Sabtu, 30 November 2013

PIAGAM MADINAH DAN RELEVANSINYA BAGI POLITIK HUKUM KETATANEGARAAN DI INDONESIA



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
                Pada dasarnya, alur perjalanan Sejarah Islam yang panjang itu bermula dari turunnya wahyu di Gua Hira'. Sejak itulah nilai-nilai kemanusiaan yang di bawah bimbingan Wahyu Ilahi menerobos arogansi kultur jahiliyah, merombak dan membenahi adat istiadat budaya jahiliyah yang tidak sesuai dengan fitrah manusia. Dengan seruan Agama Tauhid (monotheisme) yang gaungnya menggetarkan seluruh jazirah Arabia, maka fitrah dan nilai kemanusiaan didudukkan ke dalam hakekat yang sebenarnya. Seruan agama tauhid inilah yang merubah wajah Piagam Madinah dan ke-autentik-annya masyarakat jahiliyah menuju ke tatanan masyarakat yang harmonis, dinamis, di bawah bimbingan wahyu. Kemudian, hijrah Rasulullah ke Madinah adalah suatu momentum bagi kecemerlangan Islam di saat-saat selanjutnya. Dalam waktu yang relatif singkat Rasulullah telah berhasil membina jalinan persaudaraan antara kaum Muhajirin sebagai imigran-imigran Makkah dengan kaum Anshar, penduduk asli Madinah. Beliau mendirikan Masjid, membuat perjanjian kerjasama dengan non-muslim, serta meletakkan dasar-dasar politik, sosial dan ekonomi bagi masyarakat baru tersebut; suatu fenomena yang menakjubkan ahli-ahli sejarah dahulu dan masa kini. Adalah suatu kenyataan bahwa misi kerasulan Nabi Muhammad yang semakin nampak nyata menggoyahkan kedudukan Makkah dan menjadikan orang-orang Quraisy Makkah semakin bergetar. Masyarakat muslim Madinah yang berhasil dibentuk Rasulullah oleh sebagian intelektual muslim masa kini disebut dengan negara kota (city state). Lalu, dengan dukungan kabilah-kabilah dari seluruh penjuru jazirah Arab yang masuk Islam, maka muncullah kemudian sosok negara bangsa (nation state). Walaupun sejak awal Islam tidak memberikan ketentuan yang pasti tentang bagaimana bentuk dan konsep negara yang dikehendaki, namun suatu kenyataan bahwa Islam adalah agama yang mengandung prinsip-prinsip dasar kehidupan termasuk politik dan negara.
Dalam masyarakat muslim yang terbentuk itulah Rasulullah menjadi pemimpin dalam arti yang luas, yaitu sebagai pemimpin agama dan juga sebagai pemimpin masyarakat. Konsepsi Rasulullah yang diilhami al Qur'an ini kemudian menelorkan Piagam Madinah yang mencakup 47 pasal, yang antara lain berisikan hak-hak asasi manusia, hak-hak dan kewajiban bernegara, hak perlindungan hukum, sampai toleransi beragama yang oleh ahli-ahli politik moderen disebut manifesto politik pertama dalam Islam.
B. Rumusan Masalah
            Sesuai dengan Latar Belakang di atas maka yang menjadi rumusan makalah ini sebagai berikut:
a.       Bagaimana Sejarah Lahirnya Piagam Madinah dan Materi Muatan Piagam Madinah?
b.      Bagaimana Relevansinya Bagi Politik Hukum Ketatanegaraan di Indonesia?
A.    Tujuan
Adapun tujuan Penulisan makalah ini yaitu untuk Mengetahui Sejarah Lahirnya Piagam Madinah dan Materi Muatan Piagam Madinah dan Relevansinya Bagi Politik Hukum Ketatanegaraan di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Sejarah Lahirnya Piagam Madinah dan Materi Muatan Piagam Madinah
a.      Sejarah Lahirnya Piagam Madinah
Paigam Madinah merupakan konstitusi tertulis pertama dalam sejarah umat manusia yang dapat dibandingkan dengan pengertian konstitusi dalam arti modern. Sejarah menunjukkan bahwa Nabi Muhammad SAW dan umat Islam selama kurang lebih 13 tahun di Mekah terhitung sejak pengangkatan Muhammad SAW sebagai Rosul, sebelum mempunyai kekuatan dan kekuasaan politik yang menguasai suatu wilayah. Umat Islam menjadi komunitas yang bebas dan merdeka setelah pada tahun 622 M hijrah ke Madinah, kota yang sebelumnya disebut Yarsib. Tak lama sesudah hijrah ke Madinah, Muhammad SAW membuat suatu piagam politik untuk mengatur kehidupan bersama di Madinah yang dihuni beberapa macam golongan yakni golongan muslim pendantang, golongan muslim Madinah dan golongan Yahudi. Piagam ini dibuat atas persejuan bersama antara Nabi Muhammad SAW dengan wakil-wakil penduduk kota Madinah yang secara formal ditulis dalam suatu naskah yang disebut Shahifah.
Para ahli menyebut Piagam ini dengan istilah yang bermacam-macam. Montgomery Watt menyebutnya The Constitusion Of Medina; Zainal Abidin Ahmad memakai perkataan Piagam sebagai terjemahan dari kata al-shahifah. Sebagai dukumen resmi yang berisi pokok-pokok pedoman kenegaraan menyebabkan Piagam itu tepat juga disebut sebagai Konstitusi Madinah (Asshiddiqie, 2006: 16).
b.      Materi Muatan Piagam Madinah
Nabi Muhammad SAW, dalam membuat piagam tersebut, tidak hanya memperhatikan kepentingan atau kemaslahatan masyarakat muslim saja, melainkan juga memperhatikan kemaslahatan masyarakat non muslim. Hal ini dilakukan Nabi dalam rangka memperkokoh masyarakat dan Negara yang baru saya dibentuk. Nabi adalah sosok yang bisa diterima oleh berbagai golongan, dan sekaligus mampu mempersatukan persepsi dari berbagai keragaman yang ada, tanpa meninggalkan atau menanggalkan karakter masing-masing suku, agama, ras, etnis tersebut.
Piagam Madinah menjadi landasan bagi tujuan utama untuk mempersatukan penduduk Madinah secara integral yang terdiri dari unsur-unsur heterogen. Beliau tidak hendak menciptakan persatuan orang-orang muslim saja secara eksklusif, terpisah dari komunitas-komunitas lain dari wilayah itu. Oleh karenanya ketetapan-ketetapan piagam menjamin hak semua kelompok sosial dengan memperoleh persamaan dalam masalah-masalah umum, sosial, politik sehingga beliau diterima oleh semua pihak, termasuk kaum Yahudi (Pulungan, 1996: 107).  Hal ini merupakan bukti nyata kemampuan Nabi Muhammad melakukan negosiasi dan konsolidasi dengan berbagai golongan masyarakat Madinah, sejak awal pembentukan Negara tersebut.
Dengan penetapan (arrangement) Piagam Madinah itu, Nabi Muhammad berhasil membangun masyarakat yang bersatu dari unsur-unsur heterogen, Multikultur; yaitu Muslim, Yahudi, Nasrani, penganut paganism, dan Kabilah/suku yang ada disamping menciptakan persaudaraan nyata di kalangan Muhajirin dan Ansar. Di dalam masyarakat yang bersatu itu, Muhammad diakui memiliki kekuasaan tertinggi untuk menyelesaikan berbagai masalah (konflik horizontal) yang timbul di kalangan mereka (Pulungan, 1996: 108).
Piagam Madinah yang berisi sepuluh (10) bab tersebut secara lebih rinci mencakup: Muqadimah; Bab I: Pembentukan Ummat: berisi satu pasal, Bab II: Hak Asasi Manusia: berisi 9 pasal, Bab III: Persatuan Seagama: berisi 5 pasal, Bab IV: Persatuan Segenap Warganegara: berisi 9 pasal, Bab V: Golongan Minoritas: berisi 12 pasal, Bab VI: Tugas Warganegara: berisi 3 pasal, Bab VII: Melindungi Negara: berisi 3 pasal, Bab VIII: Pemimpin Negara: berisi 3 pasal, Bab IX: Politik Perdamaian: berisi 2 pasal, dan Bab X: Penutup: berisi satu pasal.
Pokok atau prinsip-prinsip yang terdapat dalam konstitusi Madinah, para ahli yang berbeda-beda dalam membuat rumusannya. Muhammad Kholid merumuskan 8 prinsip (Pulungan, 1996: 118). 1) Kaum Muhajirin dan Anshar serta siapa saja yang ikut berjuang bersama mereka adalah umat yang satu, 2) orang-orang mukmin harus bersatu mengahadapi orang bersalah dan mendurhaka walaupun itu anaknya sendiri. 3) jaminan Tuhan hanya satu dan sama untuk semua melindungi orang-orang kecil. 4) orang-orang mukmin harus saling membela diantara mereka dan membela golongan lain, dan siapa saja kaum Yahudi yang mengikuti mereka berhak memperoleh pembelaan dan bantuan seperti yang diperoleh orang muslim. 5) perdamaian orang muslim itu adalah satu.6) bila terjadi persengketaan di antara rakyat yang beriman, maka penyelesaiannya dikembalikan kepada hukum Tuhan dan kepada Muhammad sebagai kepala Negara. 7) kaum Yahudi adalah umat yang satu bersama kaum muslimin. Mereka bebas memeluk agama mereka. 8) sesungguhnya tetangga adalah seperti diri kita sendiri, tidak boleh dilanggar haknya dan tidak boleh berbuat kesalahan kepadanyan.
            Zainal Abidin Ahmad dalam bukunya “Membentuk Negara Islam” merumuskan Piagam Madinah ke dalam 10 pokok dasar, yaitu  1) Menyatakan berdirinya Negara baru (Negara Islam) dengan warga (umat yang satu) yang terdiri dari orang-orang Muhajirin, Ansar, penduduk asli lainnya dan Yahudi. 2) mengakui hak-hak asasi mereka dan menjamin keamanan dan perlindungan dari segala pembunuhan dan kejahatan. 3) menghidupkan semangat kesetiaan dan persatuan di kalangan kaum agama (Islam). 4) mengatur masyarakat yang bersikap toleran di setiap warga Negara yang beragam agama dan suku bangsa-nya. 5) mempertahankan hak-hak kaum minoritas, yaitu kaum Yahudi yang menjadi warga Negara. 6) menetapkan tugas setiap warga Negara terhadap negaranya, baik mengenai ketaatan dan kesetiaan maupunnya maupun mengenai soal keuangan. 7) mengumumkan daerah Negara dengan kota Madinah menjadi ibu kotanya. 8) menetapkan Nabi Muhammad sebagai kepala Negara yang memegang pimpinan dan menyelesaikan segala soal. 9) menyatakan politik perdamaian terhadap segala orang dan segala Negara. 10) menetapkan sanksi-sanksi bagi orang-orang yang tidak setia kepada Piagam Madinah ini serta akhirnya memohonkan taufik dan perlindungan dari tuhan terhadap Negara baru itu (Abidin, 1956: 78-81).
            Kalau dicermati, maka Piagam/Konstitusi Madinah tersebut merupakan contoh teladan dalam sejarah kemanusiaan untuk membangun masyarakat yang beragam. Selebihnya hal ini tidak hanya dalam gagasan sebagaimana tertuang dalam Piagam Madinah, tetapi juga dalam praktek Nabi dalam memimpin masyarakat Madinah. Bahkan ide-ide dalam ketetapan-ketetapannya mempunyai relevansi kuat dengan perkembangan dan keinginan masyarakat internasional dewasa ini, dan sejalan dengan pandangan hidup modern berbagai negara di dunia yang berpaham humanis, pluralisme dan multikulturalisme.
Melalui Piagam Madinah ini juga menggambarkan ketatanegaaraan modern, dimana muatan materi Piagam Madinah sebagaimana layaknya konstitusi modern. Untuk pertama kalinya dalam konstitusi itu disebutkan dasar-dasar masyarakat partisipatif dan egaliter.
Menurut N. Shiddiqi, lewat Piagam Madinah Nabi telah membina watak masyarakat dengan ciri-ciri sebagai berikut:
a. Berpegang pada prinsip kemerdekaan berpendapat,
b. Menyerahkan urusan kemasyarakatan kepada umat sendiri pada hal-hal yang berkaitan dengan perincian pelaksanaan kehidupan masyarakat yang tidak termasuk masalah yang bersifat ‘ubudiyah’.
Dengan demikian Piagam Madinah telah mendahului konstitusi-konstitusi lainnya dalam meletakkan dasar pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia khususnya hak-hak di bidang politk yang merupakan prinsip utama dalam sistem ketatanegaraan modern. Tentang bagaimana konsepsi Islam mengenai hak-hak politik rakyat, Abdul Karim Zaidan, menjelaskan bahwa yang diamaksud dengan hak politik adalah hak-hak yang dinikmati oleh setiap rakyat sebagai anggota dalam suatu lembaga politik seperti hak memilih, hak dipilih, hak mencalonkan diri untuk menduduki jabatan-jabatan politik dan memegang jabatan-jabatan umum dalam negara atau hak-hak menjadikan seseorang ikut serta dalam mengatur kepentingan negara dan pemerintahan (Huda, 2001: 58).
B.   Relevansinya Bagi Politik Hukum Ketatanegaraan di Indonesia
Negara Indonesia dapat dikatakan sebagai muslim karena mayoritas penduduknya beragama Islam. Negara ini berdasarkan pancasila dan memiliki UUD 1945. ia memiliki kemiripan atau kesamaan dengan Konstitusi/Piagam Madinah, boleh dikatakan prinsip-prinsip yang sangat penting dalam Konstitusi Madinah telah tertampung dalam UUD 1945 dan batang tubuhnya. Di antaranya prinsip-prinsip itu ialah ketuhanan Yang Maha Esa yang apabila dilihat dari sudut Islam identik dengan ajaran tauhid kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kelima prinsip itu terkenal dengan nama pancasila sebagai filsafat bangsa Indonesia dasar negara Republik Indonesia melalui sila ketuhanan Yang Maha Esa itu secara implisip bangsa Indonesia mengakui adanya prinsip kekuasaan sebagai amanat dari Allah yang Maha Kuasa. Kesimpulan yang sama dapat pula dipahami dari rumusan alinea ketiga Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi “Atas berkat rahmat Allah SWT, dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.”
Pada pembukaan UUD 1945 dinyatakan bahwa berkat dan rahmat Allah yang Maha kuasa telah mengantarkan bangsa Indonesia pada suatu kehidupan bernegara yang bebas dan merdeka. Dengan demikian kemerdekaan yang dimiliki bangsa Indonesia tiada lain adalah berkat dan rahmat Allah yang telah dilimpahkannya kepada seluruh bangsa Indonesia. Oleh karena itu menjadi kewajiban seluruh bangsa Indonesia untuk memelihara kemerdekaan yang telah dimilikinya dan harus selalu terkait sebagai amanat Allah SWT. Implikasi lebih lanjut, dari kewajiban itu ialah bahwa praktek penyelenggaraan dan penerapan kekuasaan dan kewenangan merupakan amanah atau titipan dari Allah SWT yang semuanya harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah pada hari kiamat.
Ada kemiripan yang bersifat prinsip pada UUD 1945 dan Konstitusi Madinah. Secara linguistik dalam kedua maksud konstitusi tersebut, terhadap kata-kata yang jelas mengandung arti religius, pada Konstitusi Madinah kata Allah disebut 14 kali kata Muhammad 5 kali, kata Nabi 1 kali, kata Rasul 1 kali, kata mukmin, mukminun, muslimin dan muslimun berjumlah 35 kali kata musyrik disebut 1 kali. Sedangkan pada naskah UUD 1945 terdapat kata-kata dan kalimat yang secara jelas termasuk kata dan kalimat keagamaan. Pada pembukaan dan batang tubuh : kata Allah disebut 2 kali, pada kedua pembukaan tertulis atas berkat rahmat Allah yang Maha Kuasa.” Sila pertama pancasila berbunyi ketuhanan yang Maha Esa. Bab 11 berjudul “agama”, ayat satu Bab ini berbunyi: “negara berdasar atas ketuhanan Yang Mahaesa. Kata-kata dan kalimat tersebut menunjukan ciri keagamaan dari naskah UUD 1945 sebagaimana halnya Konstitusi Madinah. Perbedaannnya, kata dan kalimat seperti itu dalam Konstitusi Madinah lebih banyak meskipun kata Islam tidak tercantum dalam naskah UUD 1945 (sama halnya dalam Konstitusi Madinah). Namun sifat keIslaman tampak dengan jelas kata-kata dan kalimat-kalimat keagamaan yang disebut di dalamnya menunjukkan kebenaran pernyataan ini. Misalnya kalimat “ketuhanan Yang Mahaesa” dikaitkan dengan “atas berkat rahmat Allah Yang Mahakuasa, dapat dipahami sebagai ungkapan-ungkapan yang mengandung prinsip monotisme, yang dalam Islam, secara lebih tegas disebut tauhid. Ketauhidan ini menjadi dasar bagi negara dan hal ini ditegaskan pada ayat satu pasal 29 yang berbunyi “negara berdasarkan atas ketuhanan Yang Mahaesa” kalimat ini berada pada Bab agama. Di negara Indonesia agama tidak bisa dipisahkan dari negara. Hal terakhir ini sangat berbeda dari negara Eropa dan Amerika yang sekuler,  meskipun rakyat dan pimpinan mereka beragama.
Hubungannya dengan negara Republik Indonesia ada hal lain yang perlu mendapat perhatian ialah pendidikan, agama yang diwajibkan bagi semua sekolah di Indonesia. Eksistensinya beberapa institusi negara seperti Departemen Agama, Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama. Kemudian adanya Undang-undang nomor 7 tahun 1989 semuanya itu memperkuat kesimpulan bahwa NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) bukan negara sekuler, Indonesia sebagaimana telah dijelaskan adalah suatu negara hukum yang memiliki filsafat dan dasar negara pancasila yang sangat berbeda dengan rechsstaats atau rule of law yang sekuler


BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
            Piagam Madinah memuat ide yang mempunyai relevansi kuat dengan perkembangan dan keinginan masyarakat dunia dewasa ini, bahkan telah menjadi pandangan hidup modern di berbagai negara. Ide dalam Konstitusi Madinah juga diserap oleh para tokoh pendiri bangsa Indonesia, yang dapat dilihat dalam Piagam Jakarta yang kemudian melahirkan Pancasila yang menjadi dasar pembentukan politik hukum ketatanegaraan di Indonesia .
            Muatan Piagam Madinah dan Pancasila memiliki  kesamaan sebagai kalimah SAW atau perjanjian luhur yang membangun, mencintai dan mempertahankan Indonesia. Demikian pula dengan Piagam Madinah, merupakan perjanjian luhur untuk mempertahankan negara Madinah. Keduanya sama-sama memuat asas-asas dan prinsip-prinsip: persaudaraan, persamaan, toleransi, musyawarah, tolong menolong, dan keadilan.
B. Saran
            Secara umum dapat dikatakan implementasi prinsip-prinsip negara hukum di negara-negara muslim sekarang masih berada pada tahap awal namun berkembang semakin baik menuju sikap yang lebih terbuka dan kesediaan para penyelenggara negara di kawasan negara-negara muslim untuk menerima kritik membangun dari siapapun perlu ditingkatkan.
            Di samping itu diharapkan pula adanya jaminan kebebasan untuk mengemukakan pendapat bagi negara-negara muslim. Hal itu dimaksudkan untuk memperoleh perhatian yang lebih banyak daripada pihak penyelenggara negara yang memiliki kebebasan. Kebebasan yang dimaksud di sini adalah kebebasan yang bertanggung jawab bukan kebebasan yang diterapkan di negara barat yang liberal dan sekuler.
  


DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Zainal. 1956. Membentuk Negara Islam. Jakarta: Bulan Bintang

________.1975. Piagam Nabi Muhammad SAW. Konstitusi Negara Yang Pertama di Dunia Jakarta: Bulan Bintang

Anwar, M. Syafi’, Politik Agama dan Artikulasi Politik Islam dalam Orde Baru, Media Indonesia, Jum’at 19 Pebruari, 1993.

Darmodiharjo, Dardji, dkk. 1981. Santiaji Pancasila. Surabaya, Usaha Nasional

Karim, M. Abdul. 2004. Menggali Muatan Pancasila dalam Perspektif Islam. Jogjakarta: Surya Raya

Karvallo, Bosco dan Dasrizal, (ed). 1983. Aspirasi Umat Islam Indonesia. Jakarta; Leppenas

Khan, Muhammad Zafrulh. 1980. Muhammad Seal of the Propheat, London

Maryam, Siti, dkk. 2002. Sejarah Peradaban Islam dari Masa Klasik hingga Modern. Yogyakarta: Jurusan SPI Fak. Adab IAIN Sunan Kalijaga bekerjasama dengan LESFI.

Pulungan, Suyuti. 1996. Prinsip-prinsip Pemerintah dalam Piagam Madinah Ditinjau dari Pandangan Al Quran Jakarta: Rajawali Pers

Subandi Al-Marsudi. 2003. Pancasila dan UUD’45 dalam Paradigma Reformasi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

Tobroni dan Syamsul Arifin. 1994. Islam Pluralisme Budaya dan Politik. Jogjakarta: Spires

Yatim, Badri. 1998. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Rajawali pers



Tidak ada komentar:

Posting Komentar