Selasa, 14 Januari 2014

Prinsip Individualisasi Pidana dalam Pembaharuan Hukum Pidana Materiel Indonesia

Oleh: Ahmad Bahiej*
Pendahuluan
          Pidana merupakan salah satu dari tiga masalah pokok dalam hukum pidana, selain masalah pertanggungjawaban pidana, dan masalah tindak pidana. Pidana menjadi ciri khusus dalam hukum pidana dan membedakan secara tajam dari jenis hukum yang lain. Pidana berarti memberikan kenestapaan, kesengsaraan atau penderitaan yang dikenakan terhadap pelaku tindak pidana.
          Dalam KUHP yang sekarang diberlakukan, pidana diatur dalam Bab II Pasal 10-43. Berdasarkan Pasal 10 KUHP jenis-jenis pidana adalah pertama pidana pokok, yang terdiri dari pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda, dan pidana tutupan. Pidana tutupan merupakan jenis pidana yang “baru”, karena diadakan dengan UU Nomor 20 Tahun 1946 tentang Hukuman Tutupan. Kedua, pidana tambahan yang terdiri dari pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim.
          Jenis-jenis pidana yang ada dalam KUHP tersebut, dilihat dari segi ilmu hukum pidana, masih mencerminkan pidana yang lebih berorientasi pada “pembalasan” sehingga tampak kaku dan bersifat imperatif dalam pelaksanannya. Sifat kaku dan imperatifnya jenis pidana dan pemidanaan dalam KUHP sangat terlihat dalam pasal-pasal deliknya.
          Perkembangan dunia hukum pidana secara global, terutama setelah dilakukannya beberapa kali Kongres PBB tentang The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, wacana mengenai hukum pidana mengalami perombakan yang signifikan. Salah satu perkembangnnya adalah orientasi pemidanaan yang lebih “memanusiakan” pelaku tindak pidana (offenders) dalam bentuk pembinaan (treatment). Berdasarkan perkembangan ini, maka pada saat usaha pembaharuan hukum pidana (materiel) digalakkan, Indonesia memperbaharui sistem pemidanannya yang kaku dan imperatif tersebut menjadi sistem pemidanaan yang mengedepankan aspek kemanusiaan dengan mengambil ide-ide individualisasi pidana.
Prinsip-prinsip Individualisasi Pidana dalam Kebijakan Kriminal Indonesia
         Pembaharuan hukum pidana pada hakekatnya merupakan suatu upaya melakukan peninjauan dan pembentukan kembali (reorientasi dan reformasi) hukum pidana  yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio-politik, sosio-filosofik, dan nilai-nilai sosio-kultural masyarakat Indonesia.1 Oleh karena itu, pembaharuan pidana pada hakikatnya harus ditempuh dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy-oriented approach) dan sekaligus pendekatan yang berorientasi pada nilai (value-oriented approach).2 Dengan demikian makna dan hakikat pembaharuan hukum pidana dilihat dari sudut pendekatan kebijakan adalah bagian dari kebijakan sosial (social policy), kebijakan kriminal (criminal policy), dan kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy). Ini berarti pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya untuk mengatasi masalah-masalah sosial dalam rangka mencapai tujuan nasional, merupakan bagian dari upaya perlindungan masyarakat khususnya penanggulangan kejahatan, dan bagian dari upaya memperbaharui substansi hukum.
         Sedangkan dilihat dari pendekatan nilai, pembaharuan hukum pidana merupakan upaya melakukan peninjauan dan penilaian kembali (reorientasi dan reevaluasi) nilai-nilai sosio-politik, sosio-filosofik dan sosio-kultural yang melandasi dan memberi isi muatan normatif da substansi hukum pidana yang cicita-citakan.
         Sebagai bagian dari kebijakan kriminal, pembaharuan hukum pidana juga tidak terlepas dari dua masalah pokok kebijakan kriminal, yaitu mengenai penentuan perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana, dan sanksi apa yang sebaiknya digunakan kepada pelanggar.
         Kebijakan kriminal juga tidak dapat dilepaskan dari masalah nilai. Oleh karena itu, apabila pidana digunakan sebagai sarana untuk mencapai tujuan, maka pendekatan yang yang berorintasi pada nilai-nilai kemanusiaan juga tidak dapat dilepaskan. Hal ini penting karena tidak hanya kejahatan itu pada hakikatnya merupakan masalah kemanusiaan, tetapi juga karena pidana sendiri mengandung unsur penderitaan yang dapat menyerang kepentingan nilai kemanusiaan.
         Pendekatan humanistik dalam penggunaan sanksi pidana, tidak hanya berarti bahwa pidana yang dikenakan kepada pelanggar harus sesuai dan tepat dengan nilai-nilai kemanusiaan, tetapi juga harus dapat membangkitkan kesadaran si pelanggar akan nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai pergaulan hidup masyarakat.3
         Pendekatan humanistik menuntut pula diperhatikannya ide individuliasasi pidana dalam kebijakan/pembaharuan hukum pidana. Ide individualisasi pidana ini mengandung beberapa karakteristik sebagai berikut.
a.    pertanggungjawaban pidana bersifat pribadi atau perorangan (asas personal).
b.    pidana hanya dapat diberikan kepada orang yang bersalah (asas culpabilitas).
c.    pidana harus disesuaikan dengan karakteristik dan kondisi pelaku, yang berarti ada kelonggaran bagi hakim untuk memilih sanksi pidana dan harus ada kemungkinan modifikasi pidana berupa penyesuaian dalam pelaksanaannya.
         Di samping itu, pendekatan kebijakan adalah yang berkaitan dengan nilai-nilai yang ingin dicapai atau dilindungi oleh hukum pidana. Menurut Bassiouni, tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh hukum pidana pada umumnya terwujud dalam kepentingan-kepentingan sosial yang mengandung nilai-nilai tertentu yang perlu dilindungi. Kepentingan-kepentingan sosial tersebut menurut Bassiouni adalah sebagai berikut:4
a.    Pemeliharaan tertib masyarakat.
b.    Perlindungan masyarakat dari kejahatan, kerugian atau bahaya-bahaya yang tak dapat dibenarkan, yang dilakukan oleh orang lain.
c.    Memasyarakatkan kembali (resosialisasi) para pelanggar hukum.
d.    Memelihara atau mempertahankan integritas pandangan-pandangan dasar tertentu mengenai keadilan sosial, martabat kemanusiaan, dan keadilan individu.
         Ditegaskan selanjutnya bahwa sanksi pidana harus disepadankan dengan kebutuhan untuk melindungi dan mempertahankan kepentingan-kepentingan ini. Pidana hanya dibenarkan apabila ada kebutuhan yang berguna bagi masyarakat; pidana yang tidak diperlukan tidak dapat dibenarkan dan berbahaya bagi masyarakat. Selain itu, batas-batas sanksi pidana ditetapkan pula berdasarkan kepentingan-kepentingan ini dan nilai-nilai yang mewujudkannya. Berdasarkan pandangan yang demikian, maka menurut Bassiouni disiplin hukum pidana buka hanya pragmatis tetapi juga suatu disiplin yang berdasar dan berorientasi pada pada nilai. Kesimpulannya, menurut Bassiouni, dalam melakukan kebijakan hukum pidana diperlukan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan yang lebih bersifat pragmatis dan rasional, serta pendekatan yang berorientasi pada nilai.
         Sehubungan dengan pembahasan mengenai pertanggungjawaban pribadi dalam kebijakan kriminal di atas, perlu dikemukakan pula aliran social defence (perlindungan masyarakat) menurut Marc Ancel yang bertolak pada konsepsi pertanggungjawaban pribadi. Istilah perlindungan masyarakat yang dikaitkan dengan masalah rehabilitasi dan resosialisasi sering kali dipergunakan dalam wacana hukum pidana Indonesia. Ini terlihat dalam Seminar Kriminologi dan Simposium Pembaharuan Hukum Pidana Nasional tahun 1980 di Semarang.5
         Menurut Marc Ancel, pertanggungjawaban yang didasarkan pada kebebasan individu merupakan kekuatan penggerak yang utama dari proses penyesuaian sosial. Diakui olehnya bahwa masalah determinisme dan indeterminisme merupakan problem filosofis yang berada di laur lingkup kebijakan pidana dan hukum pidana. Akan tetapi ditegaskan bahwa kebijakan pidana yang modern hampir selalu mensyaratkan adanya kebebasan individu. Tujuan utama setiap perlakuan readaptasi sosial harus diarahkan pada perbaikan terhadap penguasaan diri sendiri. Oleh karena itu, masalah pertanggungjawaban (kesalahan) seharusnya tidak boleh diabaikan, malahan harus diperkenalkan kembali sebagai suatu pertanggungjawaban pribadi (kesalahan individu). Reaksi terhadap perbuatan anti sosial justru harus dipusatkan pada konsepsi pertanggungjawaban pribadi ini. Pertanggungjawaban yang dimaksud Marc Ancel berbeda dengan pandangan klasik yang mengartikannya pertanggungjawaban moral secara murni, dan berbeda pula dengan pandangan positivist yang mengartikannya sebagai pertanggungjawaban menurut hukum atau pertanggungjawaban obyektif.
    Pertanggungjawaban pribadi (individual responsibility) menurut Marc Ancel menekankan pada perasaan kewajiban moral pada diri individu dan oleh karena itu mencoba untuk merangsang ide tanggung jawab atau kewajiban sosial terhadap anggota masyarakat yang lain dan juga mendorongnya untuk menyadari moralitas sosial. Pengertian demikian merupakan konsekuensi dari pandangan Marc Ancel yang melihat kejahatan sebagai manifestasi dari kepribadian si pelaku.6
         Selanjutnya mengenai ide individualisasi pidana ini, Sheldon Glueck mengemukakan empat prinsip yang harus mendasari proses individualisasi pelaku kejahatan, yaitu:
a.    The teratment (sentence-imposing) feature of the proceedings must be sharply differentiated from the guiltfinding phase.
b.    The decision as to treatment must be made by a board of tribunal specially qualified in the interpretation and evaluation of psychiatric, psychological, and sociological data.
c.     The treatment must be modifiable in the light of scientific reports of progress.
d.    The right of the individual must be safeguarded against possible arbitrariness or other unlawful action on the part of the treatment tribunal.
         Sebagai bahan perbandingan, ide individualisasi pidana di Greenland antara lain diwujudkan dengan bertolak pada dua landasan, yaitu:
a.    the elasticity of sentencing
b.    the alteration/annulment/revocation of sanction
         Bahkan Sir Rupert Cross pernah menyatakan bahwa kriteria pembaharuan hukum pidana adalah jika hukuman/sanksi pidana dalam pembaharuan hukum pidana berorientasi pada nilai-nilai kemanusiaan.7 Selengkapnya Sir Rupert Cross menyatakan sebagai berikut:
“A change in the penal system can properly be described as an endevour to achieve penal reform if it is aimed directly or indirectly at the rehabilitation of the offender, or if its object is to avoid, suspend or reduce punishment on humanitarian grounds”.
(bahwa sebuah perubahan dalam sistem hukum pidana secara pantas dapat disebut sebuah kerja keras mencapai pembaharuan hukum pidana jika dimaksudkan secara langsung atau tidak langsung pada rehabilitasi/perbaikan pelanggar, atau jika sasarannya menghindari, menunda atau mengurangi hukuman berdasarkan kemanusiaan).
         Bertolak dari prinsip-prinsip individualisasi pidana yang telah dipaparkan dalam bab sebelumnya, penulis akan mengkaji dan menganalisis implementasi prinsip-prinsip/ide-ide individualisasi pidana tersebut alam Konsep KUHP.
         Prinsip-prinsip individualisasi pidana yang diimplementasikan dalam Konsep KUHP tersebut adalah sebagai berikut:
A. Asas Kesalahan (Asas Culpabilitas)
         Asas kesalahan (asas culpabilitas) merupakan salah satu asas pokok dalam hukum pidana dan merupakan salah satu problem pokok dalam hukum pidana selain sifat melawan hukum perbuatan dan pidana. Asas ini mengajarkan bahwa hanya orang yang bersalahlah yang dapat dikenai pidana. Dalam bahasa asing, asas ini sering disebut dengan adagium nulla poena sine culpa, atau Keine Strafe ohne Schuld (bahasa Jerman) dan Geen straf zonder schuld (bahasa Belanda) yang berarti “tiada pidana tanpa kesalahan”.
         Dengan demikian dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah nyata-nyata melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi walaupun ditinjau secara obyektif perbuatan seseorang telah memenuhi rumusan delik dalam undang-undang, namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk pemidanaan masih diperlukan syarat bahwa orang yang melakukan perbuatan terlarang tersebut mempunyai kesalahan atau bersalah (subjective guilt).8
         Sebenarnya asas kesalahan ini tidak tercantum dalam KUHP Indonesia saat ini (baca: Wetboek van Strafrecht). Asas kesalahan hanya dicantumkan dalam MvT (Memory van Toelichting) sebagai penjelasan dari Wetboek van Starfrecht. Padahal masalah kesalahan dalam hukum pidana termasuk salah satu ajaran-ajaran umum hukum pidana. Akan tetapi, asas kesalahan teidak mendapatkan tempatnya dalam Buku I KUHP mengenai Ketentuan Umum. Namun demikian, jelas akan bertentangan dengan keadilan apabila ada orang yang dijatuhi pidana padahal sama sekali ia tidak bersalah.
         Untuk itulah, dalam Pasal 6 ayat (2) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan asas kesalahan ini. Selengkapnya, Pasal 6 ayat (2) tersebut berbunyi:
“Tiada seorang jua pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila Pengadilan, karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang mendapat keyakinan, bahwa seseorang yang dianggap bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang dituduhkan atas dirinya”.
Asas kesalahan tidak terlepas dari sejarah hukum pidana itu sendiri. Pada awalnya, hukum pidana menitikberatkan pada perbuatan orang beserta akibatnya (Daadstrafrecht). Pada perkembangan selanjutnya, arah hukum pidana berpijak pada orang yang melakukan tindak pidana (Daderstrafrecht), tanpa meninggalkan sama sekali sifat dari Daadstrafrecht. Oleh karena itu, hukum pidana masa kini dapat disebut Daad-Daderstrafrecht, yaitu hukum pidana yang berpijak pada perbuatan maupun pada orang/pelakunya. Karena penjatuhan pidana disyaratkan adanya kesalahan dari pelakunya, maka ada juga yang menyebut bahwa hukum pidana dewasa ini disebut sebagai Sculdstrafrecht.9
Dengan tidak dicantumkannya asas kesalahan dalam KUHP sekarang, maka di dalam Konsep KUHP asas kesalahan dicantumkan dengan pertimbangan bahwa asas kesalahan merupakan asas fundamental dalam hukum pidana. Pasal 34 Konsep KUHP menyatakan:
         “Tiada pidana atau tindakan tanpa kesalahan”.
         Menurut Barda Nawawi Arief, pencantuman asas kesalahan dalam Konsep KUHP bertitik tolak pada pokok pemikiran keseimbangan mono-dualistik.10 Pandangan mono-dualistik inilah yang dalam hukum pidana dikenal dengan istilah Daad-daderstrafrech yaitu hukum pidana yang memperhatikan segi obyektif (perbuatan/daad) dan segi sobyektif (pelaku/dader).
         Bertolak dari pandangan keseimbangan mono-dualistik ini, Konsep KUHP mencantumkan secara eksplisit asas legalitas sebagai “asas kemasyarakatan”, serta asas kesalahan sebagai “asas kemanusiaan”. Sedangkan dalam KUHP sekarang, asas yang tercantum secara eksplisit hanyalah asas legalitas, yang disebutkan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP.
         Asas legalitas disebut sebagai asas kemasyarakatan berarti, bahwa suatu pidana dapat dijatuhkan terhadap perbuatan yang menurut masyarakat dianggap sebagai kejahatan atau patut mendapatkan pidana. Ukuran “menurut masyarakat” dapat diartikan perbuatan-perbuatan yang dipidana tersebut telah tercantum dalam undang-undang sebagai tindak pidana (ukuran formil/legalitas formil), atau yang menurut masyarakat setempat (walaupun tidak tercantum dalam perundang-undangan) dianggap sebagai perbuatan terlarang dan patut mendapatkan sanksi pidana (ukuran materiel/legalitas materiel).
         Sedangkan asas kesalahan disebut sebagai asas kemanusiaan berarti pidana yang dijatuhkan terhadap pelaku harus dipertimbangkan bahwa pelaku memang benar-benar bersalah melakukan tindak pidana yang bersangkutan.
         Namun demikian, walaupun pada prinsipnya pertanggungjawaban pidana berdasar pada kesalahan, hal baru yang diatur oleh Konsep KUHP berkaitan dengan kesalahan ini adalah adanya kemungkinan pertanggungjawaban pengganti (vicarious liability) dan pertanggungjawaban yang ketat (strict liability).
         Pasal 35 Konsep KUHP menyebutkan tentang pertanggungjawaban pengganti:
“Suatu undang-undang dapat menentukan bahwa seseorang dapat dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukan oleh orang lain.”
Sedangkan pertanggungjawaban yang ketat disebutkan dalam Pasal 36 Konsep KUHP sebagai berikut:
“Undang-undang dapat menentukan bahwa pelaku tindak pidana tertentu dapat dipidana semata-mata karena telah terpenuhinya unsur-unsur tindak pidana atas perbuatannya, tanpa memperhatikan lebih dahulu kesalahan dalam melakukan tindak pidana tersebut”.
Jika membandingkan asas kesalahan dengan hukum pidana asing, ternyata tidak banyak hukum pidana asing yang mencantumkan secara eksplisit asas kesalahannya. Biasanya perumusan asas ini terlihat dalam perumusan mengenai pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility/liability), khususnya yang berhubungan dengan masalah kesengajaan dan kealpaan.11
Dalam KUHP Uni Soviet (1958) Pasal 3 merumuskan secara tegas the Basis for Criminal Responsibility (Dasar pertanggungjawaban pidana), yaitu:
“Only person gulty of the commision of a crime. that is who has, either deliberately or by negligence, commited any of the socially dangerous acts defined by the criminal law, is deemed liable to criminal responsibility and to punishment”.
(Hanya orang yang bersalah melakukan kejahatan, yaitu orang yang dengan sengaja atau dengan kealpaan melakukan suatu perbuatan yang berbahaya bagi masyarakat yang ditetapkan oleh undang-undang pidana, dapat dipertimbangkan untuk pertanggungjawaban pidana dan pidana).
KUHP Republik Demokrasi Jerman (1968) menyatakan asas kesalahan dalam Pasal II Aturan Umum:
“… the proper application of criminal law demands that every criminal act is detected and that guilty person is called to account…”
(Penerapan hukum pidana yang tepat menuntut, bahwa setiap tindak pidana diusut dan orang yang bersalah dipertanggungjawabkan)
KUHP Greenland mengatur asas kesalahan dalam Pasal 86 yang termasuk dalam aturan umum mengenai penerapan sanksi.
“Upon the finding of guiltthe court shall indicate which one or ones of the above sanctions shal be imposed.”
(Berdasarkan penemuan kesalahan, pengadilan akan menunjuk/menyatakan mana di antara satu atau beberapa sanksi di atas yang akan dikenakan kepada si pelaku tindak pidana).
B. Penambahan Alasan Penghapus Pidana
Alasan penghapus pidana yang dikenal dalam KUHP adalah tidak mampu bertanggung jawab (Pasal 44), daya paksa  atau overmacht (Pasal 48), pembelaan darurat atau noodweer (Pasal 49 ayat (1)), pembelaan darurat yang melampaui batas atau noodweer exces (Pasal 49 ayat (2)), menjalankan perintah undang-undang (Pasal 50), dan melaksanakan perintah jabatan (Pasal 51 ayat (1) dan (2)).
Namun dengan dasar prinsip/ide individualisasi pidana ini, Konsep KUHP menambah beberapa alasan penghapus pidana lagi serta membedakan secara jelas antara alasan penghapus pidana dalam kategori “alasan pemaaf” dan alasan penghapus pidana dalam kategori “alasan pembenar”.
Selengkapnya, alasan-alasan penghapus pidana dalam kategori “alasan pemaaf” yang baru dalam Konsep KUHP dan membedakannya dari KUHP lama adalah sebagai berikut:
1. Error atau sesat
Kesesatan (error) adalah alasan penghapus pidana baru yang dalam KUHP sebelumnya tidak dimuat. Dalam ilmu pengetahuan hukum pidana, sebenarnya terdapat adagium bahwa error facti non nocet, eror iuris nocet (kesesatan mengenai faktanya tidak dipidana, sedangkan kesesatan mengenai hukumnya tetap dipidana).
Akan tetapi Konsep KUHP tidak berpendirian demikian. Walaupun kesesatan dianggap sebagai alasan penghapus pidana, akan tetapi jika pelaku patut dipersalahkan karena kesesatan tersebut, maka pelaku tetap dapat dipidana. Namun, ancaman pidananya maksimum dikurangi atau tidak melebihi separuh dari maksimum pidana untuk tindak pidana yang dilakukan.
Selengkapnya Pasal 40 Konsep KUHP menyebutkan:
“(1)   Tidak dipidana, jika pelaku tindak pidana tidak mengetahui atau sesat mengenai keadaan yang merupakan unsur tindak pidana atau jika pelaku berkeyakinan bahwa perbuatannya tidak merupakan suatu tindak pidana, kecuali ketidaktahuan, kesesatan, atau keyakinannya tersebut patut dipersalahkan.
(2)     Jika pembuat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) patut dipersalahkan atau dipidana, maka maksimum pidananya dikurangi dan tidak melebihi separuh dari maksimum pidana untuk tindak pidana yang dilakukan.”
2. Anak di bawah umur 12 tahun.
Anak di bawah umur 12 tahun, merupakan alasan pidana yang baru, yang berbeda dengan aturan alasan penghapus pidana dalam KUHP. Dalam KUHP, anak di bawah umur 16 tahun bukanlah sebagai alasan penghapus pidana walaupun bila dicermati pasal yang mengatur dalam KUHP dikelompokkan kepada pasal-pasal yang mengatur tentang alasan penghapus pidana. Pasal 45-47 yang mengatur anak di bawah umur 16 tahun tersebut, hanya mengatur mengenai aturan pemidanaan yang dijatuhkan kepada anak berumur di bawah 16 tahun.
Pasal 45-47 itu sebagai berikut:
Pasal 45
“Dalam hal penuntutan pidana terhadap orang yang belum dewasa karena melakukan suatu perbuatan sebelum umur enam belas tahun, hakim dapat menentukan:
memerintahkan supaya yang bersalah dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharanya, tanpa pidana apa pun.
Atau memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah tanpa pidana apapun, jika perbuatan merupakan kejahatan atau salah satu pelanggaran berdasarkan paal-pasal 489, 490, 496, 497, 503-505, 514, 517, 519, 526, 531, 532, 536, dan 540 serta belum lewat dua tahun sejak dinyatakan bersalah karena melakukan kejahatan atau salah satu pelanggaran di atas, dan putusannya telah menjadi tetap; atau menjatuhkan pidana kepada yang bersalah.
Pasal 46
(1)     Jika hakim memerintahkan supaya yang beralah diserahkan kepada pemerintah, maka ia dimasukkan dalam rumah pendidikan negara supaya menerima pendidikan dari pemerintah atau di kemudian hari dengan cara lain, atau diserahkan kepada sorang tertentu yang bertempat tinggal di Indonesia atau kepada suatu badan hukum, yayasan atau lembaga amal yang berkedudukan di Indonesia untuk menyelenggarakan pendidikannya, atau di kemudian hari, atas tanggungan pemerintah, dengan cara lain; dalam kedua hal di atas, paling lama sampai orang yang bersalah itu mencapai umur delapan belas tahun.
(2)     Aturan yang melaksanakan ayat (1) pasal ini ditetapkan dengan undang-undang.
Pasal 47
(1)     Jika hakim menjatuhkan pidana, maka maksimum pidana pokok terhadap tindak pidananya dikurangi sepertiga.
(2)     Jika perbuatan itu merupakan kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau penjara seumur hidup, maka dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
(3)     Pidana tambahan dalam Pasal 10 butir b, nomor 1 dan 3 tidak dapat diterapkan.
Memperhatikan Pasal 45-47 KUHP di atas, dapat disimpulkan bahwa jika terdakwanya seorang anak di bawah umur 16 tahun, maka hakim diberikan alternatif sebagai berikut:
a.    mengembalikan kepada orang tua, wali, atau pemeliharanya, tanpa pidana apapun;
b.    menyerahkan kepada pemerintah tanpa pidana apapun jika melakukan tindak pidana tertentu; dan
c.    menjatuhkan pidana
Dengan tidak diakuinya anak di bawah umur sebagai salah satu alasan penghapus pidana dalam KUHP, maka dengan mendasrkan diri pada ide-ide individualisasi pidana, maka Konsep KUHP kemudian memasukkan anak di bawah umur tertentu sebagai alasan penghapus pidana.
Hal ini merupakan perkembangan baru dalam dunia ilmu hukum pidana. Sebelumnya, apabila kejahatan itu dilakukan oleh seseorang yang berusia anak-anak atau di bawah umur, maka pemidanaan pelaku anak-anak akan disamakan dengan pemidanaan orang tua/dewasa. Padahal secara psikologis tentunya berbeda motif orang dewasa dan anak-anak dalam melakukan tindak pidana.
Pada saat ini, pandangan dunia semakin bijak dalam memandang anak dan perilakunya. Hal ini dikarenakan aliran modern hukum pidana memberikan individualisasi dan differesiansi dalam pemberian pidana, yaitu pemidanaan yang sesuai dengan keadaan dan diri si pembuat.12 Termasuk pula dalam kenakalan-kenakalan anak yang termasuk dalam tindak pidana (kejahatan). Kejahatan yang dilakukan oleh seorang anak kemudian harus diselesaikan dengan proses peradilan pidana yang disesuaikan dengan kondisi psikologis anak. Hal ini jelas menunjukkan adanya perkembangan dalam perlindungan anak.
Di negara Belanda, Undang-undang Anak (Kinderwetten) telah ada sejak 1901 dan mulai berlaku pada tahun 1905. Sedangkan di Indonesia, awalnya hanya tiga pasal ini, yaitu Pasal 45-47 KUHP yang mengatur mengenai pidana anak. Selanjutnya, ternyata perlindungan anak di Indonesia juga menunjukkan perkembangan yang signifikan. Ini ditandai dengan adanya aturan khusus proses peradilan pidana yang memperhatikan psikologi anak dalam acara peradilan.
Dengan dasar ide individulaisasi ini pula kemudian dalam Konsep KUHP diatur mengenai batas umur yang tidak dapat dipertanggungjkawabkan secara pidana yaitu umur 12 (dua belas) tahun.13
Pasal 111 Konsep KUHP menyatakan sebagai berikut:
Pasal 111
(1)     Anak yang belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun melakukan tindak pidana tidak dapat dipertanggungjawabkan.
(2)     Pidana dan tindakan bagi anak hanya berlaku bagi orang yang berumur antara 12 tahun dan 18 tahun yang melakukan tindak pidana.
Dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak Pasal 3 juga menyebutkan bahwa batas anak nakal yang dapat diajukan ke sidang anak sekurang-kurangnya 8 tahun tetapi belum mencapai 18 tahun, dengan pengecualian anak yang belum umur 8 tahun dapat juga diajukan ke sidang anak apabila berdasarkan pemeriksanaan, anak itu sudah tidak dapat dibina lagi oleh orang tuanya (Pasal 5 ayat (3)).
Sedangkan batas usia minimal untuk dapat dipertanggungjawabkan (dijatuhi pidana dan tindakan) adalah 12 tahun ke atas, di bawah 12 tahun hanya dapat dikenakan tindakan dengan ketentuan (Pasal 26 ayat (3) dan (4)):
a.    apabila melakukan tidank pidana yang diancam dengan pidana mati atau penjara seumur hidup hanya dikenakan tindakan menurut Pasal 24 ayat (1) b yaitu diserahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan dan latihan kerja.
b.    apabila melakukan tindak pidana yang tidak diancam dengan pidana mati atau pidana seumur hidup, maka dijatuhi salah satu tindakan dalam Pasal 24, yaitu dikembalikan kepada orang tua, wali atau orang tua asuh, diserahkan kepada negara atau diserahkan kepada organisasi sosial.
Mencermati batas umur pertanggungjawaban pidana demikian memang telah memenuhi himbauan-himbauan internasional yang tercantum dalam dokumen internasional. United Nations Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice (Beijing Rules) yang disepakati 6 September 1985 menyebutkan dalam prinsip-prinsip umum (General principles) ke-4 tentang age of criminal responsibility bahwa:
“In those legal systems recognizing the concept of the age of criminal responsibility for juveniles, the beginning of that age shal not be fixed at too low an age level, bearing in mind the facts of emotional, mental and intellectual maturity.”14
C. Tujuan dan Pedoman Pemidanaan
Tujuan dan pedoman pemidanaan merupakan implementasi ide individualisasi pidana. Tujuan dan pedoman pemidanaan ini belum dikenal (belum dicantumkan) dalam KUHP sekarang. Oleh karena itu, Konsep KUHP mengakomodir dan mengimplementasikan tujuan dan pedoman pemidanaan dalam Pasal 54 dan 55.
Pasal 54
(1)     Pemidanaan dimaksudkan untuk:
a.    mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat;
b     menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oelh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat;
c.    memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang baik dan berguna; dan
d.    membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
(2)     Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia.
Pasal 55
(1)     Dalam pemidanaan wajib dipertimbangkan:
          a.    kesalahan pelaku tindak pidana;
          b.    motif dan tujuan melakukan tindak pidana;
          c.    cara melakukan tindak pidana;
          d.    sikap batin pelaku tindak pidana;
          e.    riwayat hidup dam keadaan sosial ekonomi pelaku tindak pidana;
          f.     sikap dan tindakan pelaku sesudah melakukan tindak pidana;
          g.    pengaruh pidana terhadap masa depan pelaku tindak pidana;
          h.    pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan;
          i.     pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban; dan atau
          j.     apakah tindak pidana dilakukan dengan berencana.
Dirumuskannya pedoman pemidanaan dalam Konsep KUHP menurut Barda Nawawi Arief, bertolak dari pokok pemikiran sebagai berikut:
a.    Pada hakikatnya undang-unang merupakan sistem hukum yang bertujuan (purposive system). Dirumuskannya pidana aturan pemidanaan dalam undang-undang pada hakikatnya hany merupakan sarana untuk mencapai tujuan, oleh karena itu perlu dirumuskan tujuan dan pedoman pemidanaan.
b.    Dilihat secara fungsional dan operasional, pemidanaan merupakan suatu rangkaian proses dan kebijaksanaan ynag konkretisasinya sengaja dirancanakan melalaui tahap “formulasi” oleh pembuat undang-undang, tahap “aplikasi” oleh aparat yang berwenang dan tahap “eksekusi” atau aparat pelaksana pidana. Agar ada keterjalinan dan keterpaduan antara ketiga tahap itusebagai satu kesatuan sistem pemidanaan, diperlukan perumusan tujuan dan pedoman pemidanaan.
c.    Sistem pemidanaan yang bertolak dari individualisasi pidana tidak berarti memberi kebebasan sepenuhnya kepada hakim dan aprat-aparat lainnya tanpa pedoman atau kendali/kontrol. Perumusan tujuan dan pedoman pemidanaan dimaksudkan sebagai “fungsi pengendali/kontrol” dan sekaligus memberikan dasar filosofis, dasar rasionalitas dan motivasi pemidanaan yang jelas dan terarah.15
D. Pedoman Pemberian Pengampunan oleh Hakim
Di samping memuat tujuan dan pedoman pemidanaan, Konsep KUHP juga memuat adanya ketentuan mengenai pedoman pengampunan hakim (rechtelijk pardon). Pedoman pengampunan hakim merupakan implementasi dari ide individualisasi pidana.
Pedoman pengampunan hakim disebutkan dalam Pasal 55 ayat (2) sebagai berikut:
(2)     Ringannya perbuatan, keadaan pribadi pelaku atau keadaan pada waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian, dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan.
Dengan dasar ini maka hakim masa mendatang diperbolehkan memaafkan orang yang nyata-nyata melakukan tindak pidana dengan alasan keadaan pribadi si pembuat dan pertimbangan kemanusiaan. Aturan pengampunan hakim tersebut tidak ada dalam KUHP.
E. Alasan Peringanan dan Pemberatan Pidana
Alasan yang memperingan dan memperberat pidana pada umumnya menjadi dasar putusan hakim dalam memutuskan jenis dan berat/ringannya pidana. Selama ini, dengan tidak dicantumkannya alasan peringanan dan pemberatan pidana secara khusus dalam KUHP16, hakim dalam memutuskan putusannya berdasarkan jurisprudensi mengenai beberapa hal yang dapat menjadi alasan peringanan dan pemberatan tersebut.
Oleh karena itu, dengan berpijak pada ide individualisasi pidana, maka dalam Konsep KUHP dicantumkan beberapa alasan/faktor yang dapat memperingan dan memperberat pidana, sebagai acuan formal bagi hakim dalam memutuskan putusan pidana, seperti penyerahan diri secara sukarela, pemberian ganti kerugian yang layak, dan tindak pidana yang dilakukan karena kegoncangan jiwa yang hebat.
Selengkapnya Pasal 128 Konsep KUHP menyebutkan:
Pasal 128
“Faktor-faktor yang memperingan pidana meliputi:
a.     percobaan melakukan tindak pidana;
b.    pembantuan terjadinya tindak pidana;
c.     penyerahan diri secara sukarela kepada yang berwajib setelah melakukan tindak pidana;
d.    tindak pidana yang dilakukan oleh wanita hamil;
e.     pemberian ganti kerugian yang layak atau perbaikan kerusakan secara sukarela, akibat tindak pidana yang dilakukan;
f.     tindak pidana yang dilakukan karena kegoncangan jiwa yang sangat hebat; atau
g.    tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 (kurang dapat dipertanggungjawabkan, pen.).
F. Elastisitas Pemidanaan
Ide individualisasi pidana berupa elastisitas pemidanaan (elasticity of sentencing) dalam Konsep KUHP telah diimplementasikan dalam beberapa pasal, yang intinya adanya keleluasaan bagi hakim dalam memilih dan menentukan sanksi (pidana atau tindakan) yang sekiranya tepat untuk individu atau pelaku tindak pidana. Namun demikian, keleluasaan hakim tersebut tetap dalam dalam batas-batas kebebasan menurut undang-undang.
Konsep KUHP mengimplementasikan ide individualisasi pidana berupa elasticity of sentencing sebagai berikut:
1.    Sanksi yang tersedia dalam Konsep KUHP adalah berupa “pidana” (yaitu pidana pokok dan pidana tambahan), serta “tindakan”. Walaupun demikian, dalam penerapannya hakim dapat menjatuhkan beberapa alternatif sanksi sebagai berikut:
a.         menjatuhkan pidana pokok saja;
b.        menjatuhkan pidana tambahan saja;
c.         menjatuhkan tindakan saja
d.        menjatuhkan pidana pokok dan pidana tambahan;
e.         menjatuhkan pidana pokok dan tindakan;
f.          menjatuhkan pidana pokok, pidana tambahan, dan tindakan.
2.    Walaupun pada prinsipnya sanksi yang dapat dijatuhkan adalah pidana pokok saja yang diancamkan dalam perumusan delik yang bersangkutan (dalam Buku II Konsep KUHP), namun hakim dapat juga menjatuhkan jenis sanksi lainnya (pidana pokok/pidana tambahan/tindakan) yang tidak tercantum, sepanjang dimungkinkan menurut Buku I aturan umum Konsep KUHP. Sebagai contoh pidana yang diancamkan berupa pidana penjara, namun mengingat keadaan pribadi dan perbuatannya dan tindak pidana yang dilakukan terdorong oleh maksud yang patut dihormati, maka hakim dapat menjatuhkan pidana tutupan (Pasal 77). Hakim dapat juga menjatuhkan pidana pengawasan, mengingat keadaan pribadi dan perbuatannya (Pasal 78 dan 79) dengan catatan bahwa tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara paling lama 7 tahun. Jika pidana penjara diancamkan secara tunggal, setelah memperhatikan tujuan dan pedoman pemidanaan serta pedoman penjatuhan pidana penjara, maka hakim dapat menjatuhkan pidana denda (Pasal 58). Hakim dapat juga menjatuhkan pidana kerja sosial jika ancaman pidana yang akan dijatuhkan tidak lebih dari 6 bulan (Pasal 85).
3.    Hakim diperbolehkan memilih alternatif pidana lain, jika sanksi pidana diancamkan secara tunggal (Pasal 58 untuk pidana penjara tunggal, dan Pasal 60 untuk pidana denda tunggal).
4.    Hakim dapat menjatuhkan pidana secara kumulatif, walaupun sanksi pidana diancamkan secara alternatif (Pasal 61).
G. Modifikasi Pemidanaan
Sisi lain dari ide individualisasi pidana yang dituangkan dalam Konsep KUHP adalah adanya ketentuan mengenai modifikasi/perubahan/penyesuaian atau peninjauan kembali putusan pemidanaan yang telah berkekuatan hukum tetap yang didasarkan pada adanya perubahan/perkembangan/perbaikan pada diri pelaku sendiri.
Dengan demikian Konsep KUHP mempunyai pemikiran mengenai ide individualisasi pidana tidak hanya pada tataran pidana yang akan dijatuhkan harus disesuaikan dengan kondisi pribadi/individu, namun pidana yang telah dijatuhkan dan telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijde) dapat pula dilakukan perubahan atau penyesuaian berdasarkan pada perkembangan atau perbaikan  individu terpidana serta mempertimbangkan pada tujuan pemidanaan.
Pasal 57 ayat (1) Konsep KUHP menyatakan bahwa “putusan pidana dan tindakan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat dilakukan perubahan atau penyesuaian dengan mengingat perkembangan narapidana dan maksud pemidanaan”. Selanjutnya, Konsep KUHP juga memberikan kelonggaran pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan penyesuaian ini, yaitu dapat dilakukan oleh narapidana sendiri, orang tua, wali, penasehat hukum, jaksa penuntut umum atau hakim pengawas (Pasal 57 ayat (2)).
Perubahan atau penyesuaian pidana tersebut menurut Konsep KUHP tidak diperbolehkan lebih berat dari putusan semula, dan dapat berbentuk: (a) pencabutan atau penghentian sisa pidana atau tindakan, atau (b) penggantian jenis pidana atau tindakan lainnya. Jika permohonan perubahan atau penyesuaian ini ditolak hakim, baru dapat diajukan kembali satu tahun kemudian setelah penolakan, kecuali dalam keadaan khusus yang menunjukkan permohonan kembali tersebut pantas untuk dipertimbangkan.



---daftar pustaka dan footnote sengaja tidak ditampilkan---