Minggu, 24 Agustus 2014

JURNAL KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM UPAYA PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA MELALUI PENYELESAIAN DI LUAR PROSES


                                                                       BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
            Pada hakikatnya manusia hidup manusia di alam ini lahir dengan kebebasannya. Di mana manusia dulu hidup dengan berpindah-pindah tanpa ada hukum yang mengaturnya. Namun seiring berkembangnya zaman, kehidupan manusia tidak bisa hidup sendiri. Manusia perlu hidup berkelompok untuk bisa melangsungkan kehidupannya, sehingga dengan demikian untuk bisa hidup berkelompok ini manusia untuk menjaga eksistensi individulnya dan hak-haknya, mereka menentukan sebuah kesepakatan-kesepakatan yang bersifat mengikat di antara mereka. Kesepakatan-kesepakatan tersebut lama-kelamaan tetap di panuti sebagai norma-norma kehidupan sehari-hari. Seiring perkembangan zaman Kesepakatan-kesepakatan ini, disebut sebagai hukum dan kelompok-kelompok manusia disebut juga sebagai masyarakat. 
Hukum yang berlaku pada masyarakat ini, karena mengalami perkembangan mengikuti perkembangan kehidupan, maka menjadikan hukum sangat beragam macamnya. Sehingga hukum dapat dikaji dari berbagai aspek-aspek tertentu. Olehnya itu apabila ditinjau dari aspek fungsinya maka salah satu ruang lingkup hukum publik adalah hukum pidana yang secara esensial dapat dibagi menjadi hukum pidana materiil (materieel strafrecht) dan hukum pidana formal (Formeel Strafrecht/Strafprocesrecht).[1]
Dikaji dari perspektif sejarahnya, bahwa hukum pidana Indonesia yang bersifat hukum publik seperti dikenal sekarang ini  telah  melalui  suatu perkembangan  yang  panjang, dimana hukum pidana dulu dijadikan sebagai sarana Integrasi sosial, yang berupa penyelesaian konflik-konflik kepentingan dalam hubungan sosial dalam kehidupan masyarakat. Keberadaan hukum sebagai integrasi sosial diwujudkan dengan lembaga pengadilan yang berfungsi mengintegrasikan dan menyelesaikan konflik tersebut, sehingga kehidupan sosial kemasyarakatan kembali nyaman dan tenteram. Bekerjanya lembaga peradilan dalam proses peradilan pidana berlandaskan pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP. Proses peradilan pidana berdasarkan KUHAP sangat berfokus pada “pelaku” tindak pidana, baik mengenai kedudukannya sejak tersangka sampai menjadi terpidana maupun hak-haknya sebagai tersangka atau pun terdakwa sangat dilindungi oleh KUHAP, sehingga dapat dikatakan bahwa proses peradilan pidana sesuai KUHAP adalah Offender minded/ Offender Oriented Criminal Justice Process. Oleh karena sangat berfokus pada kepentingan “pelaku” tindak pidana maka kepentingan “korban” (victim's interests) tidak mendapat tempat di dalam KUHAP.
KUHP sebenarnya telah mengatur kepentingan korban untuk memperoleh ganti kerugian kepada pelaku melalui keputusan hakim yang berupa pidana bersyarat, di mana mengganti kerugian kepada korban dijadikan sebagai syarat khususnya. Namun demikian karena hanya sebagai syarat khusus dari pidana bersyarat maka seringkali tidak diterapkan.
Perkembangan hukum pidana dipandang sebagai suatu tindakan merusak atau merugikan kepentingan orang lain dan disusuli suatu pembalasan. Pembalasan itu  umumnya tidak hanya merupakan kewajiban dari seseorang yang dirugikan atau terkena  tindakan, melainkan meluas menjadi kewajiban dari seluruh keluarga, famili dan bahkan beberapa hal menjadi kewajiban dari masyarakat.
                   Konsekuensi logis dimensi perkembangan hukum pidana sebagaimana konteks di atas, ada sifat privat dari hukum pidana. Seiring berjalannya waktu, di satu sisi perubahan dan dinamika masyarakat yang teramat kompleks dan masyarakat hukum yang relatif lebih maju maka hukum pidana kemudian mengarah, lahir, tumbuh dan berkembang menjadi bagian dari hukum publik seperti dikenal sekarang ini. Di sisi lainnya terhadap regulasi pembuatan peraturan perundang-undangan sebagai kebijakan legislasi yang bersifat parsial ternyata sifat publik dari hukum pidana bergeser sifatnya karena relatif juga memasuki ranah privat dengan dikenal dan dipraktekan sebagai sebuah bentuk “penyelesaian di luar proses”, meskipun dalam kerangka normatif banyak dipertanyakan namun dalam kenyataannya terdapat pula praktek penyelesaian perkara pidana diluar sistem peradilan pidana.[2] Secara gradual, hukum pidana sebagai bagian hukum publik eksistensinya bertujuan melindungi kepentingan masyarakat dan negara dengan melakukan perimbangan yang serasi dan selaras antara kejahatan di satu pihak dari tindakan penguasa yang bertindak secara sewenang-wenang di lain pihak.
Dalam kerangka “Penyelesaian di luar proses” hukum pidana positif, bahwa tujuan yang akan diharapkan yaitu agar akar nilai yang diusung oleh keadilan restoratif berakar dari nilai-nilai tradisional dalam masyarakat tradisional seperti nilai keseimbangan, harmonisasi serta kedamaian dalam masyarakat. Oleh karena itu di beberapa negara tercatat bahwa lembaga peradilan adat tetap dipertahankan sebagai sarana bagi masyarakat untuk menyelesaikan sengketa atau permasalahan yang dialaminya termasuk didalamnya perkara pidana agar pelaku, korban dan masyarakat serta tokoh masyarakat dirasakan lebih memberikan rasa keadilan masyarakat. Sehingga mendorong terjalinnya kembali komunikasi dalam masyarakat dan memperbaiki keharmonisan hubungan masyarakat yang rusak karena ulah pelanggar atau pelaku. [3]
Berdasar pada uraian “latar belakang” di atas, maka tesis yang  disusun ini hendak menganalisis Tentang “Kebijakan Hukum Pidana Dalam Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Melalui Penyelesaian Di Luar Proses”.


B.     Rumusan Masalah
            Berdasarkan latar belakang tersebut, maka permasalahan yang hendak di angkat dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.    Bagaimana kebijakan hukum pidana dalam penanggulangan tindak pidana melalui upaya penyelesaian diluar proses hukum positif saat ini?
2.    Bagaimana kebijakan hukum pidana dalam penanggulangan tindak pidana melalui upaya penyelesaian diluar proses dalam rangka pembaharuan hukum pidana di Indonesia?
C.    Manfaat Penulisan
            Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan, baik untuk kepentingan ilmu pengetahuan (teoritis) maupun kepentingan praktis. Adapun kegunaan penelitian tersebut adalah sebagai berikut :
1.    Kegunaan Teoritik
Untuk memenuhi salah satu syarat dalam menyelesaikan Program Pasca Sarjana Ilmu Hukum di Universitas Islam Sultan Agung
2. Kegunaan Praktis
a.    Untuk penulis pribadi guna mengetahui dan menganalisis Kebijakan Hukum Pidana  Dalam Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Melalui Penyelesaian Di Luar Proses.  
b.    Hasil penelitian ini dapat dijadikan kontribusi sumbangan pemikiran bagi para pengambil kebijakan baik dalam tahap legislatif

BAB II
PEMBAHASAN
A.      Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Melalui Upaya Penyelesaian Diluar Proses Hukum Positif Saat Ini
                 Dalam kebijakan hukum pidana, pemberian pidana untuk menanggulangi kejahatan merupakan salah satu upaya di samping upaya-upaya lain. Penanganan kejahatan melalui sistem peradilan pidana merupakan sebagian kecil dari penanganan kejahatan secara keseluruhan. Upaya melalui sistem peradilan pidana dikenal dengan istilah ”upaya penal” yaitu dengan menggunakan peraturan perundang-undangan pidana, di samping upaya ”penyelesaian di luar proses” yang penekanannya ditunjukkan pada faktor penyebab terjadinya kejahatan. Keseluruhan penanggulangan kejahatan ini merupakan politik kriminal (kebijakan penanggulangan kejahatan).
Upaya atau kebijakan untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan tindak pidana tidak terlepas dari kebijakan yang lebih luas yaitu kebijakan social (social policy) yang terdiri dari kebijakan/upaya-upaya untuk kesejahteraan social (social welfare policy) dan kebijakan/upaya-upaya untuk perlindungan masyarakat (social defence policy). [4]
                 Upaya penyelesaian tindak pidana di luar proses merupakan proses penyelesaian perkara tindak pidana dengan cara kesepakatan oleh para pihak diluar kewenangan pengadilan dengan realisasi pihak ketiga dengan memposisikan pelaku tindak pidana dengan korban dalam level yang sama.
Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Melalui Upaya Penyelesaian Di Luar Proses Hukum Positif Saat Ini dalam Prakteknya  ditujukan untuk terjadinya “solusi sama-sama untung”/”wini-win solution”. Menurut Covey penyelesaian secara ”Win-win solution” atau menang-menang, dapat memuaskan semua pihak yang berpekara sama-sama untung, karena secara filosofisnya adalah:
Menang-menang berarti mengerti, bahwa kita hidup dalam suatu dunia yang saling tergantung, dan karenanya harus bekerjasama di dalamnya. Hal mana berarti bahwa dalam sebagian besar bidang kehidupan, kita harus bekerjasama dengan orang lain untuk mencapai sukses. Bila kita mengerti adanya saling ketergantungan termaksud, kita akan rela mengabdikan diri untuk bekerjasama dengan orang lain lewat cara-cara yang menjamin keberhasilan bersama, serta memungkinkan semua orang menjadi pemenang. Itulah hakikat dari sikap menang-menang. Ia akan memperlancar interaksi kita dengan sesama, dan akan menghasilkan kesepakatan serta pemecahan masalah yang memungkinkan semua pihak memperoleh apa yang diinginkan.[5]

Lebih jelas lagi Covey mengatakan bahwa:

Menang-menang, adalah suatu kerangka berpikir dan perasaan yang senantiasa mencari manfaat bersama dalam segala interaksi antar manusia. Menang-menang, berarti semua orang untung, karena kesepakatan atau pemecahan masalahnya menguntungkan dan memuaskan kedua belah pihak. Dengan pemecahan yang menang-menang, semua pihak merasa senang terhadap keputusan yang diambil serta terikat untuk ikut melaksanakan rencana tindakan yang telah disepakati. Menurut   Lembaga yang disediakan untuk penyelesaian diluar proses adalah restorative justice yang dalam mekanisme prosesnya ada mediasi dengan harus menghormati norma hukum sosial/adat serta memenuhi asas keadilan. Masalah “substansi” kesepakatan serta bagaiamana realisasinya/dilibatkannya pihak ketiga ditentukan secara bersama. [6]

Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Melalui Upaya Penyelesaian Diluar Proses Hukum Positif Saat Ini dapat di tinjau dari peraturan perundang-undangan di bawah ini:
1.    Undang-Undang
a.    Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Kebijakannya terdapat pada Pasal 47;
b.   Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah;
Kebijakannya terdapat pada Pasal 3;
c.    Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Kebijakannya terdapat pada Pasal 84 (3);
d. Undang-Undang Nomor Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, kebijakannya Pasal 5 ayat (3) dan Pasal 6 point “b”;
e. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, kebijakannya terdapat pada Pasal 76.
                        Secara Umum upaya penyelesaian tindak pidana di luar proses merupakan sarana yang “disepakati oleh para pihak”, diluar kewenangan pengadilan namun hasil kesepakatannya “memuaskan” (karena terwujudnya keadilan) sesuai dengan keinginan mereka. “Masalah substansi” kesepakatan serta bagaimana realisasinya/dilibatkannya pihak ketiga juga ditentukan secara bersama.
2.      Hukum Adat
Yaitu Peradilan Gapong Aceh, Budaya Bakar Batu Papua, Awig-Awig dan Begudem (musyawarah) di NTB, Sumbawa.
3.      Hukum Islam
                        Di tandai dengan Konsep perma’afan” dari korban merupakan wujud keseimbangan dengan pelaku tindak pidana. Sebagaimana firman Allah: 
Barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih. QS. AL-Baqarah-127.

                 Sebagai hasil analisis “Kebijakan hukum pidana dalam upaya penanggulangan tindak pidana di luar proses dalam Hukum Positif Saat ini” menurut penulis merupakan kebijakan yang berdasarkan kesepakatan antara para pihak di luar kewenangan pengadilan namun hasil kesepakatannya “memuaskan” (karena terwujudnya keadilan) sesuai keinginan mereka. Masalah “substansi” kesepakatan serta bagaimana realisasinya/dilibatkannya pihak ketiga juga ditentukan secara bersama. tetapi ini merupakan manifestasi upaya “penanggulangan tindak pidana” dengan memposisikan keseimbangan antara pelaku dan korban dalam level yang sama dan mengambil prinsip “Win-win Soltion” yaitu pinsip sama-sama untung. Sehingga dapat diartikan “model perlindungan ganda” yaitu perlindungan hukum bagi korban tindak pidana dan perlindungan hukum bagi pelaku tindak pidana sekaligus merupakan perlindungan masyarakat pada umunya.
B.     Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Melalui Upaya Penyelesaian Di Luar Proses Dalam Rangka Pembaharuan Hukum Pidana Di Indonesia
                 Kebijakan hukum pidana dalam penanggulangan tindak pidana melalui upaya “penyelesaian di luar proses” dalam rangka pembaharuan hukum pidana di Indonesia meliputi kebijakan formulasi terhadap ketentuan Konsep RUU KUHP 2012 dengan menjadikannya sebagai bahan analisis dan dipadukan dengan kajian perbandingan hukum pidana di Negara-negara lain. Hal ini bertujuan untuk menemukan Kebijakan hukum pidana dalam penanggulangan tindak pidana melalui upaya “penyelesaian diluar proses” dalam mengadakan pembaharuan hukum pidana di Indonesia.
                 Pembaharuan Hukum Pidana lebih mencerminkan perlindungan hukum serta hak asasi manusia,baik bagi tersangka, terdakwa, saksi, maupun korban demi terselenggaranya Negara Hukum. Pembaharuan hukum pidana merupakan bagian yang terkait dengan law enforcement policy, criminal policy, dan social policy. Pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari kebijakan (upaya rasional) untuk memperbaharui substansi hukum dalam rangka mengefektifkan penegakan hukum, untuk memberantas atau menanggulangi kejahatan dalam rangka mencapai tujuan nasional. Pembaharuan hukum pidana juga merupakan upaya peninjauan dan penilaian kembali (reorientasi dan reevealuasi) pokok-pokok pemikiran, ide-ide dasar, atau nilai-nilai sosio-filosofis, sosio-politik, dan sosio-kultural yang melandasi kebijakan kriminal dan kebijakan (penegakan) hukum pidana selama ini. Bukanlah pembaharuan (reformasi) hukum pidana apabila orientasi nilai dari hukum pidana yang dicita-citakan sama saja dengan orientasi nilai dari hukum pidana lama. Dengan demikian pembaharuan hukum acara pidana ditempuh dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy oriented approach) dan pendekatan yang berorientasi pada nilai (value oriented approach).
Pembaharuan hukum harus dimaknai dengan suatu keinginan yang lebih  maju, terutama tuntutan demi menciptakan rasa keadilan dalam masyarakat seiring dengan aspirasi rakyat yang berkembang sesuai dengan tuntutannya. Untuk itu pembaharuan KUHAP yang diinginkan harus mencerminkan tuntutan tersebut, tanpa meninggalkan asas-asas yang terkandung sebelumnya. Pembahruan hukum pidana harus mencakup ide keseimbangan artinya pembaharuan hukum pidana harus mencakup keseimbangan monodualistik antara kepentingan umum/masyarakat dan kepentingan individu atau perorangan, keseimbangan antara perlindungan/kepetingan perilaku tindak pidana, keseimbangan antara unsur/faktor objektif dan subjektif, keseimbangan antara kriteria formil dan materil, keseimbangan antara kepastian hukum, kelenturan/fleksibilitas dan keadilan, dan keseimbangan nilai-nilai sosial dan nilai-nilai global. 
Ide keseimbangan tersebut sebagai salah satu upaya perwujudannya yaitu “Kebijakan hukum pidana dalam penanggulangan tindak pidana melalui upaya “penyelesaian diluar proses” sebagai landasan hukumnya dicantumkan dalam Bab IV tentang Gugurnya Kewenangan Penuntutan dan Pelaksanaan Pidana, tepatnya Bagian Kesatu Gugurnya Kewenangan Penuntutan Pasal 145 huruf “d” Konsep KUHP 2012 yaitu “penyelesaian di luar proses”.

Pada ketentuan Pasal 45 huruf ”d”  ini dalam RUU KUHP Baru tidak memberi penjelasan tentang upaya ”penyelesaian di luar proses” ini sehingga pemahaman terhadapnya dicari dari pandangan para sarjana dan aparat penegakan hukum.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar[7] dalam satu kesempatan di Mabes Polri Jakarta mengungkap kebijakan formulasi RUU KUHP Baru tentang ”Penyelesaian di luar proses”. Bersama Polri, Patrialis Akbar menyepakati pemberlakuan ”Restorative justice system”. Selain itu Menkumham akan segera merumuskan aturan penerapan ”restorative justice system”. Salah satunya adalah dengan menentukan usia pelaku dan jenis kejahatan.
Di kaji dari latar belakang ”Penyelesaian di luar proses” dalam hukum Indonesia, khususnya hukum pidana, penyelesaian suatu masalah pidana di putuskan melalui proses penyelidikan, penuntutan, proses persidangan, sampai dengan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Namun dewasa ini cara penyelesaian sengketa melalui peradilan mendapat kritik yang cukup tajam, baik dari praktisi  maupun teoritisi hukum. Peran dan fungsi peradilan, di anggap mengalami beban yang terlampau padat (overloaded). Lamban dan buang waktu (wasteof time). Biaya mahal (very expensive) dan kurang tanggap (unresponsive) terhadap kepentingan umum. Atau di anggap terlampau formalistik (formalisitic) dan terlampau teknis (technically).
Pandangan tentang ”penyelesaian di luar proses” juga dikemukakan oleh Erman Rajagukguk dan Gatot Soemartono, bahwa masyarakat khususnya kaum bisnis lebih menyukai penyelesaian sengketa di luar pengadilan/penyelesaian di luar proses disebabkan tiga alasan, yaitu: pertama Penyelesaian sengketa di pengadilan adalah terbuka, kaum bisnis lebih menyukai sengketa mereka diselesaiakan tertutup, tanpa diketahui oleh publik. Kedua, sebagian masyarakat, khususnya orang bisnis menganggap hakim tidak selalu ahli dalam permasalahan sengketa yang timbul. Dan ketiga, penyelesaian sengketa di pengadilan akan mencari pihak yang mana yang salah dan yang benar, sedangkan putusan penyelesaian sengketa di luar pengadilan/penyelesaian di luar proses akan dicapai melalui kompromi sedangkan menurut Gatot Soemartono,[8] ada beberapa cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan/penyelesaian di luar proses yaitu melalui Negosiasi, Mediasi dan Arbitasi.
Memahami cara ”penyelesaian diluar proses”, maka kebijakan ”aplikasi” merupakan bentuk modernisasi hukum pidana dalam usahanya untuk ke luar dari belenggu kesulitan mencari landasan yang memuaskan untuk mempertahankan sanksi pidana, yakni berkisar pada tujuan pokok yaitu melindungi kepentigan umum, mencegah serta mengendalikan kejahatan dan memperbaiki orang yang melanggar hukum pidana. Karena secara umum peristiwa pelanggaran mengakibatkan derita pada orang lain, sehingga kehidupan masyarakat menjadi tidak seimbang, jadi untuk mempertahankannya harus dengan memberikan hukuman yang setimpal sesuai dengan perasaan keadilan masyarakat di wilayah masing-masing.
RUU KUHP Baru pun merupakan hasil nyata dari ide dasar penyusunan sistem hukum pidana nasional. Penyusunan RUU KUHP Baru merupakan perkembangan penyusunan yang berkelanjutan dari konsep sebelumnya. Perkembangan demikian tidak dapat dipisah-lepaskan dari masalah utamanya yang menjadi ruang lingkup pembaharuan hukum pidana nasional, yaitu masalah tindak pidana, masalah pertanggungjawaban pidana, serta masalah pidana dan pemidanaan. Hukum pidana  di samping merupakan sub-sistem Hukum Nasional, berkedudukan pula sebagai sistem dari ruang lingkupnya; sub-sistem hukum materil , formil, dan pelaksanaan pidana.
            Kebijakan “Penyelesaian di luar Proses” ini yang menurut penulis dimuat dengan mendasarkan keadilan dan nilai-nilai yang sesuai dengan masyarakat Indonesia pada umunya. Selain itu, Kebijakan Penyelesaian di luar proses ini di rumuskan dengan di latar belakangi dengan pemikiran ide-ide pembaharuan hukum pidana (penal reform), dan dikaitkan dengan masalah pragmatisme. Latar belakang ide-ide ”penal reform” itu antara lain ide perlindungan korban, ide harmonisasi, ide restorative justice, ide mengatasi kekakuan/formalitas dalam sistem yang berlaku, ide menghindari efek negatif dari sistem peradilan pidana dan sistem pemidanaan yang ada saat ini, khususnya dalam mencari alternatif lain dari pidana penjara (alternative to imprisonment/alter-native to custody). Latar belakang pragmatisme antara lain untuk mengurangi stagnasi atau penumpukan perkara (“the problems of court case overload”), untuk penyederhanaan proses peradilan.
Pembaharuan Hukum pidana ini merupakan langkah yang paling efektif agar proses dalam berpekara dapat di temukan suatu keadilan yang benar-benar dirasakan manfaatnya. Kebijakan penyelesaian di luar proses menyediakan solusi terbaik untuk menjawab keadilan yang mengarah keseimbangan. Ide keseimbangan ini antara lain mencakup keseimbangan monodualistik antara “kepentingan umum/masyarakat” dan “kepentingan umum/individu”itu mencakup juga ide “perlindungan/kepentingan korban” dan “ide individualisasi pidana”.  Jadi untuk memenuhi konsep keseimbangan ini, Konsep menyediakan sanksi tambahan berupa “pembayaran ganti rugi” dan “pemenuhan kewajiban adat”. Jadi di samping pelaku tindak pidana mendapat sanksi pidan, korban/masyarakatpun mendapatkan perhatian dan santunan dalam sistem pemidanaan. 
Analaisis Kajian Komparasi Kebijakan Hukum Pidana Dalam Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Melalui Penyelesaian Di Luar Proses” dalam KUHAP Negara Asing
a.        Austria
Kebijakan “Penyelesaian di Luar Proses” pada KUHP Austria ini yaitu adanya diversi pada anak kemudian bisa juga pada anak dewasa setelah pada bulan Februari tahun 1999 Parlemen Austria menerima amandemen terhadap KUHAP mengenai “refrainment from prosecution, non-judicial mediation and diversion” (Straf-prozenovelle 1999) yang diberlakukan pada Januari 2000.
Pada mulanya diversi/pengalihan penuntutan hanya untuk anak melalui ATA-J (Auergerichtlicher Tatausgleich für Jugend-liche), namun kemudian bisa untuk orang dewasa melalui ATA-E (Auer-gerichtlicher Tatausgleich für Erwachsene) yang merupakan bentuk “victim-offender mediation” (VOM).[9]
Ketentuan Diversi pada KUHP Negara Austria ini berbeda dengan Konsep yang ada dalam Konsep Diversi Indonesia, dimana dalam Undang-Undang-Undang Nomor Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak hanya bisa dilakukan diversi hanya pada umur anak dibawah 7 tahun dan bukan pengulangan tindak pidana sebagaimana pasal 7 ayat( 2).
b.        Jerman
Di Jerman, dibedakan dua istilah: restitution dan Täter Opfer-Ausgleich (TOA) atau Offender Victim Arrangement  (OVA). Kebijakan penyelsaian di luar proses dalam KUHP Jerman ini terlihat pada adanya “divers” dan “kompesasi” yang dikenal dengan istilah Tater Opfer Ausgleich (TOA). Apabila TOA telah dilakukan, maka penentuan dihentikan (Section. 153b StPO/Strafpro-zessordnung/KUHAP).
Di Indonesia Penyelesaian kasus pidana antara Pelaku dan Korban melalui kompensasi hanya bisa di berlakukan pada kasus Perdata, hal ini sebagaimana diatur pada Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Saksi dan Korban. Sebenarnya dalam penyelesaian kasus pidana sudah ada namun hanya dilakukan sebagai pidana bersyarat, sebagaian lagi ada di atur dalam  peraturan perundang-undangan namun belum ada prosedur yang jelas.
c.         Perancis
Pada KUHP Perancis ini kebijakan “Penyelesaian di Luar Proses” berupa mediasi antara pelaku dan korban. Pada Tahun1993, berdasarkan UU 4 Januari 1993[10] yang mengamandemen Pasal 41 KUHAP (CCP- Code of Criminal Procedure):
Public prosecutor can order penal mediation with consent of victim and offender “if it appears that such a measure may be able to remedy the harm done to the victim, put an end to the trouble resulting from the infraction and assist in the rehabilitation of the offender.

                        Penyelesaian di luar proses seperti melalui mediasi antara pelaku dan korban tersebut di atas, sebenarnya dalam dunia hukum masyarakat Indoensia sebenarnya ini merupakan sudah ada sejak bangsa ini dan merupakan sudah menjadi budaya hukum adat di Indonesia. Namun hal demikian belum suatu aturan hukum pun yang bisa melegalkan penyelesaian dengan cara mediasi ini. Pada hal penyelesaian seperti ini efektif memberikan untuk menciptakan suatu keadilan hukum.
d.        Polandia
KUHP Polandia juga pada kebijakan “Penyelesaian di Luar Proses” dalam KUHPnya juga telah mengatur mediasi. Proses mediasi perkara pidana diatur dalam Pasal 23a CCP (Code of Criminal Procedure) dan Peraturan Menteri Kehakiman 13 Juni 2003 tentang “Mediation proceedings in criminal matters” (Journal of Laws No 108, item 1020). [11]
Ketentuan pasal 23a CCP (Code of Criminal Procedure) bahwa Pengadilan dan Jaksa, atas inisiatifnya atau atas persetujuan korban dan pelaku, dapat menyerahkan suatu kasus ke Lembaga terpercaya  atau seseorang untuk melakukan mediasi antara korban dan terdakwa. Proses  mediasi paling lama satu bulan. Biaya proses mediasi ditanggung oleh perbendaharaan negara (State Treasury). Mediasi dapat diterapkan untuk semua kejahatan yang maksimum ancaman pidananya kurang dari lima (5) tahun penjara. Bahkan kejahatan kekerasan (Violent Crimes) juga dapat di mediasi.[12]
            Sebagai hasil analisa pada ”Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Melalui Upaya Penyelesaian Diluar Proses” pada pembaharuan hukum pidana di Indonesia dimana kebijakannya ini dicantumkan pada pasal 145 huruf “d” Konsep RUU KUHP 2012, tetapi terhadap ruang lingkupnya tidak di jumpai rumusan prosedurnya dalam rancangan. Tidak dirumuskan ketentuan penyelesaian diluar proses dalam hukum pidana formil merupakan indikasi terputusnya jalinan sistem pemidanaan yang sedang dibangun.
Pelaksanaan ketentuan “penyelesaian di luar proses”  sebagai “alasan hapusnya kewenangan menuntut pidana” tidak dijumpai baik dalam konsep maupun penjelasan Konsep KUHP 2012. Sedangkan dari bahan komparasi di atas dapat diidentifikasikan, bahwa di beberapa negara lain, Kebijakan “Penyelesaian diluar proses” di tuangkan dalam bentuk “mediasi penal“ , “diversi”. Bahan-bahan komparasi kebijakan formulasi “Penyelesaian di Luar Proses” memadukan ide keseimbangan antara perlindungan kepentingan pelaku dengan perlindungan kepentingan korban yaitu upaya “mediasi penal, diversi”. Upaya ini tidak dapat dipisahkan dengan “tujuan pemidanaan” berupa “untuk mendidik kembali terpidana mematuhi aturan kebiasaan masyarakat atau membangun sikap yang patut terhadap aturan hidup bersama/bermasyarakat dan bukan hanya untuk menegakan /membangun “rule of the law”, tetapi juga “rule of social cohabitation’. Selain itu juga komparasi diatas “menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat”. Hal ini kalau dipadukan dengan teori pemidanaan, maka upaya “mediasi penal, diversi,” paralel dengan “Teori Absolut yang Relatif “/”Teori Gabungan” yang hakikatnya memadukan tujuan pidana sebagai pembalasan terhadap pelaku tindak pidana upaya”mediasi penal”, “diversi” di antaranya “pemberian memberi ganti rugi/kompensasi, denda , pidana kerja sosial” oleh korban atau keluarganya kepada pelaku tindak pidana. Sebagai intinya bahwa dalam praktek penyelesaian di luar proses ini merubah/mengganti penjatuhan “pidana” menjadi “tindakan”. Dengan demikian Teori Gabungan memadukan tujuan pidana sebagai upaya perlindungan kepentingan individu tindak pidana dengan upaya perlindungan kepentingan masyarakat/korban.


BAB IV
PENUTUP
A.    Kesimpulan
                 Bertolak dari perumusan masalah dan uraian hasil penelitian dan analisa yang dikemukakan pada bab-bab sebelumnya, maka dalam tesis ini dapat ditarik kesimpulan, sebagai berikut ;
1.    Kebijakan hukum pidana dalam penanggulangan tindak pidana melalui upaya penyelesaian di luar proses hukum positif saat ini.
                        Kebijakan hukum pidana dalam penanggulangan tindak pidana melalui upaya penyelesaian di luar proses hukum positif saat ini hanya sebagian kecil, sedangkan yang semuanya masih berorientasi pada penyelesaian formal. Hal ini karena Ketentuan Induk memang memberinya peluang. Sehingga kebijakan dalam pemidanaanya sering kali tidak menimbulkan efek jera bagi pelaku tindak pidana, dibandingkan dengan upaya “penyelesaian di luar proses ini”, kebijakan pemidanaan dapat memberikan efek jera bagi pelaku, sehingga tidak ada yang merasa dirugikan baik bagi korban maupun masyarakat. Hal inilah yang menjadi prinsip pada “Penyelesaian di luar proses” bahwa perkara pidana tidak harus dengan pemidanaan atau penjatuhan sanksi pidana, karena tujuan dari pidana adalah sebagai salah satu sarana pembinaan untuk menanggulangi masalah-masalah sosial.
2.    Kebijakan hukum pidana dalam penanggulangan tindak pidana melalui upaya penyelesaian di luar proses dalam rangka pembaharuan hukum pidana di Indonesia
            Kebijakan hukum pidana dalam penanggulangan tindak pidana melalui upaya penyelesaian di luar proses dalam rangka pembaharuan hukum pidana di Indonesia hendaknya diatur secara terpadu, dan diperlukan jenis pidana yang dapat mengkompromikan atau memanfaatkan segi-segi positif (sebaliknya juga berarti, menghindari segi-segi negative) dari pidana penjara disuatu pihak dan pidana pengawasan dilain pihak. Jadi mengompromikan “pidana” dengan “tindakan”. Agar dapat membawa keadilan yang merata. Hal ini telah diperlihatkan berbagai penjelasan pada KUHAP Negara-negara asing yang telah melakukan mekanisme terobosan dalam hukum dan sistem pemidanaannya, guna mengatasi problem hukum itu sendiri, terutama dari sisi proses yang belum bisa menjanjikan kecepatan putusan, akurasi penanganan serta biaya yang murah sekaligus.
                        Jadi Ke depan, diharapkan akan ada lebih banyak lagi terobosan yang dilakukan para pimpinan lembaga-lembaga hukum guna memungkinkan hidupnya “Penyelesaian di Luar Proses”, karena tentu saja tidak seyogyanya dilihat sebagai kompetitor, tetapi justru penyaring atau filter agar kasus yang benar-benar kompleks yang kemudian ditangani para profesional di bidang hukum seperti kepolisian, kejaksaan dan peradilan.

B.     Saran
1.    Penyusunan RUU KUHP Baru harus didasarkan pada ‘ide keseimbangan” nilai-nilai pancasila. Oleh karena itu dalam penyusunan kebijakan hukum pidana kebijakan hukum pidana dalam penanggulangan tindak pidana melalui upaya “penyelesaian diluar proses”, adalah sangat bijak apabila RUU KUHP Baru juga berpedoman  pada nilai-nilai kearifan religious (Tuntunan Ketuhanan YME) dalam memberikan perlindungan kepadapelaku dan korban.
2.    Kebijakan hukum pidana dalam penanggulangan tindak pidana melalui upaya penyelesaian diluar proses yang merupakan cerminan dari keadilan restorative, oleh karenanya itu sudah saatnya pemerintah merespon kenyataan tersebut dengan penyusunan ketentuan perundang-undangan, seperti yang telah ada dibidang perdata yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1999 tentang arbitrase dan alternative penyelesaian sengketa.
3.    Urgensi kebijakan hukum pidana dalam penanggulangan tindak pidana melalui upaya “penyelesaian diluar proses” dewasa ini tidak dapat dianggap remeh, karena sangat berpengaruh terhadap jalinan sistem, oleh karena itu sudah saatnya Lembaga Legislatif memperhatikan kebijakan “penyelesaian diluar proses” ini.
4.    Hukum Pidana merupakan Ultimum Remedium artinya hukum pidana sebaiknya digunakan sebagai obat terakhir atau langkah terakhir apabila cara-cara penyelesaian yang lain tidak dapat menemui kesepakatan atau jalan keluar.
DAFTAR PUSTAKA
A.  BUKU

Abdurrahman al-Maliki dan Ahmad ad-Daur, 2004, Sistem Sanksi dan Hukum Pembuktian Dalam Islam, Pustaka Tharikul izzah, Bogor.
Asshidiqie, Jimly, 1995, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Angkasa, Bandung.
Covey, 1994, The Seven Habits of Highly Effecive People (terjemahan),  Covey Leadership Center.
Hadikusuma, Hilman. 1979. Hukum Pidana Adat, Alumni, Bandung.
Halim Barkatullah, Abdul, 2005, Politik Hukum Pidana, Kajian Kebijakan Kriminalisasi Dan Dekriminalisasi, Pustaka Pelajar,Yogyakarta
Hoefnagels,  G. P., 1973, The Other Side of Criminology, An Iversion Of The Concept of Crime,  Kluiver, Deventer.
Liebmann, Marian, 2007, Restoratif Justice How it Works, Jessica kingsley Publisher, London and Philadephia.
M. Friedman, Lawrence, 2001, American Law An Introduction (Hukum Amerika Sebuah Pengantar), Cet.Ke-1.(Penerjemah Wishnu Basuki, PT. Tatanusa, Jakarta-Indonesia.
Majid, Nurkholis, 2008, Pemikiran Islam Di Kanvas Peradaban , Penyunting Budhy Munawar Rachman, PT. Sarana Mangunkarsa, yayasan Pesantren Indonesia Al Zaitun, Indramayu.
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 2005, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung.
Muladi,  Kuliah “Disparitas Pidana” (Disparity of Sentecing/Sentencing Disparity) pada mahasisiwa Magister Ilmu Hukum Fakutas Hukum UNDIP 4 Desember 2010 pukul 14.00 – 16.00 WIB
Mulyadi, Lilik, 2008, Bunga Rampai Hukum Pidana Perspektif, Teoretis Dan Praktik,  Penerbit PT Alumni, Bandung.
Nawawi Arief,  Barda, 2002, Bunga Rampai Kebijakan hukum Pidana, Edisi  Revisi, PT. Citra aditya Bakti, Bandung.
R. Soesilo, 1983, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politea, Bogor.
Schacht, Joseph, 1970, Law and justice, Cambridge University Press, Cambridge.
Soponyono, Eko, Disertasi Kebijakan Perumusan Sistem Pemidanaan Yang Berorientasi Terhadap Korban. Program Doktor UNDIP, Semarang

B.  WEBSITE

http://www.primaironline.com/berita/hukum/menhukhamutamakan/penyelesaian - diluar-proses-hukum.
http://ec.europa.eu/ civiljustice/adr/adr_pol_en.htm, Alternative dispute resolutions Poland.
Czarnecka-Dzialuk and Dobrochna Wójcik, Victim-Offender Mediation With Juveniles In Poland, http://72.
Miers David, 2001, An International Review of Restorative Justice, p.7, dalam tulisan Dr. Juhani Iivari, Victim-Offender Mediation-An Alternative, an Addition or Nothing But A Rubbish Bin in Relation to Legal Proceedings, www.restorativejustice.org/resources/docs/iivari1/download

C.  JURNAL dan MAKALAH

Herlina,  Apong, Restoratif Justice, (Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. III No. 3 September 2004).
Soemartono,  Gatot, dalam Disertasi Eko Sponyono, 2011, Kebijakan Perumusan Tindak Pidana Yang Berorientasi Pada Korban, Di ajukan untuk program Doktor UNDIP, semarang.
Zulva, Achjani, Keadilan Restoratif dan Revitalisasi Lembaga Adat di Indonesia,  (Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. 6 No. II Agustus 2010)

D.  UNDANG-UNDANG 

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia.
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Indonesia
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana 2012 (RUU KUAHP) Indonesia.
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 2012 (RUU KUHP) Indonesia.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan saksi dan Korban.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-Undang  Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.


[1]Lilik Mulyadi, 2008, Bunga Rampai Hukum Pidana Perspektif, Teoretis Dan Praktik,  Penerbit PT Alumni, Bandung , h. 1
                       
                         [2] Achjani Zulva, Keadilan Restoratif dan Revitalisasi Lembaga Adat di Indonesia,  (Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. 6 No. II Agustus 2010), h. 195-196
                         [3] Apong Herlina, Restoratif Justice, (Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. III No. 3 September 2004), h. 26
                                [4] Barda Nawawi Arief, 2002, Bunga Rampai Kebijakan hukum Pidana, Edisi  Revisi, PT. Citra aditya Bakti, Bandung, , h. 21
[5] Covey, 1994, The Seven Habits of Highly Effecive People (terjemahan),  Covey Leadership Center, h. f-3. 
[6] Ibid
[7]http://www.primaironline.com/berita/hukum/menhukhamutamakan/penyelesaian - diluar-proses-hukum
[8] Gatot Soemartono, dalam Disertasi Eko Sponyono, 2011, Kebijakan Perumusan Tindak Pidana Yang Berorientasi Pada Korban, Di ajukan untuk program Doktor UNDIP, semarang
[9] Di Austria terdiri dari ATA-J (Außergerichtlicher Tatausgleich für Jugendliche) untuk anak, dan ATA-E (Außergerichtlicher Tatausgleich für Erwachsene) untuk orang dewasa.

[10] Kemudian dikembangkan berdasar UU 18 Desember 1998 dan UU 9 Juni 1999 (sumber internet: international  research project – report 2.pdf)
[11]http://ec.europa.eu/ civiljustice/adr/adr_pol_en.htm, Alternative dispute resolutions Poland. Lihat juga Beata Czarnecka-Dzialuk and Dobrochna Wójcik, Victim-Offender Mediation With Juveniles In Poland, http://72.
[12] Miers David, 2001, An International Review of Restorative Justice, p.7, dalam tulisan Dr. Juhani Iivari, Victim-Offender Mediation-An Alternative, an Addition or Nothing But A Rubbish Bin in Relation to Legal Proceedings, www.restorativejustice.org/resources/docs/iivari1/download