsung dengan baik.
2.
Kepada pasangan suami isteri
agar senantiasa melaksanakan kewajibannya dengan sebaik-baiknya sehingga ikatan
perkawinan dapat berlangsung sebagaimana layaknya dengan mencapai kebahagian
yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
DAFTAR PUSTAKA
A.
Buku-Buku:
Abdurrahman, Syahrani, Riduan. 1978. Masalah – masalah
Hukum Perkawinan di Indonesia, Alumni, Bandung.
Drajen Saragih. 1984. Pengantar Hukum Adat Indonesia. Tarsito.
Bandung.
Hadikusumo, Hilman. 1990. Hukum
Perkawinan Indonesia, Mandar Maju, Bandung.
Ibrahim,
Hosen. 1971. Hukum
Kekeluargaan Nasional. Tintamas, Jakarta.
Idris,
Ramulya. 1996. Hukum Perkawinan Islam (Suatu
Analisis Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam). Bumi
Aksara, Jakarta.
Kadir, Muhammad, Abdul. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Adtya Bakti, Bandar Lampung.
Latief, Djamil. 1981. Aneka
Hukum Perceraian di Indonesia, Ghalia Indinesia, Jakarta.
Lubis, Ibrahim.
1982. Agama Islam suatu
Pengantar, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Manan, Abdul. 2006. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam
di Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
Sabiq, Sayid. 1990. Talak
dan Mengasuh Anak, Kalam Mulia,
Jakarta.
Saleh,
Wantjik, 1977. Hukum Acara Perdata, Ghalia Indonesia,
Jakarta.
-----------------,
1980. Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia
Indonesia, Jakarta.
Soedjono,
1996. Pengantar Ilmu Hukum, Rajawali,
Jakarta.
Soemiyati,
1999. Hukum Perkawinan. Sinar
Grafika, Jakarta.
Soenggono,
Bambang. 1997. Metode Penelitian Hukum,
Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Wignjodipuro.
1967. Hukum Kekeluargaan Indonesia.
UI Press, Jakarta.
Yunus Mahmud. 1960.
Hukum Perkawinan Dalam Islam.
Pustaka Mahmudia. Jakarta.
B. Peraturan Perundang-Undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam