Oleh: Ahmad Bahiej*
Pendahuluan
Pidana
merupakan salah satu dari tiga masalah pokok dalam hukum pidana, selain masalah
pertanggungjawaban pidana, dan masalah tindak pidana. Pidana menjadi ciri
khusus dalam hukum pidana dan membedakan secara tajam dari jenis hukum yang
lain. Pidana berarti memberikan kenestapaan, kesengsaraan atau penderitaan yang
dikenakan terhadap pelaku tindak pidana.
Dalam KUHP yang sekarang diberlakukan,
pidana diatur dalam Bab II Pasal 10-43. Berdasarkan Pasal 10 KUHP jenis-jenis
pidana adalah pertama pidana pokok, yang terdiri dari pidana mati, pidana
penjara, pidana kurungan, pidana denda, dan pidana tutupan. Pidana tutupan
merupakan jenis pidana yang “baru”, karena diadakan dengan UU Nomor 20 Tahun
1946 tentang Hukuman Tutupan. Kedua, pidana tambahan yang terdiri dari
pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, dan pengumuman
putusan hakim.
Jenis-jenis pidana yang ada dalam KUHP
tersebut, dilihat dari segi ilmu hukum pidana, masih mencerminkan pidana yang
lebih berorientasi pada “pembalasan” sehingga tampak kaku dan bersifat
imperatif dalam pelaksanannya. Sifat kaku dan imperatifnya jenis pidana dan
pemidanaan dalam KUHP sangat terlihat dalam pasal-pasal deliknya.
Perkembangan dunia hukum pidana secara
global, terutama setelah dilakukannya beberapa kali Kongres PBB tentang The
Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, wacana mengenai hukum
pidana mengalami perombakan yang signifikan. Salah satu perkembangnnya adalah
orientasi pemidanaan yang lebih “memanusiakan” pelaku tindak pidana (offenders)
dalam bentuk pembinaan (treatment). Berdasarkan perkembangan ini,
maka pada saat usaha pembaharuan hukum pidana (materiel) digalakkan, Indonesia
memperbaharui sistem pemidanannya yang kaku dan imperatif tersebut menjadi
sistem pemidanaan yang mengedepankan aspek kemanusiaan dengan mengambil ide-ide
individualisasi pidana.
Prinsip-prinsip
Individualisasi Pidana dalam Kebijakan Kriminal Indonesia
Pembaharuan hukum pidana pada
hakekatnya merupakan suatu upaya melakukan peninjauan dan pembentukan kembali
(reorientasi dan reformasi) hukum pidana
yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio-politik, sosio-filosofik,
dan nilai-nilai sosio-kultural masyarakat Indonesia.1
Oleh karena itu, pembaharuan pidana pada hakikatnya harus ditempuh dengan
pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy-oriented approach) dan
sekaligus pendekatan yang berorientasi pada nilai (value-oriented approach).2 Dengan demikian makna dan hakikat
pembaharuan hukum pidana dilihat dari sudut pendekatan kebijakan adalah bagian
dari kebijakan sosial (social policy), kebijakan kriminal (criminal
policy), dan kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy). Ini
berarti pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya
untuk mengatasi masalah-masalah sosial dalam rangka mencapai tujuan nasional,
merupakan bagian dari upaya perlindungan masyarakat khususnya penanggulangan
kejahatan, dan bagian dari upaya memperbaharui substansi hukum.
Sedangkan dilihat dari pendekatan
nilai, pembaharuan hukum pidana merupakan upaya melakukan peninjauan dan
penilaian kembali (reorientasi dan reevaluasi) nilai-nilai sosio-politik,
sosio-filosofik dan sosio-kultural yang melandasi dan memberi isi muatan
normatif da substansi hukum pidana yang cicita-citakan.
Sebagai bagian dari kebijakan kriminal,
pembaharuan hukum pidana juga tidak terlepas dari dua masalah pokok kebijakan
kriminal, yaitu mengenai penentuan perbuatan apa yang seharusnya dijadikan
tindak pidana, dan sanksi apa yang sebaiknya digunakan kepada pelanggar.
Kebijakan kriminal juga tidak dapat
dilepaskan dari masalah nilai. Oleh karena itu, apabila pidana digunakan
sebagai sarana untuk mencapai tujuan, maka pendekatan yang yang berorintasi
pada nilai-nilai kemanusiaan juga tidak dapat dilepaskan. Hal ini penting
karena tidak hanya kejahatan itu pada hakikatnya merupakan masalah kemanusiaan,
tetapi juga karena pidana sendiri mengandung unsur penderitaan yang dapat
menyerang kepentingan nilai kemanusiaan.
Pendekatan humanistik dalam penggunaan
sanksi pidana, tidak hanya berarti bahwa pidana yang dikenakan kepada pelanggar
harus sesuai dan tepat dengan nilai-nilai kemanusiaan, tetapi juga harus dapat
membangkitkan kesadaran si pelanggar akan nilai-nilai kemanusiaan dan
nilai-nilai pergaulan hidup masyarakat.3
Pendekatan humanistik menuntut pula
diperhatikannya ide individuliasasi pidana dalam kebijakan/pembaharuan hukum
pidana. Ide individualisasi pidana ini mengandung beberapa karakteristik
sebagai berikut.
a. pertanggungjawaban
pidana bersifat pribadi atau perorangan (asas personal).
b. pidana
hanya dapat diberikan kepada orang yang bersalah (asas culpabilitas).
c. pidana
harus disesuaikan dengan karakteristik dan kondisi pelaku, yang berarti ada
kelonggaran bagi hakim untuk memilih sanksi pidana dan harus ada kemungkinan
modifikasi pidana berupa penyesuaian dalam pelaksanaannya.
Di samping itu, pendekatan kebijakan
adalah yang berkaitan dengan nilai-nilai yang ingin dicapai atau dilindungi
oleh hukum pidana. Menurut Bassiouni, tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh
hukum pidana pada umumnya terwujud dalam kepentingan-kepentingan sosial yang
mengandung nilai-nilai tertentu yang perlu dilindungi. Kepentingan-kepentingan
sosial tersebut menurut Bassiouni adalah sebagai berikut:4
a. Pemeliharaan tertib masyarakat.
b. Perlindungan
masyarakat dari kejahatan, kerugian atau bahaya-bahaya yang tak dapat
dibenarkan, yang dilakukan oleh orang lain.
c. Memasyarakatkan kembali (resosialisasi) para
pelanggar hukum.
d. Memelihara
atau mempertahankan integritas pandangan-pandangan dasar tertentu mengenai
keadilan sosial, martabat kemanusiaan, dan keadilan individu.
Ditegaskan selanjutnya bahwa sanksi
pidana harus disepadankan dengan kebutuhan untuk melindungi dan mempertahankan
kepentingan-kepentingan ini. Pidana hanya dibenarkan apabila ada kebutuhan yang
berguna bagi masyarakat; pidana yang tidak diperlukan tidak dapat dibenarkan
dan berbahaya bagi masyarakat. Selain itu, batas-batas sanksi pidana ditetapkan
pula berdasarkan kepentingan-kepentingan ini dan nilai-nilai yang
mewujudkannya. Berdasarkan pandangan yang demikian, maka menurut Bassiouni
disiplin hukum pidana buka hanya pragmatis tetapi juga suatu disiplin yang
berdasar dan berorientasi pada pada nilai. Kesimpulannya, menurut Bassiouni,
dalam melakukan kebijakan hukum pidana diperlukan pendekatan yang berorientasi
pada kebijakan yang lebih bersifat pragmatis dan rasional, serta pendekatan
yang berorientasi pada nilai.
Sehubungan dengan pembahasan mengenai
pertanggungjawaban pribadi dalam kebijakan kriminal di atas, perlu dikemukakan
pula aliran social defence (perlindungan masyarakat) menurut Marc Ancel
yang bertolak pada konsepsi pertanggungjawaban pribadi. Istilah perlindungan
masyarakat yang dikaitkan dengan masalah rehabilitasi dan resosialisasi sering
kali dipergunakan dalam wacana hukum pidana Indonesia. Ini terlihat dalam
Seminar Kriminologi dan Simposium Pembaharuan Hukum Pidana Nasional tahun 1980
di Semarang.5
Menurut Marc Ancel, pertanggungjawaban
yang didasarkan pada kebebasan individu merupakan kekuatan penggerak yang utama
dari proses penyesuaian sosial. Diakui olehnya bahwa masalah determinisme dan
indeterminisme merupakan problem filosofis yang berada di laur lingkup
kebijakan pidana dan hukum pidana. Akan tetapi ditegaskan bahwa kebijakan
pidana yang modern hampir selalu mensyaratkan adanya kebebasan individu. Tujuan
utama setiap perlakuan readaptasi sosial harus diarahkan pada perbaikan
terhadap penguasaan diri sendiri. Oleh karena itu, masalah pertanggungjawaban
(kesalahan) seharusnya tidak boleh diabaikan, malahan harus diperkenalkan
kembali sebagai suatu pertanggungjawaban pribadi (kesalahan individu). Reaksi
terhadap perbuatan anti sosial justru harus dipusatkan pada konsepsi
pertanggungjawaban pribadi ini. Pertanggungjawaban yang dimaksud Marc Ancel
berbeda dengan pandangan klasik yang mengartikannya pertanggungjawaban moral
secara murni, dan berbeda pula dengan pandangan positivist yang mengartikannya
sebagai pertanggungjawaban menurut hukum atau pertanggungjawaban obyektif.
Pertanggungjawaban pribadi (individual
responsibility) menurut Marc Ancel menekankan pada perasaan kewajiban moral
pada diri individu dan oleh karena itu mencoba untuk merangsang ide tanggung
jawab atau kewajiban sosial terhadap anggota masyarakat yang lain dan juga
mendorongnya untuk menyadari moralitas sosial. Pengertian demikian merupakan
konsekuensi dari pandangan Marc Ancel yang melihat kejahatan sebagai
manifestasi dari kepribadian si pelaku.6
Selanjutnya mengenai ide
individualisasi pidana ini, Sheldon Glueck mengemukakan empat prinsip yang
harus mendasari proses individualisasi pelaku kejahatan, yaitu:
a. The
teratment (sentence-imposing) feature of the proceedings must be sharply
differentiated from the guiltfinding phase.
b. The
decision as to treatment must be made by a board of tribunal specially
qualified in the interpretation and evaluation of psychiatric, psychological,
and sociological data.
c. The treatment must be modifiable in the
light of scientific reports of progress.
d. The right of the individual must be
safeguarded against possible arbitrariness or other unlawful action on the part
of the treatment tribunal.
Sebagai bahan perbandingan, ide
individualisasi pidana di Greenland antara lain diwujudkan dengan bertolak pada
dua landasan, yaitu:
a. the elasticity of sentencing
b. the alteration/annulment/revocation of
sanction
Bahkan Sir Rupert Cross pernah
menyatakan bahwa kriteria pembaharuan hukum pidana adalah jika hukuman/sanksi
pidana dalam pembaharuan hukum pidana berorientasi pada nilai-nilai
kemanusiaan.7 Selengkapnya Sir Rupert
Cross menyatakan sebagai berikut:
“A change in the penal system can properly be described as an
endevour to achieve penal reform if it is aimed directly or indirectly at the
rehabilitation of the offender, or if its object is to avoid, suspend or reduce
punishment on humanitarian grounds”.
(bahwa sebuah perubahan dalam sistem hukum pidana secara pantas
dapat disebut sebuah kerja keras mencapai pembaharuan hukum pidana jika
dimaksudkan secara langsung atau tidak langsung pada rehabilitasi/perbaikan
pelanggar, atau jika sasarannya menghindari, menunda atau mengurangi hukuman
berdasarkan kemanusiaan).
Bertolak dari prinsip-prinsip individualisasi
pidana yang telah dipaparkan dalam bab sebelumnya, penulis akan mengkaji dan
menganalisis implementasi prinsip-prinsip/ide-ide individualisasi pidana
tersebut alam Konsep KUHP.
Prinsip-prinsip individualisasi pidana
yang diimplementasikan dalam Konsep KUHP tersebut adalah sebagai berikut:
A.
Asas Kesalahan (Asas Culpabilitas)
Asas kesalahan (asas culpabilitas)
merupakan salah satu asas pokok dalam hukum pidana dan merupakan salah satu
problem pokok dalam hukum pidana selain sifat melawan hukum perbuatan dan
pidana. Asas ini mengajarkan bahwa hanya orang yang bersalahlah yang dapat
dikenai pidana. Dalam bahasa asing, asas ini sering disebut dengan adagium nulla
poena sine culpa, atau Keine Strafe ohne Schuld (bahasa Jerman) dan Geen
straf zonder schuld (bahasa Belanda) yang berarti “tiada pidana tanpa
kesalahan”.
Dengan demikian dipidananya seseorang
tidaklah cukup apabila orang itu telah nyata-nyata melakukan perbuatan yang
bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi walaupun ditinjau
secara obyektif perbuatan seseorang telah memenuhi rumusan delik dalam
undang-undang, namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan
pidana. Untuk pemidanaan masih diperlukan syarat bahwa orang yang melakukan
perbuatan terlarang tersebut mempunyai kesalahan atau bersalah (subjective
guilt).8
Sebenarnya asas kesalahan ini tidak
tercantum dalam KUHP Indonesia saat ini (baca: Wetboek van Strafrecht). Asas
kesalahan hanya dicantumkan dalam MvT (Memory van Toelichting) sebagai
penjelasan dari Wetboek van Starfrecht. Padahal masalah kesalahan dalam
hukum pidana termasuk salah satu ajaran-ajaran umum hukum pidana. Akan tetapi,
asas kesalahan teidak mendapatkan tempatnya dalam Buku I KUHP mengenai
Ketentuan Umum. Namun demikian, jelas akan bertentangan dengan keadilan apabila
ada orang yang dijatuhi pidana padahal sama sekali ia tidak bersalah.
Untuk itulah, dalam Pasal 6 ayat (2)
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan asas
kesalahan ini. Selengkapnya, Pasal 6 ayat (2) tersebut berbunyi:
“Tiada seorang jua pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila
Pengadilan, karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang mendapat
keyakinan, bahwa seseorang yang dianggap bertanggung jawab, telah bersalah atas
perbuatan yang dituduhkan atas dirinya”.
Asas kesalahan tidak terlepas dari sejarah hukum pidana itu
sendiri. Pada awalnya, hukum pidana menitikberatkan pada perbuatan orang
beserta akibatnya (Daadstrafrecht). Pada perkembangan selanjutnya, arah
hukum pidana berpijak pada orang yang melakukan tindak pidana (Daderstrafrecht),
tanpa meninggalkan sama sekali sifat dari Daadstrafrecht. Oleh
karena itu, hukum pidana masa kini dapat disebut Daad-Daderstrafrecht, yaitu
hukum pidana yang berpijak pada perbuatan maupun pada orang/pelakunya. Karena
penjatuhan pidana disyaratkan adanya kesalahan dari pelakunya, maka ada juga
yang menyebut bahwa hukum pidana dewasa ini disebut sebagai Sculdstrafrecht.9
Dengan tidak dicantumkannya asas kesalahan dalam KUHP sekarang,
maka di dalam Konsep KUHP asas kesalahan dicantumkan dengan pertimbangan bahwa
asas kesalahan merupakan asas fundamental dalam hukum pidana. Pasal 34 Konsep
KUHP menyatakan:
“Tiada pidana atau tindakan tanpa
kesalahan”.
Menurut Barda Nawawi Arief, pencantuman
asas kesalahan dalam Konsep KUHP bertitik tolak pada pokok pemikiran
keseimbangan mono-dualistik.10
Pandangan mono-dualistik inilah yang dalam hukum pidana dikenal dengan istilah Daad-daderstrafrech
yaitu hukum pidana yang memperhatikan segi obyektif (perbuatan/daad) dan
segi sobyektif (pelaku/dader).
Bertolak dari pandangan keseimbangan
mono-dualistik ini, Konsep KUHP mencantumkan secara eksplisit asas legalitas
sebagai “asas kemasyarakatan”, serta asas kesalahan sebagai “asas kemanusiaan”.
Sedangkan dalam KUHP sekarang, asas yang tercantum secara eksplisit hanyalah
asas legalitas, yang disebutkan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP.
Asas legalitas disebut sebagai asas
kemasyarakatan berarti, bahwa suatu pidana dapat dijatuhkan terhadap perbuatan
yang menurut masyarakat dianggap sebagai kejahatan atau patut mendapatkan
pidana. Ukuran “menurut masyarakat” dapat diartikan perbuatan-perbuatan yang
dipidana tersebut telah tercantum dalam undang-undang sebagai tindak pidana
(ukuran formil/legalitas formil), atau yang menurut masyarakat setempat
(walaupun tidak tercantum dalam perundang-undangan) dianggap sebagai perbuatan
terlarang dan patut mendapatkan sanksi pidana (ukuran materiel/legalitas
materiel).
Sedangkan asas kesalahan disebut
sebagai asas kemanusiaan berarti pidana yang dijatuhkan terhadap pelaku harus
dipertimbangkan bahwa pelaku memang benar-benar bersalah melakukan tindak
pidana yang bersangkutan.
Namun demikian, walaupun pada
prinsipnya pertanggungjawaban pidana berdasar pada kesalahan, hal baru yang
diatur oleh Konsep KUHP berkaitan dengan kesalahan ini adalah adanya
kemungkinan pertanggungjawaban pengganti (vicarious liability) dan
pertanggungjawaban yang ketat (strict liability).
Pasal 35 Konsep KUHP menyebutkan
tentang pertanggungjawaban pengganti:
“Suatu undang-undang dapat menentukan bahwa seseorang dapat
dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukan oleh orang lain.”
Sedangkan pertanggungjawaban yang ketat disebutkan dalam Pasal
36 Konsep KUHP sebagai berikut:
“Undang-undang dapat menentukan bahwa pelaku tindak pidana
tertentu dapat dipidana semata-mata karena telah terpenuhinya unsur-unsur
tindak pidana atas perbuatannya, tanpa memperhatikan lebih dahulu kesalahan
dalam melakukan tindak pidana tersebut”.
Jika membandingkan asas kesalahan dengan hukum pidana asing,
ternyata tidak banyak hukum pidana asing yang mencantumkan secara eksplisit
asas kesalahannya. Biasanya perumusan asas ini terlihat dalam perumusan
mengenai pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility/liability), khususnya
yang berhubungan dengan masalah kesengajaan dan kealpaan.11
Dalam KUHP Uni Soviet (1958) Pasal 3 merumuskan secara tegas the
Basis for Criminal Responsibility (Dasar pertanggungjawaban pidana), yaitu:
“Only person gulty of the commision of a crime. that is who has,
either deliberately or by negligence, commited any of the socially dangerous
acts defined by the criminal law, is deemed liable to criminal responsibility
and to punishment”.
(Hanya orang yang bersalah melakukan kejahatan, yaitu orang yang
dengan sengaja atau dengan kealpaan melakukan suatu perbuatan yang berbahaya
bagi masyarakat yang ditetapkan oleh undang-undang pidana, dapat
dipertimbangkan untuk pertanggungjawaban pidana dan pidana).
KUHP Republik Demokrasi Jerman (1968) menyatakan asas kesalahan
dalam Pasal II Aturan Umum:
“… the proper application of criminal law demands that every
criminal act is detected and that guilty person is called to account…”
(Penerapan hukum pidana yang tepat menuntut, bahwa setiap tindak
pidana diusut dan orang yang bersalah dipertanggungjawabkan)
KUHP Greenland mengatur asas kesalahan dalam Pasal 86 yang
termasuk dalam aturan umum mengenai penerapan sanksi.
“Upon the finding of guiltthe court shall indicate which one or
ones of the above sanctions shal be imposed.”
(Berdasarkan penemuan kesalahan, pengadilan akan
menunjuk/menyatakan mana di antara satu atau beberapa sanksi di atas yang akan
dikenakan kepada si pelaku tindak pidana).
B.
Penambahan Alasan Penghapus Pidana
Alasan penghapus pidana yang dikenal dalam KUHP adalah tidak
mampu bertanggung jawab (Pasal 44), daya paksa atau overmacht (Pasal 48),
pembelaan darurat atau noodweer (Pasal 49 ayat (1)), pembelaan darurat
yang melampaui batas atau noodweer exces (Pasal 49 ayat (2)),
menjalankan perintah undang-undang (Pasal 50), dan melaksanakan perintah
jabatan (Pasal 51 ayat (1) dan (2)).
Namun dengan dasar prinsip/ide individualisasi pidana ini,
Konsep KUHP menambah beberapa alasan penghapus pidana lagi serta membedakan
secara jelas antara alasan penghapus pidana dalam kategori “alasan pemaaf” dan
alasan penghapus pidana dalam kategori “alasan pembenar”.
Selengkapnya, alasan-alasan penghapus pidana dalam kategori
“alasan pemaaf” yang baru dalam Konsep KUHP dan membedakannya dari KUHP lama
adalah sebagai berikut:
1.
Error atau sesat
Kesesatan (error) adalah alasan penghapus pidana baru
yang dalam KUHP sebelumnya tidak dimuat. Dalam ilmu pengetahuan hukum pidana,
sebenarnya terdapat adagium bahwa error facti non nocet, eror iuris nocet (kesesatan
mengenai faktanya tidak dipidana, sedangkan kesesatan mengenai hukumnya tetap
dipidana).
Akan tetapi Konsep KUHP tidak berpendirian demikian. Walaupun
kesesatan dianggap sebagai alasan penghapus pidana, akan tetapi jika pelaku
patut dipersalahkan karena kesesatan tersebut, maka pelaku tetap dapat
dipidana. Namun, ancaman pidananya maksimum dikurangi atau tidak melebihi
separuh dari maksimum pidana untuk tindak pidana yang dilakukan.
Selengkapnya Pasal 40 Konsep KUHP menyebutkan:
“(1) Tidak
dipidana, jika pelaku tindak pidana tidak mengetahui atau sesat mengenai
keadaan yang merupakan unsur tindak pidana atau jika pelaku berkeyakinan bahwa
perbuatannya tidak merupakan suatu tindak pidana, kecuali ketidaktahuan,
kesesatan, atau keyakinannya tersebut patut dipersalahkan.
(2) Jika
pembuat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) patut dipersalahkan atau dipidana,
maka maksimum pidananya dikurangi dan tidak melebihi separuh dari maksimum
pidana untuk tindak pidana yang dilakukan.”
2.
Anak di bawah umur 12 tahun.
Anak di bawah umur 12 tahun, merupakan alasan pidana yang baru,
yang berbeda dengan aturan alasan penghapus pidana dalam KUHP. Dalam KUHP, anak
di bawah umur 16 tahun bukanlah sebagai alasan penghapus pidana walaupun bila
dicermati pasal yang mengatur dalam KUHP dikelompokkan kepada pasal-pasal yang
mengatur tentang alasan penghapus pidana. Pasal 45-47 yang mengatur anak di
bawah umur 16 tahun tersebut, hanya mengatur mengenai aturan pemidanaan yang
dijatuhkan kepada anak berumur di bawah 16 tahun.
Pasal 45-47 itu sebagai berikut:
Pasal 45
“Dalam
hal penuntutan pidana terhadap orang yang belum dewasa karena melakukan suatu
perbuatan sebelum umur enam belas tahun, hakim dapat menentukan:
memerintahkan
supaya yang bersalah dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau
pemeliharanya, tanpa pidana apa pun.
Atau
memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah tanpa pidana
apapun, jika perbuatan merupakan kejahatan atau salah satu pelanggaran
berdasarkan paal-pasal 489, 490, 496, 497, 503-505, 514, 517, 519, 526, 531,
532, 536, dan 540 serta belum lewat dua tahun sejak dinyatakan bersalah karena
melakukan kejahatan atau salah satu pelanggaran di atas, dan putusannya telah
menjadi tetap; atau menjatuhkan pidana kepada yang bersalah.
Pasal 46
(1) Jika hakim memerintahkan supaya yang beralah diserahkan kepada
pemerintah, maka ia dimasukkan dalam rumah pendidikan negara supaya menerima
pendidikan dari pemerintah atau di kemudian hari dengan cara lain, atau
diserahkan kepada sorang tertentu yang bertempat tinggal di Indonesia atau kepada
suatu badan hukum, yayasan atau lembaga amal yang berkedudukan di Indonesia
untuk menyelenggarakan pendidikannya, atau di kemudian hari, atas tanggungan
pemerintah, dengan cara lain; dalam kedua hal di atas, paling lama sampai orang
yang bersalah itu mencapai umur delapan belas tahun.
(2) Aturan yang melaksanakan ayat (1) pasal ini ditetapkan dengan
undang-undang.
Pasal 47
(1) Jika hakim menjatuhkan pidana, maka maksimum pidana pokok
terhadap tindak pidananya dikurangi sepertiga.
(2) Jika perbuatan itu merupakan kejahatan yang diancam dengan
pidana mati atau penjara seumur hidup, maka dijatuhkan pidana penjara paling
lama lima belas tahun.
(3) Pidana tambahan dalam Pasal 10 butir b, nomor 1 dan 3 tidak
dapat diterapkan.
Memperhatikan Pasal 45-47 KUHP di atas, dapat disimpulkan bahwa
jika terdakwanya seorang anak di bawah umur 16 tahun, maka hakim diberikan
alternatif sebagai berikut:
a. mengembalikan
kepada orang tua, wali, atau pemeliharanya, tanpa pidana apapun;
b. menyerahkan
kepada pemerintah tanpa pidana apapun jika melakukan tindak pidana tertentu;
dan
c. menjatuhkan pidana
Dengan tidak diakuinya anak di bawah umur sebagai salah satu
alasan penghapus pidana dalam KUHP, maka dengan mendasrkan diri pada ide-ide
individualisasi pidana, maka Konsep KUHP kemudian memasukkan anak di bawah umur
tertentu sebagai alasan penghapus pidana.
Hal ini merupakan perkembangan baru dalam dunia ilmu hukum
pidana. Sebelumnya, apabila kejahatan itu dilakukan oleh seseorang yang berusia
anak-anak atau di bawah umur, maka pemidanaan pelaku anak-anak akan disamakan
dengan pemidanaan orang tua/dewasa. Padahal secara psikologis tentunya berbeda
motif orang dewasa dan anak-anak dalam melakukan tindak pidana.
Pada saat ini, pandangan dunia semakin bijak dalam memandang
anak dan perilakunya. Hal ini dikarenakan aliran modern hukum pidana memberikan
individualisasi dan differesiansi dalam pemberian pidana, yaitu pemidanaan yang
sesuai dengan keadaan dan diri si pembuat.12
Termasuk pula dalam kenakalan-kenakalan anak yang termasuk dalam tindak pidana
(kejahatan). Kejahatan yang dilakukan oleh seorang anak kemudian harus
diselesaikan dengan proses peradilan pidana yang disesuaikan dengan kondisi
psikologis anak. Hal ini jelas menunjukkan adanya perkembangan dalam
perlindungan anak.
Di negara Belanda, Undang-undang Anak (Kinderwetten) telah
ada sejak 1901 dan mulai berlaku pada tahun 1905. Sedangkan di Indonesia,
awalnya hanya tiga pasal ini, yaitu Pasal 45-47 KUHP yang mengatur mengenai
pidana anak. Selanjutnya, ternyata perlindungan anak di Indonesia juga
menunjukkan perkembangan yang signifikan. Ini ditandai dengan adanya aturan
khusus proses peradilan pidana yang memperhatikan psikologi anak dalam acara
peradilan.
Dengan dasar ide individulaisasi ini pula kemudian dalam Konsep
KUHP diatur mengenai batas umur yang tidak dapat dipertanggungjkawabkan secara
pidana yaitu umur 12 (dua belas) tahun.13
Pasal 111 Konsep KUHP menyatakan sebagai berikut:
Pasal 111
(1) Anak yang belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun melakukan
tindak pidana tidak dapat dipertanggungjawabkan.
(2) Pidana dan tindakan bagi anak hanya berlaku bagi orang yang
berumur antara 12 tahun dan 18 tahun yang melakukan tindak pidana.
Dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak
Pasal 3 juga menyebutkan bahwa batas anak nakal yang dapat diajukan ke sidang
anak sekurang-kurangnya 8 tahun tetapi belum mencapai 18 tahun, dengan
pengecualian anak yang belum umur 8 tahun dapat juga diajukan ke sidang anak
apabila berdasarkan pemeriksanaan, anak itu sudah tidak dapat dibina lagi oleh
orang tuanya (Pasal 5 ayat (3)).
Sedangkan batas usia minimal untuk dapat dipertanggungjawabkan
(dijatuhi pidana dan tindakan) adalah 12 tahun ke atas, di bawah 12 tahun hanya
dapat dikenakan tindakan dengan ketentuan (Pasal 26 ayat (3) dan (4)):
a. apabila
melakukan tidank pidana yang diancam dengan pidana mati atau penjara seumur
hidup hanya dikenakan tindakan menurut Pasal 24 ayat (1) b yaitu diserahkan
kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan dan latihan kerja.
b. apabila
melakukan tindak pidana yang tidak diancam dengan pidana mati atau pidana
seumur hidup, maka dijatuhi salah satu tindakan dalam Pasal 24, yaitu
dikembalikan kepada orang tua, wali atau orang tua asuh, diserahkan kepada
negara atau diserahkan kepada organisasi sosial.
Mencermati batas umur pertanggungjawaban pidana demikian memang
telah memenuhi himbauan-himbauan internasional yang tercantum dalam dokumen
internasional. United Nations Standard Minimum Rules for the Administration
of Juvenile Justice (Beijing Rules) yang disepakati 6 September 1985
menyebutkan dalam prinsip-prinsip umum (General principles) ke-4 tentang
age of criminal responsibility bahwa:
“In those legal systems recognizing the concept of the age of
criminal responsibility for juveniles, the beginning of that age shal not be
fixed at too low an age level, bearing in mind the facts of emotional, mental
and intellectual maturity.”14
C.
Tujuan dan Pedoman Pemidanaan
Tujuan dan pedoman pemidanaan merupakan implementasi ide
individualisasi pidana. Tujuan dan pedoman pemidanaan ini belum dikenal (belum
dicantumkan) dalam KUHP sekarang. Oleh karena itu, Konsep KUHP mengakomodir dan
mengimplementasikan tujuan dan pedoman pemidanaan dalam Pasal 54 dan 55.
Pasal 54
(1) Pemidanaan dimaksudkan untuk:
a. mencegah
dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman
masyarakat;
b menyelesaikan
konflik yang ditimbulkan oelh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan
mendatangkan rasa damai dalam masyarakat;
c. memasyarakatkan
terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang baik dan berguna;
dan
d. membebaskan
rasa bersalah pada terpidana.
(2) Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan
martabat manusia.
Pasal 55
(1) Dalam pemidanaan wajib dipertimbangkan:
a. kesalahan
pelaku tindak pidana;
b. motif
dan tujuan melakukan tindak pidana;
c. cara
melakukan tindak pidana;
d. sikap
batin pelaku tindak pidana;
e. riwayat
hidup dam keadaan sosial ekonomi pelaku tindak pidana;
f. sikap
dan tindakan pelaku sesudah melakukan tindak pidana;
g. pengaruh
pidana terhadap masa depan pelaku tindak pidana;
h. pandangan
masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan;
i. pengaruh
tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban; dan atau
j. apakah
tindak pidana dilakukan dengan berencana.
Dirumuskannya pedoman pemidanaan dalam Konsep KUHP menurut Barda
Nawawi Arief, bertolak dari pokok pemikiran sebagai berikut:
a. Pada
hakikatnya undang-unang merupakan sistem hukum yang bertujuan (purposive
system). Dirumuskannya pidana aturan pemidanaan dalam undang-undang pada
hakikatnya hany merupakan sarana untuk mencapai tujuan, oleh karena itu perlu
dirumuskan tujuan dan pedoman pemidanaan.
b. Dilihat
secara fungsional dan operasional, pemidanaan merupakan suatu rangkaian proses
dan kebijaksanaan ynag konkretisasinya sengaja dirancanakan melalaui tahap
“formulasi” oleh pembuat undang-undang, tahap “aplikasi” oleh aparat yang
berwenang dan tahap “eksekusi” atau aparat pelaksana pidana. Agar ada
keterjalinan dan keterpaduan antara ketiga tahap itusebagai satu kesatuan
sistem pemidanaan, diperlukan perumusan tujuan dan pedoman pemidanaan.
c. Sistem
pemidanaan yang bertolak dari individualisasi pidana tidak berarti memberi
kebebasan sepenuhnya kepada hakim dan aprat-aparat lainnya tanpa pedoman atau
kendali/kontrol. Perumusan tujuan dan pedoman pemidanaan dimaksudkan sebagai
“fungsi pengendali/kontrol” dan sekaligus memberikan dasar filosofis, dasar
rasionalitas dan motivasi pemidanaan yang jelas dan terarah.15
D.
Pedoman Pemberian Pengampunan oleh Hakim
Di samping memuat tujuan dan pedoman pemidanaan, Konsep KUHP
juga memuat adanya ketentuan mengenai pedoman pengampunan hakim (rechtelijk
pardon). Pedoman pengampunan hakim merupakan implementasi dari ide
individualisasi pidana.
Pedoman pengampunan hakim disebutkan dalam Pasal 55 ayat (2)
sebagai berikut:
(2) Ringannya perbuatan, keadaan pribadi pelaku atau keadaan pada
waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian, dapat dijadikan dasar
pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan dengan
mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan.
Dengan dasar ini maka hakim masa mendatang diperbolehkan
memaafkan orang yang nyata-nyata melakukan tindak pidana dengan alasan keadaan
pribadi si pembuat dan pertimbangan kemanusiaan. Aturan pengampunan hakim
tersebut tidak ada dalam KUHP.
E.
Alasan Peringanan dan Pemberatan Pidana
Alasan yang memperingan dan memperberat pidana pada umumnya
menjadi dasar putusan hakim dalam memutuskan jenis dan berat/ringannya pidana.
Selama ini, dengan tidak dicantumkannya alasan peringanan dan pemberatan pidana
secara khusus dalam KUHP16, hakim
dalam memutuskan putusannya berdasarkan jurisprudensi mengenai beberapa hal
yang dapat menjadi alasan peringanan dan pemberatan tersebut.
Oleh karena itu, dengan berpijak pada ide individualisasi
pidana, maka dalam Konsep KUHP dicantumkan beberapa alasan/faktor yang dapat
memperingan dan memperberat pidana, sebagai acuan formal bagi hakim dalam
memutuskan putusan pidana, seperti penyerahan diri secara sukarela, pemberian
ganti kerugian yang layak, dan tindak pidana yang dilakukan karena kegoncangan
jiwa yang hebat.
Selengkapnya Pasal 128 Konsep KUHP menyebutkan:
Pasal 128
“Faktor-faktor yang memperingan
pidana meliputi:
a. percobaan
melakukan tindak pidana;
b. pembantuan
terjadinya tindak pidana;
c. penyerahan
diri secara sukarela kepada yang berwajib setelah melakukan tindak pidana;
d. tindak
pidana yang dilakukan oleh wanita hamil;
e. pemberian
ganti kerugian yang layak atau perbaikan kerusakan secara sukarela, akibat
tindak pidana yang dilakukan;
f. tindak
pidana yang dilakukan karena kegoncangan jiwa yang sangat hebat; atau
g. tindak
pidana yang dilakukan oleh pelaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 (kurang
dapat dipertanggungjawabkan, pen.).
F.
Elastisitas Pemidanaan
Ide individualisasi pidana berupa elastisitas pemidanaan (elasticity
of sentencing) dalam Konsep KUHP telah diimplementasikan dalam beberapa
pasal, yang intinya adanya keleluasaan bagi hakim dalam memilih dan menentukan
sanksi (pidana atau tindakan) yang sekiranya tepat untuk individu atau pelaku
tindak pidana. Namun demikian, keleluasaan hakim tersebut tetap dalam dalam
batas-batas kebebasan menurut undang-undang.
Konsep KUHP mengimplementasikan ide individualisasi pidana
berupa elasticity of sentencing sebagai berikut:
1. Sanksi
yang tersedia dalam Konsep KUHP adalah berupa “pidana” (yaitu pidana pokok dan
pidana tambahan), serta “tindakan”. Walaupun demikian, dalam penerapannya hakim
dapat menjatuhkan beberapa alternatif sanksi sebagai berikut:
a.
menjatuhkan pidana
pokok saja;
b.
menjatuhkan pidana
tambahan saja;
c.
menjatuhkan tindakan
saja
d.
menjatuhkan pidana
pokok dan pidana tambahan;
e.
menjatuhkan pidana
pokok dan tindakan;
f.
menjatuhkan pidana
pokok, pidana tambahan, dan tindakan.
2. Walaupun
pada prinsipnya sanksi yang dapat dijatuhkan adalah pidana pokok saja yang
diancamkan dalam perumusan delik yang bersangkutan (dalam Buku II Konsep KUHP),
namun hakim dapat juga menjatuhkan jenis sanksi lainnya (pidana pokok/pidana
tambahan/tindakan) yang tidak tercantum, sepanjang dimungkinkan menurut Buku I
aturan umum Konsep KUHP. Sebagai contoh pidana yang diancamkan berupa pidana
penjara, namun mengingat keadaan pribadi dan perbuatannya dan tindak pidana
yang dilakukan terdorong oleh maksud yang patut dihormati, maka hakim dapat
menjatuhkan pidana tutupan (Pasal 77). Hakim dapat juga menjatuhkan pidana
pengawasan, mengingat keadaan pribadi dan perbuatannya (Pasal 78 dan 79) dengan
catatan bahwa tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara paling lama 7
tahun. Jika pidana penjara diancamkan secara tunggal, setelah memperhatikan
tujuan dan pedoman pemidanaan serta pedoman penjatuhan pidana penjara, maka
hakim dapat menjatuhkan pidana denda (Pasal 58). Hakim dapat juga menjatuhkan
pidana kerja sosial jika ancaman pidana yang akan dijatuhkan tidak lebih dari 6
bulan (Pasal 85).
3. Hakim
diperbolehkan memilih alternatif pidana lain, jika sanksi pidana diancamkan
secara tunggal (Pasal 58 untuk pidana penjara tunggal, dan Pasal 60 untuk
pidana denda tunggal).
4. Hakim
dapat menjatuhkan pidana secara kumulatif, walaupun sanksi pidana diancamkan
secara alternatif (Pasal 61).
G. Modifikasi Pemidanaan
Sisi lain dari ide individualisasi pidana yang dituangkan dalam
Konsep KUHP adalah adanya ketentuan mengenai modifikasi/perubahan/penyesuaian
atau peninjauan kembali putusan pemidanaan yang telah berkekuatan hukum tetap
yang didasarkan pada adanya perubahan/perkembangan/perbaikan pada diri pelaku
sendiri.
Dengan demikian Konsep KUHP mempunyai pemikiran mengenai ide individualisasi
pidana tidak hanya pada tataran pidana yang akan dijatuhkan harus disesuaikan
dengan kondisi pribadi/individu, namun pidana yang telah dijatuhkan dan telah
berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijde) dapat pula dilakukan
perubahan atau penyesuaian berdasarkan pada perkembangan atau perbaikan individu terpidana serta mempertimbangkan
pada tujuan pemidanaan.
Pasal 57 ayat (1) Konsep KUHP menyatakan bahwa “putusan pidana
dan tindakan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat dilakukan perubahan
atau penyesuaian dengan mengingat perkembangan narapidana dan maksud
pemidanaan”. Selanjutnya, Konsep KUHP juga memberikan kelonggaran pihak-pihak
yang dapat mengajukan permohonan penyesuaian ini, yaitu dapat dilakukan oleh
narapidana sendiri, orang tua, wali, penasehat hukum, jaksa penuntut umum atau
hakim pengawas (Pasal 57 ayat (2)).
Perubahan atau
penyesuaian pidana tersebut menurut Konsep KUHP tidak diperbolehkan lebih berat
dari putusan semula, dan dapat berbentuk: (a) pencabutan atau penghentian sisa
pidana atau tindakan, atau (b) penggantian jenis pidana atau tindakan lainnya.
Jika permohonan perubahan atau penyesuaian ini ditolak hakim, baru dapat
diajukan kembali satu tahun kemudian setelah penolakan, kecuali dalam keadaan
khusus yang menunjukkan permohonan kembali tersebut pantas untuk
dipertimbangkan.
---daftar pustaka dan footnote sengaja tidak ditampilkan---