BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pada hakikatnya manusia hidup
manusia di alam ini lahir dengan kebebasannya. Di mana manusia dulu hidup
dengan berpindah-pindah tanpa ada hukum yang mengaturnya. Namun seiring
berkembangnya zaman, kehidupan manusia tidak bisa hidup sendiri. Manusia perlu
hidup berkelompok untuk bisa melangsungkan kehidupannya, sehingga dengan demikian
untuk bisa hidup berkelompok ini manusia untuk menjaga eksistensi individulnya
dan hak-haknya, mereka menentukan sebuah kesepakatan-kesepakatan yang bersifat
mengikat di antara mereka. Kesepakatan-kesepakatan tersebut lama-kelamaan tetap
di panuti sebagai norma-norma kehidupan sehari-hari. Seiring perkembangan zaman
Kesepakatan-kesepakatan ini, disebut sebagai hukum dan kelompok-kelompok
manusia disebut juga sebagai masyarakat.
Hukum
yang berlaku pada masyarakat ini, karena mengalami perkembangan mengikuti
perkembangan kehidupan, maka menjadikan hukum sangat beragam macamnya. Sehingga
hukum dapat dikaji dari berbagai aspek-aspek tertentu. Olehnya itu apabila ditinjau dari aspek fungsinya
maka salah satu ruang lingkup hukum publik adalah hukum pidana yang secara
esensial dapat dibagi menjadi hukum pidana materiil (materieel strafrecht)
dan hukum pidana formal (Formeel Strafrecht/Strafprocesrecht).[1]
Dikaji dari perspektif sejarahnya,
bahwa hukum pidana Indonesia yang bersifat hukum publik seperti dikenal
sekarang ini telah melalui suatu perkembangan
yang panjang, dimana hukum pidana dulu dijadikan sebagai sarana Integrasi
sosial, yang berupa penyelesaian konflik-konflik kepentingan dalam hubungan
sosial dalam kehidupan masyarakat. Keberadaan hukum sebagai integrasi sosial
diwujudkan dengan lembaga pengadilan yang berfungsi mengintegrasikan dan
menyelesaikan konflik tersebut, sehingga kehidupan sosial kemasyarakatan
kembali nyaman dan tenteram. Bekerjanya lembaga peradilan dalam proses
peradilan pidana berlandaskan pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
KUHAP. Proses peradilan pidana berdasarkan KUHAP sangat berfokus pada “pelaku”
tindak pidana, baik mengenai kedudukannya sejak tersangka sampai menjadi terpidana
maupun hak-haknya sebagai tersangka atau pun terdakwa sangat dilindungi oleh
KUHAP, sehingga dapat dikatakan bahwa proses peradilan pidana sesuai KUHAP
adalah Offender minded/ Offender Oriented Criminal Justice Process.
Oleh karena sangat berfokus pada kepentingan “pelaku” tindak pidana maka
kepentingan “korban” (victim's interests) tidak mendapat tempat
di dalam KUHAP.
KUHP sebenarnya telah mengatur
kepentingan korban untuk memperoleh ganti kerugian kepada pelaku melalui
keputusan hakim yang berupa pidana bersyarat, di mana mengganti kerugian kepada
korban dijadikan sebagai syarat khususnya. Namun demikian karena hanya sebagai
syarat khusus dari pidana bersyarat maka seringkali tidak diterapkan.
Perkembangan hukum pidana dipandang sebagai suatu tindakan
merusak atau merugikan kepentingan orang lain dan disusuli suatu pembalasan.
Pembalasan itu umumnya tidak hanya merupakan kewajiban dari seseorang
yang dirugikan atau terkena tindakan, melainkan meluas menjadi kewajiban
dari seluruh keluarga, famili dan bahkan beberapa hal menjadi kewajiban dari
masyarakat.
Konsekuensi logis dimensi
perkembangan hukum pidana sebagaimana konteks di atas, ada sifat privat dari
hukum pidana. Seiring berjalannya waktu, di satu sisi perubahan dan dinamika
masyarakat yang teramat kompleks dan masyarakat hukum yang relatif lebih maju
maka hukum pidana kemudian mengarah, lahir, tumbuh dan berkembang menjadi
bagian dari hukum publik seperti dikenal sekarang ini. Di sisi lainnya terhadap
regulasi pembuatan peraturan perundang-undangan sebagai kebijakan legislasi
yang bersifat parsial ternyata sifat publik dari hukum pidana bergeser sifatnya
karena relatif juga memasuki ranah privat dengan dikenal dan dipraktekan
sebagai sebuah bentuk “penyelesaian di luar proses”, meskipun dalam kerangka normatif banyak
dipertanyakan namun dalam kenyataannya terdapat pula praktek penyelesaian
perkara pidana diluar sistem peradilan pidana.[2]
Secara gradual, hukum pidana sebagai bagian hukum publik eksistensinya
bertujuan melindungi kepentingan masyarakat dan negara dengan melakukan
perimbangan yang serasi dan selaras antara kejahatan di satu pihak dari
tindakan penguasa yang bertindak secara sewenang-wenang di lain pihak.
Dalam
kerangka “Penyelesaian di luar proses” hukum pidana positif, bahwa tujuan yang
akan diharapkan yaitu agar akar nilai yang diusung oleh keadilan restoratif
berakar dari nilai-nilai tradisional dalam masyarakat tradisional seperti nilai
keseimbangan, harmonisasi serta kedamaian dalam masyarakat. Oleh karena itu di
beberapa negara tercatat bahwa lembaga peradilan adat tetap dipertahankan
sebagai sarana bagi masyarakat untuk menyelesaikan sengketa atau permasalahan
yang dialaminya termasuk didalamnya perkara pidana agar pelaku, korban dan
masyarakat serta tokoh masyarakat dirasakan lebih memberikan rasa keadilan
masyarakat. Sehingga mendorong terjalinnya kembali komunikasi dalam masyarakat
dan memperbaiki keharmonisan hubungan masyarakat yang rusak karena ulah
pelanggar atau pelaku. [3]
Berdasar
pada uraian “latar belakang” di atas, maka tesis yang disusun ini hendak menganalisis Tentang “Kebijakan
Hukum Pidana Dalam Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Melalui Penyelesaian Di
Luar Proses”.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut,
maka permasalahan yang hendak di angkat dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana
kebijakan hukum pidana dalam penanggulangan tindak pidana melalui upaya
penyelesaian diluar proses hukum positif saat ini?
2. Bagaimana
kebijakan hukum pidana dalam penanggulangan tindak pidana melalui upaya
penyelesaian diluar proses dalam rangka pembaharuan hukum pidana di Indonesia?
C.
Manfaat
Penulisan
Hasil
penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan, baik untuk kepentingan
ilmu pengetahuan (teoritis) maupun kepentingan praktis. Adapun kegunaan
penelitian tersebut adalah sebagai berikut :
1. Kegunaan
Teoritik
Untuk memenuhi
salah satu syarat dalam menyelesaikan Program Pasca Sarjana Ilmu Hukum di
Universitas Islam Sultan Agung
2. Kegunaan
Praktis
a. Untuk
penulis pribadi guna mengetahui dan menganalisis Kebijakan Hukum Pidana Dalam Upaya Penanggulangan Tindak Pidana
Melalui Penyelesaian Di Luar Proses.
b. Hasil
penelitian ini dapat dijadikan kontribusi sumbangan pemikiran bagi para
pengambil kebijakan baik dalam tahap legislatif
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Kebijakan
Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Melalui Upaya Penyelesaian
Diluar Proses Hukum Positif Saat Ini
Dalam
kebijakan hukum pidana, pemberian pidana untuk menanggulangi kejahatan
merupakan salah satu upaya di samping upaya-upaya lain. Penanganan kejahatan
melalui sistem peradilan pidana merupakan sebagian kecil dari penanganan
kejahatan secara keseluruhan. Upaya melalui sistem peradilan pidana dikenal
dengan istilah ”upaya penal” yaitu dengan menggunakan peraturan
perundang-undangan pidana, di samping upaya ”penyelesaian di luar proses”
yang penekanannya ditunjukkan pada faktor penyebab terjadinya kejahatan.
Keseluruhan penanggulangan kejahatan ini merupakan politik kriminal (kebijakan
penanggulangan kejahatan).
Upaya
atau kebijakan untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan tindak pidana
tidak terlepas dari kebijakan yang lebih luas yaitu kebijakan social (social policy) yang terdiri dari
kebijakan/upaya-upaya untuk kesejahteraan social (social welfare policy) dan kebijakan/upaya-upaya untuk perlindungan
masyarakat (social defence policy). [4]
Upaya penyelesaian tindak pidana di luar proses
merupakan proses penyelesaian perkara tindak pidana dengan cara kesepakatan
oleh para pihak diluar kewenangan pengadilan dengan realisasi pihak ketiga
dengan memposisikan pelaku tindak pidana dengan korban dalam level yang sama.
Kebijakan Hukum
Pidana Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Melalui Upaya Penyelesaian Di Luar
Proses Hukum Positif Saat Ini dalam Prakteknya
ditujukan untuk terjadinya “solusi
sama-sama untung”/”wini-win solution”. Menurut Covey penyelesaian secara ”Win-win solution” atau menang-menang, dapat memuaskan semua pihak yang berpekara
sama-sama untung, karena secara filosofisnya adalah:
Menang-menang berarti mengerti, bahwa kita hidup dalam suatu dunia
yang saling tergantung, dan karenanya harus bekerjasama di dalamnya. Hal mana
berarti bahwa dalam sebagian besar bidang kehidupan, kita harus bekerjasama
dengan orang lain untuk mencapai sukses. Bila kita mengerti adanya saling
ketergantungan termaksud, kita akan rela mengabdikan diri untuk bekerjasama
dengan orang lain lewat cara-cara yang menjamin keberhasilan bersama, serta
memungkinkan semua orang menjadi pemenang. Itulah hakikat dari sikap
menang-menang. Ia akan memperlancar interaksi kita dengan sesama, dan akan
menghasilkan kesepakatan serta pemecahan masalah yang memungkinkan semua pihak
memperoleh apa yang diinginkan.[5]
Lebih jelas lagi Covey mengatakan
bahwa:
Menang-menang,
adalah suatu kerangka berpikir dan perasaan yang senantiasa
mencari manfaat bersama dalam segala interaksi antar manusia. Menang-menang,
berarti semua orang untung, karena kesepakatan atau pemecahan masalahnya
menguntungkan dan memuaskan kedua belah pihak. Dengan pemecahan yang
menang-menang, semua pihak merasa senang terhadap keputusan yang diambil serta
terikat untuk ikut melaksanakan rencana tindakan yang telah disepakati. Menurut Lembaga
yang disediakan untuk penyelesaian diluar proses adalah restorative justice yang dalam mekanisme prosesnya ada mediasi
dengan harus menghormati norma hukum sosial/adat serta memenuhi asas keadilan. Masalah
“substansi” kesepakatan serta bagaiamana realisasinya/dilibatkannya pihak
ketiga ditentukan secara bersama. [6]
Kebijakan
Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Melalui Upaya Penyelesaian
Diluar Proses Hukum Positif Saat Ini dapat di tinjau dari peraturan
perundang-undangan di bawah ini:
1.
Undang-Undang
a.
Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Kebijakannya terdapat
pada Pasal 47;
b.
Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah;
Kebijakannya terdapat
pada Pasal 3;
c.
Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Kebijakannya
terdapat pada Pasal 84 (3);
d. Undang-Undang
Nomor Nomor 11 Tahun 2012 Tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak, kebijakannya Pasal
5 ayat (3) dan Pasal 6 point “b”;
e. Undang-Undang
No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, kebijakannya terdapat pada Pasal
76.
Secara
Umum upaya penyelesaian tindak pidana di luar proses merupakan sarana yang
“disepakati oleh para pihak”, diluar kewenangan pengadilan namun hasil
kesepakatannya “memuaskan” (karena terwujudnya keadilan) sesuai dengan
keinginan mereka. “Masalah substansi” kesepakatan serta bagaimana realisasinya/dilibatkannya
pihak ketiga juga ditentukan secara bersama.
2.
Hukum
Adat
Yaitu
Peradilan Gapong Aceh, Budaya Bakar Batu Papua, Awig-Awig dan Begudem (musyawarah) di NTB, Sumbawa.
3. Hukum Islam
Di
tandai dengan Konsep “perma’afan” dari korban merupakan wujud keseimbangan dengan pelaku tindak
pidana. Sebagaimana firman Allah:
“Barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan
dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik,
dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af
dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari
Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka
baginya siksa yang sangat pedih. QS. AL-Baqarah-127.
Sebagai hasil analisis “Kebijakan hukum pidana dalam
upaya penanggulangan tindak pidana di luar proses dalam Hukum Positif Saat ini”
menurut penulis merupakan kebijakan yang berdasarkan kesepakatan antara para
pihak di luar kewenangan pengadilan namun hasil kesepakatannya “memuaskan” (karena
terwujudnya keadilan) sesuai keinginan mereka. Masalah “substansi” kesepakatan
serta bagaimana realisasinya/dilibatkannya pihak ketiga juga ditentukan secara
bersama. tetapi ini merupakan manifestasi upaya “penanggulangan tindak pidana”
dengan memposisikan keseimbangan antara pelaku dan korban dalam level yang sama
dan mengambil prinsip “Win-win Soltion”
yaitu pinsip sama-sama untung. Sehingga dapat diartikan “model perlindungan
ganda” yaitu perlindungan hukum bagi korban tindak pidana dan perlindungan
hukum bagi pelaku tindak pidana sekaligus merupakan perlindungan masyarakat
pada umunya.
B.
Kebijakan
Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Melalui Upaya Penyelesaian Di Luar
Proses Dalam Rangka Pembaharuan Hukum Pidana Di Indonesia
Kebijakan hukum pidana dalam penanggulangan tindak
pidana melalui upaya “penyelesaian di luar proses” dalam rangka pembaharuan
hukum pidana di Indonesia meliputi kebijakan formulasi terhadap ketentuan
Konsep RUU KUHP 2012 dengan menjadikannya sebagai bahan analisis dan dipadukan
dengan kajian perbandingan hukum pidana di Negara-negara lain. Hal ini
bertujuan untuk menemukan Kebijakan hukum pidana dalam penanggulangan tindak
pidana melalui upaya “penyelesaian diluar proses” dalam mengadakan pembaharuan
hukum pidana di Indonesia.
Pembaharuan Hukum Pidana lebih mencerminkan
perlindungan hukum serta hak asasi manusia,baik bagi tersangka, terdakwa,
saksi, maupun korban demi terselenggaranya Negara Hukum. Pembaharuan hukum
pidana merupakan bagian yang terkait dengan law
enforcement policy, criminal policy, dan social policy. Pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan
bagian dari kebijakan (upaya rasional) untuk memperbaharui substansi hukum
dalam rangka mengefektifkan penegakan hukum, untuk memberantas atau
menanggulangi kejahatan dalam rangka mencapai tujuan nasional. Pembaharuan
hukum pidana juga merupakan upaya peninjauan dan penilaian kembali (reorientasi
dan reevealuasi) pokok-pokok pemikiran, ide-ide dasar, atau nilai-nilai
sosio-filosofis, sosio-politik, dan sosio-kultural yang melandasi kebijakan
kriminal dan kebijakan (penegakan) hukum pidana selama ini. Bukanlah
pembaharuan (reformasi) hukum pidana
apabila orientasi nilai dari hukum pidana yang dicita-citakan sama saja dengan
orientasi nilai dari hukum pidana lama. Dengan demikian pembaharuan hukum acara
pidana ditempuh dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy oriented approach) dan pendekatan
yang berorientasi pada nilai (value oriented approach).
Pembaharuan
hukum harus dimaknai dengan suatu keinginan yang lebih maju, terutama tuntutan demi menciptakan rasa
keadilan dalam masyarakat seiring dengan aspirasi rakyat yang berkembang sesuai
dengan tuntutannya. Untuk itu pembaharuan KUHAP yang diinginkan harus
mencerminkan tuntutan tersebut, tanpa meninggalkan asas-asas yang terkandung
sebelumnya. Pembahruan hukum pidana harus mencakup ide keseimbangan artinya
pembaharuan hukum pidana harus mencakup keseimbangan monodualistik antara
kepentingan umum/masyarakat dan kepentingan individu atau perorangan,
keseimbangan antara perlindungan/kepetingan perilaku tindak pidana,
keseimbangan antara unsur/faktor objektif dan subjektif, keseimbangan antara
kriteria formil dan materil, keseimbangan antara kepastian hukum,
kelenturan/fleksibilitas dan keadilan, dan keseimbangan nilai-nilai sosial dan
nilai-nilai global.
Ide keseimbangan
tersebut sebagai salah satu upaya perwujudannya yaitu “Kebijakan hukum pidana
dalam penanggulangan tindak pidana melalui upaya “penyelesaian diluar proses”
sebagai landasan hukumnya dicantumkan dalam Bab IV tentang Gugurnya Kewenangan Penuntutan dan Pelaksanaan Pidana, tepatnya Bagian Kesatu Gugurnya
Kewenangan Penuntutan Pasal
145 huruf “d” Konsep KUHP 2012 yaitu “penyelesaian di luar
proses”.
Pada ketentuan Pasal 45 huruf ”d”
ini dalam RUU KUHP Baru tidak memberi penjelasan tentang upaya
”penyelesaian di luar proses” ini sehingga pemahaman terhadapnya dicari dari
pandangan para sarjana dan aparat penegakan hukum.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar[7]
dalam satu kesempatan di Mabes Polri Jakarta mengungkap kebijakan formulasi RUU
KUHP Baru tentang ”Penyelesaian di luar proses”. Bersama Polri, Patrialis Akbar
menyepakati pemberlakuan ”Restorative
justice system”. Selain itu Menkumham akan segera merumuskan aturan
penerapan ”restorative justice system”.
Salah satunya adalah dengan menentukan usia pelaku dan jenis kejahatan.
Di kaji dari latar belakang ”Penyelesaian di luar proses” dalam hukum
Indonesia, khususnya hukum pidana, penyelesaian suatu masalah pidana di
putuskan melalui proses penyelidikan, penuntutan, proses persidangan, sampai
dengan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Namun dewasa ini
cara penyelesaian sengketa melalui peradilan mendapat kritik yang cukup tajam,
baik dari praktisi maupun teoritisi
hukum. Peran dan fungsi peradilan, di anggap mengalami beban yang terlampau
padat (overloaded). Lamban dan buang
waktu (wasteof time). Biaya mahal (very expensive) dan kurang tanggap (unresponsive) terhadap kepentingan umum.
Atau di anggap terlampau formalistik (formalisitic)
dan terlampau teknis (technically).
Pandangan tentang ”penyelesaian di luar proses” juga dikemukakan oleh Erman
Rajagukguk dan Gatot Soemartono, bahwa masyarakat khususnya kaum bisnis lebih
menyukai penyelesaian sengketa di luar pengadilan/penyelesaian di luar proses
disebabkan tiga alasan, yaitu: pertama Penyelesaian sengketa di pengadilan
adalah terbuka, kaum bisnis lebih menyukai sengketa mereka diselesaiakan
tertutup, tanpa diketahui oleh publik. Kedua, sebagian masyarakat, khususnya
orang bisnis menganggap hakim tidak selalu ahli dalam permasalahan sengketa
yang timbul. Dan ketiga, penyelesaian sengketa di pengadilan akan mencari pihak
yang mana yang salah dan yang benar, sedangkan putusan penyelesaian sengketa di
luar pengadilan/penyelesaian di luar proses akan dicapai melalui kompromi
sedangkan menurut Gatot Soemartono,[8]
ada beberapa cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan/penyelesaian di luar
proses yaitu melalui Negosiasi, Mediasi dan Arbitasi.
Memahami cara ”penyelesaian diluar proses”, maka
kebijakan ”aplikasi” merupakan bentuk modernisasi hukum pidana dalam usahanya
untuk ke luar dari belenggu kesulitan mencari landasan yang memuaskan untuk
mempertahankan sanksi pidana, yakni berkisar pada tujuan pokok yaitu melindungi
kepentigan umum, mencegah serta mengendalikan kejahatan dan memperbaiki orang
yang melanggar hukum pidana. Karena secara umum peristiwa pelanggaran
mengakibatkan derita pada orang lain, sehingga kehidupan masyarakat menjadi tidak
seimbang, jadi untuk mempertahankannya harus dengan memberikan hukuman yang
setimpal sesuai dengan perasaan keadilan masyarakat di wilayah masing-masing.
RUU KUHP Baru pun merupakan hasil nyata dari ide dasar
penyusunan sistem hukum pidana nasional. Penyusunan RUU KUHP Baru merupakan
perkembangan penyusunan yang berkelanjutan dari konsep sebelumnya. Perkembangan
demikian tidak dapat dipisah-lepaskan dari masalah utamanya yang menjadi ruang
lingkup pembaharuan hukum pidana nasional, yaitu masalah tindak pidana, masalah
pertanggungjawaban pidana, serta masalah pidana dan pemidanaan. Hukum
pidana di samping merupakan sub-sistem
Hukum Nasional, berkedudukan pula sebagai sistem dari ruang lingkupnya; sub-sistem
hukum materil , formil, dan pelaksanaan pidana.
Kebijakan “Penyelesaian di luar
Proses” ini yang menurut penulis dimuat dengan mendasarkan keadilan dan
nilai-nilai yang sesuai dengan masyarakat Indonesia pada umunya. Selain itu,
Kebijakan Penyelesaian di luar proses ini di rumuskan dengan di
latar belakangi dengan pemikiran ide-ide pembaharuan hukum pidana (penal
reform), dan dikaitkan dengan masalah pragmatisme. Latar belakang ide-ide ”penal
reform” itu antara lain ide perlindungan korban, ide harmonisasi, ide restorative
justice, ide mengatasi kekakuan/formalitas dalam sistem yang berlaku, ide
menghindari efek negatif dari sistem peradilan pidana dan sistem pemidanaan
yang ada saat ini, khususnya dalam mencari alternatif lain dari pidana penjara
(alternative to imprisonment/alter-native to custody). Latar belakang
pragmatisme antara lain untuk mengurangi stagnasi atau penumpukan perkara (“the
problems of court case overload”), untuk penyederhanaan proses peradilan.
Pembaharuan
Hukum pidana ini merupakan langkah yang paling efektif agar proses dalam
berpekara dapat di temukan suatu keadilan yang benar-benar dirasakan
manfaatnya. Kebijakan penyelesaian di luar proses menyediakan solusi terbaik
untuk menjawab keadilan yang mengarah keseimbangan. Ide keseimbangan ini antara
lain mencakup keseimbangan monodualistik antara “kepentingan umum/masyarakat”
dan “kepentingan umum/individu”itu mencakup juga ide “perlindungan/kepentingan
korban” dan “ide individualisasi pidana”.
Jadi untuk memenuhi konsep keseimbangan ini, Konsep menyediakan sanksi
tambahan berupa “pembayaran ganti rugi” dan “pemenuhan kewajiban adat”. Jadi di
samping pelaku tindak pidana mendapat sanksi pidan, korban/masyarakatpun
mendapatkan perhatian dan santunan dalam sistem pemidanaan.
Analaisis
Kajian Komparasi “Kebijakan Hukum Pidana Dalam Upaya
Penanggulangan Tindak Pidana Melalui Penyelesaian Di Luar Proses” dalam KUHAP
Negara Asing
a.
Austria
Kebijakan
“Penyelesaian di Luar Proses” pada KUHP Austria ini yaitu adanya diversi pada
anak kemudian bisa juga pada anak dewasa setelah pada bulan Februari tahun 1999
Parlemen Austria menerima amandemen terhadap KUHAP mengenai “refrainment from prosecution, non-judicial
mediation and diversion” (Straf-prozenovelle 1999) yang diberlakukan
pada Januari 2000.
Pada
mulanya diversi/pengalihan penuntutan hanya untuk anak melalui ATA-J (Auergerichtlicher
Tatausgleich für Jugend-liche), namun
kemudian bisa untuk orang dewasa melalui ATA-E (Auer-gerichtlicher
Tatausgleich für Erwachsene) yang
merupakan bentuk “victim-offender
mediation” (VOM).[9]
Ketentuan
Diversi pada KUHP Negara Austria ini berbeda dengan Konsep yang ada dalam
Konsep Diversi Indonesia, dimana dalam Undang-Undang-Undang Nomor Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak hanya bisa dilakukan diversi hanya pada umur anak dibawah 7 tahun
dan bukan pengulangan tindak pidana sebagaimana pasal 7 ayat( 2).
b.
Jerman
Di Jerman, dibedakan dua istilah: restitution dan
Täter Opfer-Ausgleich (TOA) atau Offender Victim Arrangement (OVA). Kebijakan penyelsaian di luar proses
dalam KUHP Jerman ini terlihat pada adanya “divers” dan “kompesasi” yang
dikenal dengan istilah Tater Opfer
Ausgleich (TOA). Apabila TOA telah dilakukan, maka penentuan dihentikan (Section. 153b StPO/Strafpro-zessordnung/KUHAP).
Di Indonesia Penyelesaian kasus pidana antara Pelaku dan
Korban melalui kompensasi hanya bisa di berlakukan pada kasus Perdata, hal ini
sebagaimana diatur pada Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 tentang
Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Saksi dan Korban. Sebenarnya dalam
penyelesaian kasus pidana sudah ada namun hanya dilakukan sebagai pidana
bersyarat, sebagaian lagi ada di atur dalam
peraturan perundang-undangan namun belum ada prosedur yang jelas.
c.
Perancis
Pada
KUHP Perancis ini kebijakan “Penyelesaian di Luar Proses” berupa mediasi antara
pelaku dan korban. Pada Tahun1993, berdasarkan UU 4 Januari 1993[10]
yang mengamandemen Pasal 41 KUHAP (CCP- Code of Criminal Procedure):
Public
prosecutor can order penal mediation with consent of victim and offender “if it appears that such a measure may be
able to remedy the harm done to the victim, put an end to the trouble resulting
from the infraction and assist in the rehabilitation of the offender.
Penyelesaian di luar
proses seperti melalui mediasi antara pelaku dan korban tersebut di atas,
sebenarnya dalam dunia hukum masyarakat Indoensia sebenarnya ini merupakan
sudah ada sejak bangsa ini dan merupakan sudah menjadi budaya hukum adat di
Indonesia. Namun hal demikian belum suatu aturan hukum pun yang bisa melegalkan
penyelesaian dengan cara mediasi ini. Pada hal penyelesaian seperti ini efektif
memberikan untuk menciptakan suatu keadilan hukum.
d.
Polandia
KUHP Polandia juga pada kebijakan
“Penyelesaian di Luar Proses” dalam KUHPnya juga telah mengatur mediasi. Proses
mediasi perkara pidana diatur dalam Pasal 23a CCP (Code of Criminal Procedure) dan Peraturan Menteri Kehakiman 13 Juni
2003 tentang “Mediation proceedings in
criminal matters” (Journal of Laws No 108, item 1020). [11]
Ketentuan pasal 23a CCP (Code of Criminal Procedure) bahwa
Pengadilan dan Jaksa, atas inisiatifnya atau atas persetujuan korban dan
pelaku, dapat menyerahkan suatu kasus ke Lembaga terpercaya atau seseorang untuk melakukan mediasi antara
korban dan terdakwa. Proses mediasi
paling lama satu bulan. Biaya proses mediasi ditanggung oleh perbendaharaan
negara (State Treasury). Mediasi
dapat diterapkan untuk semua kejahatan yang maksimum ancaman pidananya kurang dari
lima (5) tahun penjara. Bahkan kejahatan kekerasan (Violent Crimes) juga dapat di mediasi.[12]
Sebagai hasil analisa pada ”Kebijakan
Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Melalui Upaya Penyelesaian
Diluar Proses” pada pembaharuan hukum pidana di Indonesia dimana kebijakannya
ini dicantumkan pada pasal 145 huruf “d” Konsep RUU KUHP 2012, tetapi terhadap
ruang lingkupnya tidak di jumpai rumusan prosedurnya dalam rancangan. Tidak
dirumuskan ketentuan penyelesaian diluar proses dalam hukum pidana formil
merupakan indikasi terputusnya jalinan sistem pemidanaan yang sedang dibangun.
Pelaksanaan
ketentuan “penyelesaian di luar proses”
sebagai “alasan hapusnya kewenangan menuntut pidana” tidak dijumpai baik
dalam konsep maupun penjelasan Konsep KUHP 2012. Sedangkan dari bahan komparasi
di atas dapat diidentifikasikan, bahwa di beberapa negara lain, Kebijakan
“Penyelesaian diluar proses” di tuangkan dalam bentuk “mediasi penal“ ,
“diversi”. Bahan-bahan komparasi kebijakan formulasi “Penyelesaian di Luar
Proses” memadukan ide keseimbangan antara perlindungan kepentingan pelaku
dengan perlindungan kepentingan korban yaitu upaya “mediasi penal, diversi”.
Upaya ini tidak dapat dipisahkan dengan “tujuan pemidanaan” berupa “untuk
mendidik kembali terpidana mematuhi aturan kebiasaan masyarakat atau membangun
sikap yang patut terhadap aturan hidup bersama/bermasyarakat dan bukan hanya
untuk menegakan /membangun “rule of the
law”, tetapi juga “rule of social
cohabitation’. Selain itu juga komparasi diatas “menyelesaikan konflik yang
ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa
damai dalam masyarakat”. Hal ini kalau dipadukan dengan teori pemidanaan, maka
upaya “mediasi penal, diversi,” paralel dengan “Teori Absolut yang Relatif
“/”Teori Gabungan” yang hakikatnya memadukan tujuan pidana sebagai pembalasan
terhadap pelaku tindak pidana upaya”mediasi penal”, “diversi” di antaranya
“pemberian memberi ganti rugi/kompensasi, denda , pidana kerja sosial” oleh korban
atau keluarganya kepada pelaku tindak pidana. Sebagai intinya bahwa dalam
praktek penyelesaian di luar proses ini merubah/mengganti penjatuhan “pidana”
menjadi “tindakan”. Dengan demikian Teori Gabungan memadukan tujuan pidana
sebagai upaya perlindungan kepentingan individu tindak pidana dengan upaya
perlindungan kepentingan masyarakat/korban.
BAB
IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Bertolak dari perumusan masalah dan uraian hasil
penelitian dan analisa yang dikemukakan pada bab-bab sebelumnya, maka dalam tesis
ini dapat ditarik kesimpulan,
sebagai berikut ;
1. Kebijakan
hukum pidana dalam penanggulangan tindak pidana melalui upaya penyelesaian di luar
proses hukum positif saat ini.
Kebijakan hukum pidana dalam penanggulangan
tindak pidana melalui upaya penyelesaian di luar proses hukum positif saat ini
hanya sebagian kecil, sedangkan yang semuanya masih berorientasi pada
penyelesaian formal. Hal ini karena Ketentuan Induk memang memberinya peluang.
Sehingga kebijakan dalam pemidanaanya sering kali tidak menimbulkan efek jera
bagi pelaku tindak pidana, dibandingkan dengan upaya “penyelesaian di luar
proses ini”, kebijakan pemidanaan dapat memberikan efek jera bagi pelaku,
sehingga tidak ada yang merasa dirugikan baik bagi korban maupun masyarakat.
Hal inilah yang menjadi prinsip pada “Penyelesaian di luar proses” bahwa
perkara pidana tidak harus dengan pemidanaan atau penjatuhan sanksi pidana,
karena tujuan dari pidana adalah sebagai salah satu sarana pembinaan untuk
menanggulangi masalah-masalah sosial.
2. Kebijakan
hukum pidana dalam penanggulangan tindak pidana melalui upaya penyelesaian di luar
proses dalam rangka pembaharuan hukum pidana di Indonesia
Kebijakan hukum pidana dalam
penanggulangan tindak pidana melalui upaya penyelesaian di luar proses dalam
rangka pembaharuan hukum pidana di Indonesia hendaknya diatur secara terpadu,
dan diperlukan jenis pidana yang dapat mengkompromikan atau memanfaatkan
segi-segi positif (sebaliknya juga berarti, menghindari segi-segi negative)
dari pidana penjara disuatu pihak dan pidana pengawasan dilain pihak. Jadi
mengompromikan “pidana” dengan “tindakan”. Agar dapat membawa keadilan yang
merata. Hal ini telah
diperlihatkan berbagai penjelasan pada KUHAP Negara-negara asing yang telah
melakukan mekanisme terobosan dalam hukum dan sistem pemidanaannya, guna
mengatasi problem hukum itu sendiri, terutama dari sisi proses yang belum bisa
menjanjikan kecepatan putusan, akurasi penanganan serta biaya yang murah
sekaligus.
Jadi
Ke depan, diharapkan akan ada lebih banyak lagi terobosan yang dilakukan para
pimpinan lembaga-lembaga hukum guna memungkinkan hidupnya “Penyelesaian di Luar
Proses”, karena tentu saja tidak seyogyanya dilihat sebagai kompetitor, tetapi
justru penyaring atau filter agar kasus yang benar-benar kompleks yang kemudian
ditangani para profesional di bidang hukum seperti kepolisian, kejaksaan dan
peradilan.
B.
Saran
1. Penyusunan
RUU KUHP Baru harus didasarkan pada ‘ide keseimbangan” nilai-nilai pancasila.
Oleh karena itu dalam penyusunan kebijakan hukum pidana kebijakan hukum pidana
dalam penanggulangan tindak pidana melalui upaya “penyelesaian diluar proses”,
adalah sangat bijak apabila RUU KUHP Baru juga berpedoman pada nilai-nilai kearifan religious (Tuntunan
Ketuhanan YME) dalam memberikan perlindungan kepadapelaku dan korban.
2. Kebijakan
hukum pidana dalam penanggulangan tindak pidana melalui upaya penyelesaian
diluar proses yang merupakan cerminan dari keadilan restorative, oleh karenanya itu sudah saatnya pemerintah merespon
kenyataan tersebut dengan penyusunan ketentuan perundang-undangan, seperti yang
telah ada dibidang perdata yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30
Tahun 1999 tentang arbitrase dan alternative penyelesaian sengketa.
3. Urgensi
kebijakan hukum pidana dalam penanggulangan tindak pidana melalui upaya
“penyelesaian diluar proses” dewasa ini tidak dapat dianggap remeh, karena
sangat berpengaruh terhadap jalinan sistem, oleh karena itu sudah saatnya
Lembaga Legislatif memperhatikan kebijakan “penyelesaian diluar proses” ini.
4. Hukum
Pidana merupakan Ultimum Remedium
artinya hukum pidana sebaiknya digunakan sebagai obat terakhir atau langkah
terakhir apabila cara-cara penyelesaian yang lain tidak dapat menemui
kesepakatan atau jalan keluar.
DAFTAR
PUSTAKA
A. BUKU
Abdurrahman al-Maliki
dan Ahmad ad-Daur, 2004, Sistem Sanksi dan Hukum Pembuktian Dalam Islam,
Pustaka Tharikul izzah, Bogor.
Asshidiqie, Jimly,
1995, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Angkasa, Bandung.
Covey, 1994, The Seven Habits of Highly Effecive People (terjemahan), Covey Leadership Center.
Hadikusuma,
Hilman. 1979. Hukum Pidana Adat,
Alumni, Bandung.
Halim
Barkatullah, Abdul, 2005, Politik Hukum Pidana, Kajian Kebijakan Kriminalisasi Dan
Dekriminalisasi, Pustaka Pelajar,Yogyakarta
Hoefnagels, G. P., 1973, The Other Side of Criminology,
An Iversion Of The Concept of Crime, Kluiver, Deventer.
Liebmann, Marian, 2007,
Restoratif Justice How it Works, Jessica kingsley Publisher, London and
Philadephia.
M.
Friedman, Lawrence, 2001, American Law An Introduction (Hukum Amerika Sebuah Pengantar),
Cet.Ke-1.(Penerjemah Wishnu Basuki, PT. Tatanusa, Jakarta-Indonesia.
Majid, Nurkholis, 2008,
Pemikiran Islam Di Kanvas Peradaban , Penyunting Budhy Munawar Rachman, PT.
Sarana Mangunkarsa, yayasan Pesantren Indonesia Al Zaitun, Indramayu.
Muladi
dan Barda Nawawi Arief, 2005, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni,
Bandung.
Muladi, Kuliah “Disparitas Pidana” (Disparity of
Sentecing/Sentencing Disparity) pada mahasisiwa Magister Ilmu Hukum Fakutas
Hukum UNDIP 4 Desember 2010 pukul 14.00 – 16.00 WIB
Mulyadi,
Lilik,
2008, Bunga Rampai Hukum Pidana
Perspektif, Teoretis Dan Praktik,
Penerbit PT Alumni, Bandung.
Nawawi Arief, Barda, 2002, Bunga Rampai Kebijakan hukum Pidana, Edisi
Revisi, PT. Citra aditya Bakti, Bandung.
R.
Soesilo, 1983, Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi
Pasal, Politea, Bogor.
Schacht, Joseph, 1970, Law and justice, Cambridge
University Press, Cambridge.
Soponyono, Eko,
Disertasi Kebijakan Perumusan Sistem Pemidanaan Yang Berorientasi Terhadap
Korban. Program Doktor UNDIP, Semarang
B. WEBSITE
http://www.primaironline.com/berita/hukum/menhukhamutamakan/penyelesaian
- diluar-proses-hukum.
Czarnecka-Dzialuk
and Dobrochna Wójcik, Victim-Offender Mediation
With Juveniles In Poland, http://72.
Miers
David, 2001, An International Review of
Restorative Justice, p.7, dalam tulisan Dr. Juhani Iivari, Victim-Offender Mediation-An Alternative, an
Addition or Nothing But A Rubbish Bin in Relation to Legal Proceedings, www.restorativejustice.org/resources/docs/iivari1/download
C. JURNAL dan MAKALAH
Herlina,
Apong, Restoratif Justice,
(Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. III No. 3 September 2004).
Soemartono, Gatot,
dalam Disertasi Eko Sponyono, 2011, Kebijakan Perumusan Tindak Pidana Yang
Berorientasi Pada Korban, Di ajukan untuk program Doktor UNDIP, semarang.
Zulva, Achjani, Keadilan Restoratif dan Revitalisasi Lembaga Adat di Indonesia,
(Jurnal
Kriminologi Indonesia Vol. 6 No. II Agustus 2010)
D. UNDANG-UNDANG
Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia.
Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Indonesia
Rancangan
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana 2012 (RUU KUAHP) Indonesia.
Rancangan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 2012 (RUU KUHP) Indonesia.
Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2006 tentang Perlindungan saksi dan Korban.
Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah.
Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak
Undang-Undang Nomor 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
[1]Lilik
Mulyadi, 2008, Bunga Rampai Hukum Pidana Perspektif,
Teoretis Dan Praktik, Penerbit
PT Alumni, Bandung , h. 1
[5] Covey, 1994, The Seven
Habits of Highly Effecive People (terjemahan), Covey
Leadership Center, h. f-3.
[7]http://www.primaironline.com/berita/hukum/menhukhamutamakan/penyelesaian
- diluar-proses-hukum
[8] Gatot
Soemartono, dalam Disertasi Eko Sponyono, 2011, Kebijakan Perumusan Tindak Pidana
Yang Berorientasi Pada Korban, Di ajukan untuk program Doktor UNDIP,
semarang
[9] Di Austria terdiri
dari ATA-J (Außergerichtlicher Tatausgleich für Jugendliche) untuk anak,
dan ATA-E (Außergerichtlicher Tatausgleich für Erwachsene) untuk orang
dewasa.
[10] Kemudian
dikembangkan berdasar UU 18 Desember
1998 dan UU 9 Juni 1999 (sumber
internet: international research project
– report 2.pdf)
[11]http://ec.europa.eu/
civiljustice/adr/adr_pol_en.htm, Alternative
dispute resolutions Poland. Lihat juga Beata Czarnecka-Dzialuk and Dobrochna Wójcik, Victim-Offender Mediation With Juveniles In Poland, http://72.
[12] Miers David, 2001, An
International Review of Restorative Justice, p.7, dalam tulisan Dr.
Juhani Iivari, Victim-Offender Mediation-An Alternative, an Addition or Nothing But A
Rubbish Bin in Relation to Legal Proceedings, www.restorativejustice.org/resources/docs/iivari1/download