Rabu, 18 Desember 2013


A.  Asas-asas pemilu adalah

  1. Langsung berarti rakyat (pemilih) mempunyai hak untuk secara langsung memberikan suaranya sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara;
  2. Umum berarti pada dasarnya semua warganegara yang memenuhi persyaratan minimal dalam usia , yaitu sudah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau telah/pernah kawin berhak ikut memilih dalam pemilihan umum. Warganegara yang sudah berumur 21 (dua puluh satu) tahun berhak di-pilih. Jadi, pemilihan yang bersifat umum mengandung makna menjamin kesempatan yang berlaku menyeluruh bagi semua warga negara yang telah memenuhi persyaratan tertentu tanpa diskriminasi (pengecualian) berdasar acuan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, kedaerahan, dan status sosial;
  3. Bebas berarti setiap warganegara yang berhak memilih bebas menentukan pilihannya tanpa tekanan dan paksaan dari siapapun. Di dalam melaksanakan haknya, setiap warganegara dijamin keamanannya, sehingga dapat memilih sesuai dengan kehendak hati nurani dan kepentingannya;
  4. Rahasia berarti dalam memberikan suaranya, pemilih dijamin bahwa pemilihnya tidak akan diketahui oleh pihak manapun dan dengan jalan papun. Pemilih memberikan suaranya pada surat suara dengan tidak dapat diketahui oleh orang lain kepada suaranya diberikan. Asas rahasia ini tidak berlaku lagi bagi pemilih yang telah keluar dari tempat pemungutan suara dan secara sukarela bersedia mengungkapkan pilihannya kepada pihak manapun;
  5. Jujur berarti dalam menyelenggarakan pemilihan umum; penyelenggaraan/ pelaksana, pemerintah dan partai politik peserta Pemilu, pengawas dan pemantau Pemilu, termasuk pemilih, serta semua pihak yang terlibat secara tidak langsung, harus bersikap dan bertindak jujur sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku;
  6. Adil berarti dalam menyelenggarakan pemilu, setiap pemilih dan partai politik peserta Pemilu mendapat perlakuan yang sama, serta bebas dari kecurangan pihak manapun.
B. Tujuan pemilu 
a.       Memilih presiden dan wakil presiden
b.      Memilih DPR, DPRD I, DPRD II
c.       Memilih DPD
d.      Melaksanakan demokrasi di Indonesia

C. System pemilu 
a.       Single-member Constituency (Sistem Distrik), yaitu satu daerah pemilihan memilih satu wakil.
b.      Multi-member Constituency (system Proporsional), yaitu satu daerah pemilihan memilih beberapa wakil.
D. Tugas KPU
a.                  a.      Merencanakan dan mempersiapkan pelaksanaan Pemilihan Umum;
b.                    b.   Menerima, meneliti dan menetapkan Partai-partai Politik yang berhak sebagai peserta Pemilihan Um         um;
  1. Membentuk Panitia Pemilihan Indonesia yang selanjutnya disebut PPI dan mengkoordinasikan kegiatan Pemilihan Umum mulai dari tingkat pusat sampai di Tempat Pemungutan Suara yang selanjutnya disebut TPS;
  2. Menetapkan jumlah kursi anggota DPR, DPRD I dan DPRD II untuk setiap daerah pemilihan;
  3. Menetapkan keseluruhan hasil Pemilihan Umum di semua daerah pemilihan untuk DPR, DPRD I dan DPRD II;
  4. Mengumpulkan dan mensistemasikan bahan-bahan serta data hasil Pemilihan Umum;
  5. Memimpin tahapan kegiatan Pemilihan Umum.

5.      Hak pilih dalam pemilu yaitu hak pilih aktif dan hak pilih pasif, jelaskan!
Jawab  :
Penjelasan hak pilih aktif dan hak pilih pasif adalah
a.       Hak pilih aktif, yaitu hak untuk memilih dalam pemilu. Jadi warga yang sudah memenuhi syarat-syaratnya, dapat memberikan suaranya untuk memilih jagoannya dan mensukseskan pemilu.
b.      Hak  pilih pasif, yaitu hak untuk dipilih dalam pemilu. Jadi warga yang sudah memenuhi syarat-syarat menjadi kandidat dalam pemilu, dapat mencalonkan dirinya.

6.      Jelaskan maksud pemimpin yang demokratis!
Jawab  :
Maksud pemimpin yang demokratis adalah sebagai berikut :
a.       Bermoral tinggi
b.      Dapat bekerja sama dengan semua kalangan
c.       Mau mendengarkan masukan dari semua kalangan
d.      Mengikutsertakan semua anggota/masyarakat dalam pengambilan keputusan
e.       Menghargai pendapat orang lain

7.      Berikan 2 contoh penerapan demokrasi pancasila dalam kehidupan bernegara!
Jawab  :
2 contoh penerapan demokrasi pancasila dalam kehidupan bernegara adalah
a.       Menghargai perbedaan pilihan dalam pemilihan umum, pemilihan ketua RT, RW, ketua desa, dll.
b.      Tidak memaksakan kehendak kita kepada orang lain supaya bertindak laku seperti kita, misalnya memakai pakaian atau berodel rambut seperti kita, dll

8.      Berikan 2 contoh penerapan demokrasi pancasila dalam bidang ekonomi!
Jawab  :
Contoh penerapan demokrasi pancasila dalam kehidupan ekonomi adalah
a.       Kemakmuran bagi seluruh warga masyarakat
b.      Kesempatan yang sama bagi seluruh masyarakat untuk ikut menciptakan dan menikmati kemakmuran
c.       Menghargai penjual lain, walaupun penjual lain lebih laku dagangannya, tidak memaksakan kehendak kepada pedagang yang laku dagangannya untuk pergi dari daerah berjualannya atau dll
d.      Melakukan musyawarah atau voting kepada perwakilan masyarakat jika aka nada kenaikan harga barang atau jasa, supaya semua lapisan masyarakat dapat menerima keputusan kenaikan harga dengan baik.

9.      Sebutkan dan jelaskan trias politika menutur pendapat Montesque!
Jawab:
Trias pilitika menurut Montesque adalah "Dalam tiap pemerintahan ada tiga macam kekuasaan: kekuasaan legislatif; kekuasaan eksekutif, mengenai hal-hal yang berkenan dengan dengan hukum antara bangsa; dan kekuasan yudikatif yang mengenai hal-hal yang bergantung pada hukum sipil.
Dengan kekuasaan pertama, penguasa atau magistrat mengeluarkan hukum yang telah dikeluarkan. Dengan kekuasaan kedua, ia membuat damai atau perang, mengutus atau menerima duta, menetapkan keamanan umum dan mempersiapkan untuk melawan invasi. Dengan kekuasaan ketiga, ia menghukum penjahat, atau memutuskan pertikaian antar individu-individu. Yang akhir ini kita sebut kekuasaan yudikatif, yang lain kekuasaan eksekutif negara." Pembentukan 3 badan politik yang saling independen (Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif), namun juga saling mengawasi satu sama lain. Ini untuk mencegah kekuasaan absolut yang berada di tangan satu pihak tertentu (diktator atau tirani).
Di Indonesia, tiga badan tersebut adalah 3 lembaga tinggi negara RI, yaitu: DPR (Legislatif), Presiden (Eksekutif) dan Mahkamah Agung (Yudikatif).

10.   Mengapa bangsa Indonesia memilih demokrasi pancasila?
Jawab  :
Bangsa Indonesia memilih demokrasi pancasila karena demokrasi pancasila memiliki ciri-ciri yang istimewa daripada demokrasi yang lain, ciri-ciri tersebut adalah
a.       Sesuai dengan kepribadian Bangsa Indonesia sejak dulu
b.      Menghargai pendapat atau tidak ada pemaksaan kehendak
c.       Menguatamakan musyawarah
d.      Mengutamakan kepentingan bersama
e.       Musyawarah dilakukan dengan akal sehat

Sejarah dan Pelaksanaan Pemilu Di Indonesia


Pemilihan Umum atau disingkat Pemilu di Indonesia merupakan suatu sarana dalam mewujudkan kedaulatan rakyat. Pemilu diselenggarakan dengan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pemilu berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945.
Pemilu merupakan salah satu mekanisme demokrasi di NKRI. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa rakyat memiliki kekuasaan (kedaulatan) yang tertinggi. Mekanisme penyerahan kedaulatan rakyat melalui wakilnya (representative democracy) adalah melalui Pemilu.
Sejarah dan Pelaksanaan Pemilu di Indonesia
Pada awalnya Pemilu di Indonesia bertujuan untuk memilih anggota lembaga legislatif, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres) semula dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai lembaga tertinggi negara. Kemudian berdasarkan amandemen keempat UUD 1945 pada 2002 pilpres dilakukan secara langsung oleh rakyat sehingga pilpres dimasukkan dalam agenda Pemilu.
Pilpres sebagai salah satu dari Pemilu di Indonesia diadakan pertama kali pada tahun 2004. Selanjutnya pada tahun 2007, berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007, pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (pilkada) juga dimasukkan sebagai bagian dari agenda pemilu di Indonesia. Istilah Pemilu di Indonesia lebih sering merujuk kepada pemilu legislatif dan pemilu presiden dan wakil presiden yang diadakan setiap 5 tahun sekali.
Pada era reformasi berkembang asas “Jurdil” yang merupakan singkatan dari “Jujur dan Adil”. Asas jujur mengandung makna bahwa pemilihan umum harus dilakukan sesuai dengan aturan yang berlaku. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa setiap warga negara yang memiliki hak dapat memilih sesuai dengan kehendaknya dan setiap suara pemilih memiliki nilai yang sama untuk menentukan wakil rakyat yang akan terpilih.
Sedangkan asas adil mengandung makna perlakuan yang sama atau adil terhadap peserta Pemilu dan pemilih. Tidak ada pengistimewaan ataupun diskriminasi terhadap peserta atau pemilih tertentu. Asas jujur dan adil berlaku untuk pemilih ataupun peserta pemilu, dan juga penyelenggara pemilu.
Sejarah Pemilu di Indonesia dari Tahun ke Tahun
Sepanjang sejarah berdirinya NKRI, telah diselenggarakan 10 kali Pemilu anggota lembaga legislatif yaitu pada tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004, dan 2009. Pemilu tersebut diselenggarakan sesuai dengan UUD 1945 yaitu:
Pasal 18 (3): Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihanumum.
Pasal 19 (1): AnggotaDewan Perwakilan Rakyat dipilih melalui pemilihan umum.
Pasal 22C (1): Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum; (2) Anggota Dewan Perwakilan Daerah dari setiap provinsi jumlahnya sama dan jumlah seluruh anggota Dewan Perwakilan Daerah itu tidak lebih dari seperti jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
Berikut ini adalah pemilu-pemilu yang pernah berlangsung di Indonesia:
Pemilu 1955
Pemilu di Indonesia pertama kali berlangsung pada tahun 1955 dengan maksud untuk memilih anggota-anggota DPR dan Konstituante. Pemilu di Indonesia ini dilaksanakan di bawah pemerintahan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo. Pemilu 1955 ini dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap pertama adalah Pemilu untuk memilih anggota DPR.
Tahap ini diselenggarakan pada tanggal 29 September 1955, dan diikuti oleh 29 partai politik dan individu. Tahap kedua adalah Pemilu untuk memilih anggota Konstituante. Tahap ini diselenggarakan pada tanggal 15 Desember 1955. Tiga besar partai yang menjadi pemenang dalam Pemilu ini adalah Partai Nasional Indonesia, Masyumi dan Nahdlatul Ulama
Pemilu 1971
Pemilu berikutnya diselenggarakan pada tanggal 3 Juli 1971. Pemilu diikuti oleh 9 Partai politik dan 1 organisasi masyarakat. Tiga besar partai pemenang dalam Pemilu ini adalah Golongan Karya, Nahdlatul Ulama dan Parmusi.
Pemilu 1977-1997
Selanjutnya setiap lima tahun sekali Pemilu di Indonesia memilih anggota DPR. Pemilu-Pemilu ini dilangsungkan pada tahun 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Pemilu di Indonesia pada tahun ini dilangsungkan pada rezim pemerintahan Presiden Soeharto.
Pemilu di Indonesia masa ini seringkali disebut dengan “Pemilu Orde Baru”. Pemilu tersebut hanya diikuti dua partai politik dan satu Golongan Karya. Kesemuanya dimenangkan oleh Golongan Karya.
Pemilu 1999
Pemilu di Indonesia ini dilangsungkan pada tahun pada tanggal 7 Juni 1999 di bawah pemerintahan Presiden BJ Habibie dan diikuti oleh 48 partai politik. Pemilu ini juga menandai berakihrnya rezim orde baru.Tiga besar Pemilu 1999 adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan
Pemilu 2004
Pemilu 2004 berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya. Selain memilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, rakyat juga dapat memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). DPD adalah lembaga perwakilan baru yang ditujukan untuk mewakili kepentingan daerah. Pemilu tahun ini memilih presiden secara langsung.
Peraturan pilpres tercantum dalam UU no.23 tahun 2003 yaitu:
Pasal 3 ayat (2) & (4):
Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan setiap 5 (lima) tahun sekali pada hari libur atau hari yang diliburkan, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden harus sudah menghasilkan Presiden dan Wakil Presiden terpilih selambat-lambatnya 14 (empatbelas) hari sebelum masa jabatan Presiden berakhir.
Pasal 4:
Pemungutan suara untuk pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dilaksanakan selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan setelah pengumuman hasil Pemilu bagi anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, danDPRD Kabupaten/Kota.
Pasal 5
(i) Peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden adalah Pasangan Calon yang diusulkan secara berpasangan oleh partai politik atau gabungan partai politik.
(ii) Pengumuman calon Presiden dan / atau calon Wakil Presiden atau Pasangan Calon oleh partai politik atau gabungan partai politik dapat dilaksanakan bersamaan dengan penyampaian daftar calon anggota DPR kepada KPU.
(iii) Pasangan Calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen) dari jumlah kursi DPR atau 20% (dua puluh persen) dari perolehan suara sah secara nasional dalam Pemilu anggota DPR.
Pemilu pada 2004 juga merupakan pemilu pertama di mana para peserta dapat memilih langsung presiden dan wakil presiden pilihan masyarakat (pilpres). Pilpres ini berlangsung dalam dua putaran, karena tidak ada pasangan calon yang berhasil mendapatkan suara lebih dari 50%. Pilpres ini akhirnya dimenangkan oleh pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla.
Pemilu 2009
Pemilu tahun 2009 berlangsung pada 8 Juli 2009. Capres Susilo Bambang Yudhoyono yang diusung oleh Partai Demokrat bersama cawapresnya Boediono, berhasil menjadi pemenang dalam satu putaran langsung. Mereka memperoleh suara 60,80%. Mereka mengalahkan pasangan capres-cawapres Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto dan Muhammad Jusuf Kalla-Wiranto.
Sejarah Pemilu di Indonesia–Pilkada
Pemilihan kepala daerah langsung sesuai dengan undang – undang nomor 32 tahun 2004 adalah sebuah proses demokratisasi di Indonesia. Pilkada dilakukan secara langsung oleh penduduk daerah administratif setempat yang memenuhi syarat. Pilkada pertama di Indonesia diselenggarakan pada bulan Juni 2005.
Pemilihan kepala daerah dilakukan satu paket bersama. Maksudnya adalah memilih kepala daerah dengan wakilnya. Kepala daerah dan wakil kepala daerah yang dimaksud mencakup:1) Gubernur dan wakil gubernur untuk provinsi 2) Bupati dan wakil bupati untuk kabupaten3) Wali kota dan wakil wali kota untuk kota.
Selanjutnya pada tanggal 19 April 2007 terbitlah Undang – undang No. 22 tahun 2007 tentang penyelenggaraan pemilihan umum. Undang-undang itu merubah mekanisme dalam pilkada. Dalam undang-undang ini pemilihan kepala daerah dimasukkan dalam agenda pemilu yang berlangsung tiap 5 tahun sekali.
Masyarakat mulai mengenal pemilihan kepala daerah dengan sebutan Pemilukada. Pilkada pertama yang dilangsungkan berdasarkan UU No.22 tahun 2007 ini adalah Pilkada DKI Jakarta yang berlangsung pada 8 Agustus 2007. Pilkada ini dimenangkan oleh pasangan Fauzi Bowo – Prijanto yang meraih 2.109.511 suara (57,87%).

OTONOMI DAERAH


  1. Otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban  daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
  2. Otonomi luas adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup kewenangan semua bidang pemerintahan, kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lainnya yang akan ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
  3. Otonomi nyata adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan kewenangan  pemerintahan di bidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan serta tumbuh, hidup dan berkembang di daerah.
  4. Otonomi bertanggungjawab adalah perwujudan pertanggungjawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam wujud tugas dan  kewajiban yang harus dipikul oleh daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonom, berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan, dan pemerataan, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. 
  5. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur urusan pemerintahan dalam system Negara  Kesatuan Republik Imdonesia.
  6. Dekonsentrasi aalah pelimpahan wewenang  pemerintahan oleh pemerintah  kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu .
  7. Tugas pembantuan adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah dan/atau desa  dari daerah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa dari pemerintah kabupaten/kota kepada  desa untuk melaksanakan tugas tertentu.
  8. Pendapatan daerah adalah semua hak daerah yang diakui sebagai penambahan nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan. 
  9. Pendapatan asli daerah adalah segala penerimaan yang diperoleh daerah dari sumber-sumber dalam wilayahnya yang ditetapkan dengan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu:a.    a. Hasil pajak daerah.b.    Hasil retribusi daerah.c.    Perusahan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan.d.    Lain-lain pendapatan asli daerah.
  10. Pajak daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah.
  11. Retribusi daerah adalah retribusi atas jasa yang disediakan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan.
  12. Lain-lain pendapatan yang sah adalah pendapatan-pendapatan lain yang tidak termasuk ke dalam jenis-jenis pajak daerah dan retribusi daerah dan pendapatan dinas-dinas yang sifatnya insidentil/temporer. yang menunjang pelaksanaan atonomi daerah adalah peraturan daerah yang pada penerapannya dilapangan tidak ada hambatan pada pelaksanaannya.
  13. Peraturan  Daerah   yang   menunjang    pelaksanaan  otonomi   daerah adalah peraturan daerah yang pada penerapannya dimasyarakat tidak  ada kendala, 
  14. Peraturan Daerah  yang berorientasi pada kepentingan masyarakat adalah Peraturan daerah yang materi muatannya  memperhatikan aspirasi dan kepentingan masyarakat.

Sabtu, 30 November 2013

PIAGAM MADINAH DAN RELEVANSINYA BAGI POLITIK HUKUM KETATANEGARAAN DI INDONESIA



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
                Pada dasarnya, alur perjalanan Sejarah Islam yang panjang itu bermula dari turunnya wahyu di Gua Hira'. Sejak itulah nilai-nilai kemanusiaan yang di bawah bimbingan Wahyu Ilahi menerobos arogansi kultur jahiliyah, merombak dan membenahi adat istiadat budaya jahiliyah yang tidak sesuai dengan fitrah manusia. Dengan seruan Agama Tauhid (monotheisme) yang gaungnya menggetarkan seluruh jazirah Arabia, maka fitrah dan nilai kemanusiaan didudukkan ke dalam hakekat yang sebenarnya. Seruan agama tauhid inilah yang merubah wajah Piagam Madinah dan ke-autentik-annya masyarakat jahiliyah menuju ke tatanan masyarakat yang harmonis, dinamis, di bawah bimbingan wahyu. Kemudian, hijrah Rasulullah ke Madinah adalah suatu momentum bagi kecemerlangan Islam di saat-saat selanjutnya. Dalam waktu yang relatif singkat Rasulullah telah berhasil membina jalinan persaudaraan antara kaum Muhajirin sebagai imigran-imigran Makkah dengan kaum Anshar, penduduk asli Madinah. Beliau mendirikan Masjid, membuat perjanjian kerjasama dengan non-muslim, serta meletakkan dasar-dasar politik, sosial dan ekonomi bagi masyarakat baru tersebut; suatu fenomena yang menakjubkan ahli-ahli sejarah dahulu dan masa kini. Adalah suatu kenyataan bahwa misi kerasulan Nabi Muhammad yang semakin nampak nyata menggoyahkan kedudukan Makkah dan menjadikan orang-orang Quraisy Makkah semakin bergetar. Masyarakat muslim Madinah yang berhasil dibentuk Rasulullah oleh sebagian intelektual muslim masa kini disebut dengan negara kota (city state). Lalu, dengan dukungan kabilah-kabilah dari seluruh penjuru jazirah Arab yang masuk Islam, maka muncullah kemudian sosok negara bangsa (nation state). Walaupun sejak awal Islam tidak memberikan ketentuan yang pasti tentang bagaimana bentuk dan konsep negara yang dikehendaki, namun suatu kenyataan bahwa Islam adalah agama yang mengandung prinsip-prinsip dasar kehidupan termasuk politik dan negara.
Dalam masyarakat muslim yang terbentuk itulah Rasulullah menjadi pemimpin dalam arti yang luas, yaitu sebagai pemimpin agama dan juga sebagai pemimpin masyarakat. Konsepsi Rasulullah yang diilhami al Qur'an ini kemudian menelorkan Piagam Madinah yang mencakup 47 pasal, yang antara lain berisikan hak-hak asasi manusia, hak-hak dan kewajiban bernegara, hak perlindungan hukum, sampai toleransi beragama yang oleh ahli-ahli politik moderen disebut manifesto politik pertama dalam Islam.
B. Rumusan Masalah
            Sesuai dengan Latar Belakang di atas maka yang menjadi rumusan makalah ini sebagai berikut:
a.       Bagaimana Sejarah Lahirnya Piagam Madinah dan Materi Muatan Piagam Madinah?
b.      Bagaimana Relevansinya Bagi Politik Hukum Ketatanegaraan di Indonesia?
A.    Tujuan
Adapun tujuan Penulisan makalah ini yaitu untuk Mengetahui Sejarah Lahirnya Piagam Madinah dan Materi Muatan Piagam Madinah dan Relevansinya Bagi Politik Hukum Ketatanegaraan di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Sejarah Lahirnya Piagam Madinah dan Materi Muatan Piagam Madinah
a.      Sejarah Lahirnya Piagam Madinah
Paigam Madinah merupakan konstitusi tertulis pertama dalam sejarah umat manusia yang dapat dibandingkan dengan pengertian konstitusi dalam arti modern. Sejarah menunjukkan bahwa Nabi Muhammad SAW dan umat Islam selama kurang lebih 13 tahun di Mekah terhitung sejak pengangkatan Muhammad SAW sebagai Rosul, sebelum mempunyai kekuatan dan kekuasaan politik yang menguasai suatu wilayah. Umat Islam menjadi komunitas yang bebas dan merdeka setelah pada tahun 622 M hijrah ke Madinah, kota yang sebelumnya disebut Yarsib. Tak lama sesudah hijrah ke Madinah, Muhammad SAW membuat suatu piagam politik untuk mengatur kehidupan bersama di Madinah yang dihuni beberapa macam golongan yakni golongan muslim pendantang, golongan muslim Madinah dan golongan Yahudi. Piagam ini dibuat atas persejuan bersama antara Nabi Muhammad SAW dengan wakil-wakil penduduk kota Madinah yang secara formal ditulis dalam suatu naskah yang disebut Shahifah.
Para ahli menyebut Piagam ini dengan istilah yang bermacam-macam. Montgomery Watt menyebutnya The Constitusion Of Medina; Zainal Abidin Ahmad memakai perkataan Piagam sebagai terjemahan dari kata al-shahifah. Sebagai dukumen resmi yang berisi pokok-pokok pedoman kenegaraan menyebabkan Piagam itu tepat juga disebut sebagai Konstitusi Madinah (Asshiddiqie, 2006: 16).
b.      Materi Muatan Piagam Madinah
Nabi Muhammad SAW, dalam membuat piagam tersebut, tidak hanya memperhatikan kepentingan atau kemaslahatan masyarakat muslim saja, melainkan juga memperhatikan kemaslahatan masyarakat non muslim. Hal ini dilakukan Nabi dalam rangka memperkokoh masyarakat dan Negara yang baru saya dibentuk. Nabi adalah sosok yang bisa diterima oleh berbagai golongan, dan sekaligus mampu mempersatukan persepsi dari berbagai keragaman yang ada, tanpa meninggalkan atau menanggalkan karakter masing-masing suku, agama, ras, etnis tersebut.
Piagam Madinah menjadi landasan bagi tujuan utama untuk mempersatukan penduduk Madinah secara integral yang terdiri dari unsur-unsur heterogen. Beliau tidak hendak menciptakan persatuan orang-orang muslim saja secara eksklusif, terpisah dari komunitas-komunitas lain dari wilayah itu. Oleh karenanya ketetapan-ketetapan piagam menjamin hak semua kelompok sosial dengan memperoleh persamaan dalam masalah-masalah umum, sosial, politik sehingga beliau diterima oleh semua pihak, termasuk kaum Yahudi (Pulungan, 1996: 107).  Hal ini merupakan bukti nyata kemampuan Nabi Muhammad melakukan negosiasi dan konsolidasi dengan berbagai golongan masyarakat Madinah, sejak awal pembentukan Negara tersebut.
Dengan penetapan (arrangement) Piagam Madinah itu, Nabi Muhammad berhasil membangun masyarakat yang bersatu dari unsur-unsur heterogen, Multikultur; yaitu Muslim, Yahudi, Nasrani, penganut paganism, dan Kabilah/suku yang ada disamping menciptakan persaudaraan nyata di kalangan Muhajirin dan Ansar. Di dalam masyarakat yang bersatu itu, Muhammad diakui memiliki kekuasaan tertinggi untuk menyelesaikan berbagai masalah (konflik horizontal) yang timbul di kalangan mereka (Pulungan, 1996: 108).
Piagam Madinah yang berisi sepuluh (10) bab tersebut secara lebih rinci mencakup: Muqadimah; Bab I: Pembentukan Ummat: berisi satu pasal, Bab II: Hak Asasi Manusia: berisi 9 pasal, Bab III: Persatuan Seagama: berisi 5 pasal, Bab IV: Persatuan Segenap Warganegara: berisi 9 pasal, Bab V: Golongan Minoritas: berisi 12 pasal, Bab VI: Tugas Warganegara: berisi 3 pasal, Bab VII: Melindungi Negara: berisi 3 pasal, Bab VIII: Pemimpin Negara: berisi 3 pasal, Bab IX: Politik Perdamaian: berisi 2 pasal, dan Bab X: Penutup: berisi satu pasal.
Pokok atau prinsip-prinsip yang terdapat dalam konstitusi Madinah, para ahli yang berbeda-beda dalam membuat rumusannya. Muhammad Kholid merumuskan 8 prinsip (Pulungan, 1996: 118). 1) Kaum Muhajirin dan Anshar serta siapa saja yang ikut berjuang bersama mereka adalah umat yang satu, 2) orang-orang mukmin harus bersatu mengahadapi orang bersalah dan mendurhaka walaupun itu anaknya sendiri. 3) jaminan Tuhan hanya satu dan sama untuk semua melindungi orang-orang kecil. 4) orang-orang mukmin harus saling membela diantara mereka dan membela golongan lain, dan siapa saja kaum Yahudi yang mengikuti mereka berhak memperoleh pembelaan dan bantuan seperti yang diperoleh orang muslim. 5) perdamaian orang muslim itu adalah satu.6) bila terjadi persengketaan di antara rakyat yang beriman, maka penyelesaiannya dikembalikan kepada hukum Tuhan dan kepada Muhammad sebagai kepala Negara. 7) kaum Yahudi adalah umat yang satu bersama kaum muslimin. Mereka bebas memeluk agama mereka. 8) sesungguhnya tetangga adalah seperti diri kita sendiri, tidak boleh dilanggar haknya dan tidak boleh berbuat kesalahan kepadanyan.
            Zainal Abidin Ahmad dalam bukunya “Membentuk Negara Islam” merumuskan Piagam Madinah ke dalam 10 pokok dasar, yaitu  1) Menyatakan berdirinya Negara baru (Negara Islam) dengan warga (umat yang satu) yang terdiri dari orang-orang Muhajirin, Ansar, penduduk asli lainnya dan Yahudi. 2) mengakui hak-hak asasi mereka dan menjamin keamanan dan perlindungan dari segala pembunuhan dan kejahatan. 3) menghidupkan semangat kesetiaan dan persatuan di kalangan kaum agama (Islam). 4) mengatur masyarakat yang bersikap toleran di setiap warga Negara yang beragam agama dan suku bangsa-nya. 5) mempertahankan hak-hak kaum minoritas, yaitu kaum Yahudi yang menjadi warga Negara. 6) menetapkan tugas setiap warga Negara terhadap negaranya, baik mengenai ketaatan dan kesetiaan maupunnya maupun mengenai soal keuangan. 7) mengumumkan daerah Negara dengan kota Madinah menjadi ibu kotanya. 8) menetapkan Nabi Muhammad sebagai kepala Negara yang memegang pimpinan dan menyelesaikan segala soal. 9) menyatakan politik perdamaian terhadap segala orang dan segala Negara. 10) menetapkan sanksi-sanksi bagi orang-orang yang tidak setia kepada Piagam Madinah ini serta akhirnya memohonkan taufik dan perlindungan dari tuhan terhadap Negara baru itu (Abidin, 1956: 78-81).
            Kalau dicermati, maka Piagam/Konstitusi Madinah tersebut merupakan contoh teladan dalam sejarah kemanusiaan untuk membangun masyarakat yang beragam. Selebihnya hal ini tidak hanya dalam gagasan sebagaimana tertuang dalam Piagam Madinah, tetapi juga dalam praktek Nabi dalam memimpin masyarakat Madinah. Bahkan ide-ide dalam ketetapan-ketetapannya mempunyai relevansi kuat dengan perkembangan dan keinginan masyarakat internasional dewasa ini, dan sejalan dengan pandangan hidup modern berbagai negara di dunia yang berpaham humanis, pluralisme dan multikulturalisme.
Melalui Piagam Madinah ini juga menggambarkan ketatanegaaraan modern, dimana muatan materi Piagam Madinah sebagaimana layaknya konstitusi modern. Untuk pertama kalinya dalam konstitusi itu disebutkan dasar-dasar masyarakat partisipatif dan egaliter.
Menurut N. Shiddiqi, lewat Piagam Madinah Nabi telah membina watak masyarakat dengan ciri-ciri sebagai berikut:
a. Berpegang pada prinsip kemerdekaan berpendapat,
b. Menyerahkan urusan kemasyarakatan kepada umat sendiri pada hal-hal yang berkaitan dengan perincian pelaksanaan kehidupan masyarakat yang tidak termasuk masalah yang bersifat ‘ubudiyah’.
Dengan demikian Piagam Madinah telah mendahului konstitusi-konstitusi lainnya dalam meletakkan dasar pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia khususnya hak-hak di bidang politk yang merupakan prinsip utama dalam sistem ketatanegaraan modern. Tentang bagaimana konsepsi Islam mengenai hak-hak politik rakyat, Abdul Karim Zaidan, menjelaskan bahwa yang diamaksud dengan hak politik adalah hak-hak yang dinikmati oleh setiap rakyat sebagai anggota dalam suatu lembaga politik seperti hak memilih, hak dipilih, hak mencalonkan diri untuk menduduki jabatan-jabatan politik dan memegang jabatan-jabatan umum dalam negara atau hak-hak menjadikan seseorang ikut serta dalam mengatur kepentingan negara dan pemerintahan (Huda, 2001: 58).
B.   Relevansinya Bagi Politik Hukum Ketatanegaraan di Indonesia
Negara Indonesia dapat dikatakan sebagai muslim karena mayoritas penduduknya beragama Islam. Negara ini berdasarkan pancasila dan memiliki UUD 1945. ia memiliki kemiripan atau kesamaan dengan Konstitusi/Piagam Madinah, boleh dikatakan prinsip-prinsip yang sangat penting dalam Konstitusi Madinah telah tertampung dalam UUD 1945 dan batang tubuhnya. Di antaranya prinsip-prinsip itu ialah ketuhanan Yang Maha Esa yang apabila dilihat dari sudut Islam identik dengan ajaran tauhid kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kelima prinsip itu terkenal dengan nama pancasila sebagai filsafat bangsa Indonesia dasar negara Republik Indonesia melalui sila ketuhanan Yang Maha Esa itu secara implisip bangsa Indonesia mengakui adanya prinsip kekuasaan sebagai amanat dari Allah yang Maha Kuasa. Kesimpulan yang sama dapat pula dipahami dari rumusan alinea ketiga Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi “Atas berkat rahmat Allah SWT, dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.”
Pada pembukaan UUD 1945 dinyatakan bahwa berkat dan rahmat Allah yang Maha kuasa telah mengantarkan bangsa Indonesia pada suatu kehidupan bernegara yang bebas dan merdeka. Dengan demikian kemerdekaan yang dimiliki bangsa Indonesia tiada lain adalah berkat dan rahmat Allah yang telah dilimpahkannya kepada seluruh bangsa Indonesia. Oleh karena itu menjadi kewajiban seluruh bangsa Indonesia untuk memelihara kemerdekaan yang telah dimilikinya dan harus selalu terkait sebagai amanat Allah SWT. Implikasi lebih lanjut, dari kewajiban itu ialah bahwa praktek penyelenggaraan dan penerapan kekuasaan dan kewenangan merupakan amanah atau titipan dari Allah SWT yang semuanya harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah pada hari kiamat.
Ada kemiripan yang bersifat prinsip pada UUD 1945 dan Konstitusi Madinah. Secara linguistik dalam kedua maksud konstitusi tersebut, terhadap kata-kata yang jelas mengandung arti religius, pada Konstitusi Madinah kata Allah disebut 14 kali kata Muhammad 5 kali, kata Nabi 1 kali, kata Rasul 1 kali, kata mukmin, mukminun, muslimin dan muslimun berjumlah 35 kali kata musyrik disebut 1 kali. Sedangkan pada naskah UUD 1945 terdapat kata-kata dan kalimat yang secara jelas termasuk kata dan kalimat keagamaan. Pada pembukaan dan batang tubuh : kata Allah disebut 2 kali, pada kedua pembukaan tertulis atas berkat rahmat Allah yang Maha Kuasa.” Sila pertama pancasila berbunyi ketuhanan yang Maha Esa. Bab 11 berjudul “agama”, ayat satu Bab ini berbunyi: “negara berdasar atas ketuhanan Yang Mahaesa. Kata-kata dan kalimat tersebut menunjukan ciri keagamaan dari naskah UUD 1945 sebagaimana halnya Konstitusi Madinah. Perbedaannnya, kata dan kalimat seperti itu dalam Konstitusi Madinah lebih banyak meskipun kata Islam tidak tercantum dalam naskah UUD 1945 (sama halnya dalam Konstitusi Madinah). Namun sifat keIslaman tampak dengan jelas kata-kata dan kalimat-kalimat keagamaan yang disebut di dalamnya menunjukkan kebenaran pernyataan ini. Misalnya kalimat “ketuhanan Yang Mahaesa” dikaitkan dengan “atas berkat rahmat Allah Yang Mahakuasa, dapat dipahami sebagai ungkapan-ungkapan yang mengandung prinsip monotisme, yang dalam Islam, secara lebih tegas disebut tauhid. Ketauhidan ini menjadi dasar bagi negara dan hal ini ditegaskan pada ayat satu pasal 29 yang berbunyi “negara berdasarkan atas ketuhanan Yang Mahaesa” kalimat ini berada pada Bab agama. Di negara Indonesia agama tidak bisa dipisahkan dari negara. Hal terakhir ini sangat berbeda dari negara Eropa dan Amerika yang sekuler,  meskipun rakyat dan pimpinan mereka beragama.
Hubungannya dengan negara Republik Indonesia ada hal lain yang perlu mendapat perhatian ialah pendidikan, agama yang diwajibkan bagi semua sekolah di Indonesia. Eksistensinya beberapa institusi negara seperti Departemen Agama, Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama. Kemudian adanya Undang-undang nomor 7 tahun 1989 semuanya itu memperkuat kesimpulan bahwa NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) bukan negara sekuler, Indonesia sebagaimana telah dijelaskan adalah suatu negara hukum yang memiliki filsafat dan dasar negara pancasila yang sangat berbeda dengan rechsstaats atau rule of law yang sekuler


BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
            Piagam Madinah memuat ide yang mempunyai relevansi kuat dengan perkembangan dan keinginan masyarakat dunia dewasa ini, bahkan telah menjadi pandangan hidup modern di berbagai negara. Ide dalam Konstitusi Madinah juga diserap oleh para tokoh pendiri bangsa Indonesia, yang dapat dilihat dalam Piagam Jakarta yang kemudian melahirkan Pancasila yang menjadi dasar pembentukan politik hukum ketatanegaraan di Indonesia .
            Muatan Piagam Madinah dan Pancasila memiliki  kesamaan sebagai kalimah SAW atau perjanjian luhur yang membangun, mencintai dan mempertahankan Indonesia. Demikian pula dengan Piagam Madinah, merupakan perjanjian luhur untuk mempertahankan negara Madinah. Keduanya sama-sama memuat asas-asas dan prinsip-prinsip: persaudaraan, persamaan, toleransi, musyawarah, tolong menolong, dan keadilan.
B. Saran
            Secara umum dapat dikatakan implementasi prinsip-prinsip negara hukum di negara-negara muslim sekarang masih berada pada tahap awal namun berkembang semakin baik menuju sikap yang lebih terbuka dan kesediaan para penyelenggara negara di kawasan negara-negara muslim untuk menerima kritik membangun dari siapapun perlu ditingkatkan.
            Di samping itu diharapkan pula adanya jaminan kebebasan untuk mengemukakan pendapat bagi negara-negara muslim. Hal itu dimaksudkan untuk memperoleh perhatian yang lebih banyak daripada pihak penyelenggara negara yang memiliki kebebasan. Kebebasan yang dimaksud di sini adalah kebebasan yang bertanggung jawab bukan kebebasan yang diterapkan di negara barat yang liberal dan sekuler.
  


DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Zainal. 1956. Membentuk Negara Islam. Jakarta: Bulan Bintang

________.1975. Piagam Nabi Muhammad SAW. Konstitusi Negara Yang Pertama di Dunia Jakarta: Bulan Bintang

Anwar, M. Syafi’, Politik Agama dan Artikulasi Politik Islam dalam Orde Baru, Media Indonesia, Jum’at 19 Pebruari, 1993.

Darmodiharjo, Dardji, dkk. 1981. Santiaji Pancasila. Surabaya, Usaha Nasional

Karim, M. Abdul. 2004. Menggali Muatan Pancasila dalam Perspektif Islam. Jogjakarta: Surya Raya

Karvallo, Bosco dan Dasrizal, (ed). 1983. Aspirasi Umat Islam Indonesia. Jakarta; Leppenas

Khan, Muhammad Zafrulh. 1980. Muhammad Seal of the Propheat, London

Maryam, Siti, dkk. 2002. Sejarah Peradaban Islam dari Masa Klasik hingga Modern. Yogyakarta: Jurusan SPI Fak. Adab IAIN Sunan Kalijaga bekerjasama dengan LESFI.

Pulungan, Suyuti. 1996. Prinsip-prinsip Pemerintah dalam Piagam Madinah Ditinjau dari Pandangan Al Quran Jakarta: Rajawali Pers

Subandi Al-Marsudi. 2003. Pancasila dan UUD’45 dalam Paradigma Reformasi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

Tobroni dan Syamsul Arifin. 1994. Islam Pluralisme Budaya dan Politik. Jogjakarta: Spires

Yatim, Badri. 1998. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Rajawali pers