Selasa, 29 Oktober 2013

TANYA JAWAB KEPASTIAN HUKUM, KEMANFAATAN HUKUM, DAN KEADILAN HUKUM



A.    KEPASTIAN HUKUM
Pertanyaan:
Banyak sekali peraturan hukum yang tumpul, tidak mampu memotong kesewenang-wenangan, tidak dapat menampilkan dirinya sebagai pedoman yang harus diikuti dalam menyelesaikan berbagai kasus yang seharusnya dijawab oleh hukum. Bahkan banyak produk hukum yang lebih banyak diwarnai oleh kepentingan-kepentingan politik pemegang kekuasaan dominan. Apakah di sini diperlukan suatu kepastian hukum?
Dari pernyataan di atas, apakah yang dimaksud dengan kepastian hukum itu?
Bram, Jembe
r.
Jawaban:
Aristoteles dalam bukunya Rhetorica menjelaskan, bahwa tujuan hukum adalah menghendaki keadilan semata-mata; dan isi (materi muatan) hukum ditentukan oleh kesadaran etis mengenai apa yang dikatakan adil dan apa yang dikatakan tidak adil. Menurut teori ini, hukum mempunyai tugas suci dan luhur, yakni keadilan dengan memberikan kepada tiap-tiap orang, apa yang berhak diterima, serta memerlukan peraturan tersendiri bagi tiap-tiap kasus. Untuk terlaksananya hal tersebut, maka menurut teori ini, hukum harus membuat apa yang dinamakan algemene regels (peraturan/ketentuan umum); di mana peraturan/ketentuan umum ini diperlukan masyarakat demi kepastian hukum.
Kepastian hukum sangat diperlukan untuk menjamin ketenteraman dan ketertiban dalam masyarakat, karena kepastian hukum mempunyai sifat sebagai berikut:
a)      adanya paksaan dari luar (sanksi) dari penguasa yang bertugas mempertahankan dan membina tata tertib masyarakat dengan perantara alat-alatnya;
b)      sifat undang-undang yang berlaku bagi siapa saja.
Kepastian hukum ditujukan pada sikap lahir manusia, ia tidak mempersoalkan apakah sikap batin seseorang itu baik atau buruk, yang diperhatikan adalah bagaimana perbuatan lahiriahnya. 
Kepastian hukum tidak memberi sanksi kepada seseorang yang mempunyai sikap batin yang buruk, akan tetapi yang diberi sanksi adalah perwujudan dari sikap batin yang buruk tersebut, atau menjadikannya perbuatan yang nyata atau konkrit.
Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan perundang-undangan dibuat dan diundangkan secara pasti, karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multitafsir), dan logis dalam artian menjadi suatu sistem norma dengan norma lain, sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma. Konflik norma yang ditimbulkan dari ketidakpastian peraturan perundang-undangan dapat berbentuk kontestasi norma, reduksi norma, atau distorsi norma.
Menurut Gustav Radbruch, terdapat dua macam pengertian kepastian hukum, yaitu kepastian hukum oleh karena hukum, dan kepastian hukum dalam atau dari hukum. Hukum yang berhasil menjamin banyak kepastian hukum dalam masyarakat adalah hukum yang berguna. Kepastian hukum oleh karena hukum memberi dua tugas hukum yang lain, yaitu menjamin keadilan hukum serta hukum harus tetap berguna; sedangkan kepastian hukum dalam hukum tercapai, apabila hukum tersebut sebanyak-banyaknya undang-undang. Dalam undang-undang tersebut tidak terdapat ketentuan-ketentuan yang bertentangan (undang-undang berdasarkan suatu sistem yang logis dan praktis). Undang-undang dibuat berdasarkan rechtswerkelijkheid (keadaan hukum yang sungguh-sungguh) dan dalam undang-undang tersebut tidak terdapat istilah-istilah yang dapat ditafsirkan secara berlain-lainan.
Dalam prakteknya, apabila kepastian hukum dikaitkan dengan keadilan hukum, maka akan kerap kali tidak sejalan satu sama lain. Adapun hal ini dikarenakan di satu sisi tidak jarang kepastian hukum mengabaikan prinsip-prinsip keadilan hukum, sebaliknya tidak jarang pula keadilan hukum mengabaikan prinsip-prinsip kepastian hukum. Apabila dalam prakteknya terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan hukum, maka keadilan hukum yang harus diutamakan. Alasannya adalah, bahwa keadilan hukum pada umumnya lahir dari hati nurani pemberi keadilan, sedangkan kepastian hukum lahir dari suatu yang konkrit.

Berkaitan dengan keputusan Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), 31 Maret 2012, yang menetapkan Pasal 7 ayat (6A) Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2012 (RUU APBN-P 2012, dinilai tidak memberikan kepastian hukum kepada rakyat. Materi muatan Pasal 7 ayat (6A) RUU APBN-P 2012 yang membolehkan pemerintah menaikkan atau menurunkan, jika harga minyak mentah Indonesia (ICP) naik 15 persen selama enam bulan ke depan, tidak memberikan kepastian hukum kepada rakyat mengenai harga BBM yang dalam enam bulan, sewaktu-waktu bisa naik atau pun turun.
Last but not least, hal ini berarti rakyat dalam situasi ketidakpastian hukum terhadap harga BBM selama enam bulan. Dan, rakyat menjadi bingung.***
B.     KEMANFAATAN HUKUM
Pertanyaan:
Dalam penegakan hukum harus memperhatikan keselarasan antara keadilan hukum, kepastian hukum, dan kemanfaatan hukum. Karena, tujuan hukum antara lain adalah untuk menjamin terciptanya keadilan hukum, kepastian hukum, dan persamaan di depan hukum (equality before the law).Dari pernyataan di atas, apakah yang dimaksud dengan kemanfaatan hukum itu
?
Jawaban:
Menurut Achmad Ali, bahwa aliran etis dapat dianggap sebagai ajaran moral ideal, atau ajaran moral teoretis; sebaliknya ada aliran yang dapat dimasukkan dalam ajaran moral praktis, yaitu aliran utilitas. Pakar-pakar penganut aliran utilitas ini, terutama adalah Jeremy Bentham, yang dikenal sebagai the father of legal utilitarianism. Selain Bentham, juga James Mill, dan John Stuart Mill; tetapi Jaremy Bentham-lah merupakan pakar yang paling radikal di antara pakar utilitas. 
Penganut aliran utilitas ini menganggap, bahwa tujuan hukum semata-mata untuk memberikan kemanfaatan atau kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi sebanyak-banyaknya warga masyarakat. Penanganannya didasarkan pada filsafat sosial, bahwa setiap warga masyarakat mencari kebahagiaan, dan hukum merupakan salah satu alatnya.

Jeremy Benthan (1748-1832) adalah seorang filsuf, ekonom, yuris, dan reformer hukum, yang memiliki kemampuan untuk memformulasikan prinsip kegunaan/kemanfaatan (utilitas) menjadi doktrin etika, yang dikenal sebagai utilitarianism atau madhab utilitis. Prinsip utility tersebut dikemukakan oleh Bentham dalam karya monumentalnya Introduction to the Principles of Morals and Legislation (1789). Bentham mendefinisikannya sebagai sifat segala benda tersebut cenderung menghasilkan kesenangan, kebaikan, atau kebahagiaan, atau untuk mencegah terjadinya kerusakan, penderitaan, atau kejahatan, serta ketidakbahagiaan pada pihak yang kepentingannya dipertimbangkan.
Menurut Bentham, alam telah menempatkan manusia di bawah pengaturan dua penguasa yang berdaulat (two sovereign masters), yaitu penderitaan (pain) dan kegembiraan (pleasure). Keduanya menunjukkan apa yang harus dilakukan, dan menentukan apa yang akan dilakukan. Fakta bahwa kita menginginkan kesenangan, dan berharap untuk menghindari penderitaan, digunakan oleh Bentham untuk membuat keputusan, bahwa kita harus mengejar kesenangan.
Aliran utilitas yang menganggap, bahwa pada prinsipnya tujuan hukum itu hanyalah untuk menciptakan kemanfaatan atau kebahagiaan masyarakat. Aliran utilitas memasukkan ajaran moral praktis yang menurut penganutnya bertujuan untuk memberikan kemanfaatan atau kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi sebanyak mungkin warga masyarakat. Bentham berpendapat, bahwa negara dan hukum semata-mata ada hanya untuk manfaat sejati, yaitu kebahagiaan mayoritas rakyat. Itulah sebabnya Jeremy Bentham kemudian terkenal dengan motonya, bahwa tujuan hukum adalah untuk mewujudkan the greatest happiness of the greatest number (kebahagiaan yang terbedar, untuk terbanyak orang). 
Konsep Jeremy Bentham mendapat kritikan yang cukup keras. Dengan adanya kritik-kritik terhadap prinsip kemanfaatan hukum tersebut, maka John Rawls, mengembangkan sebuah teori baru yang menghindari banyak masalah yang tidak terjawab oleh utilitarianism. Teori kritikan terhadap utilitas dinamakan teori Rawls atau justice as fairness (keadilan sebagai kejujuran).
Kritik Rawls tegasnya, bahwa untuk memperbesar kebahagiaan, terlebih dahulu tentunya, harus memiliki ukuran kebahagiaan. Lalu, bagaimana caranya mengukur kebahagiaan itu? Sesuatu yang menyenangkan seseorang, belum tentu juga menyenangkan bagi orang lain. Seseorang yang senang membaca, kemungkinan besar tidak senang berjudi. Sebaliknya, seseorang yang senang berjudi, juga kemungkinan besar tidak senang membaca. Bahkan, bagi kita sendiri, sangat sulit untuk mengukur kebahagiaan. Hal-hal yang berbeda memberikan kesenangan yang berbeda pula, yang sulit untuk diperbandingkan. Bagaimana caranya membandingkan kebahagiaan yang diperoleh dari makan dan kebahagiaan yang diperoleh dari membaca? Bahkan, hal yang serupa, seperti makan, dapat memberikan kesenangan yang berbeda tingkatannya, pada waktu dan suasana yang berbeda. Makan, jauh lebih menyenangkan ketika sedang kelaparan, daripada ketika sedang kenyang. Jadi, dapat dilihat, bahwa kebahagiaan tidak mungkin untuk didefinisikan dan diukur secara konkret.
Teori lain yang mencoba untuk mencari jalan tengah di antara kedua teori di atas, yakni Teori Pengayoman. Dalam teori ini dinyatakan, tujuan hukum adalah untuk mengayomi manusia, baik secara aktif maupun pasif. Secara aktif yakni upaya menciptakan suatu kondisi kemasyarakatan yang manusiawi dalam proses yang berlangsung secara wajar; sedangkan secara pasif adalah mengupayakan pencegahan atas tindakan yang sewenang-wenang dan penyalahgunaan hak. Memang teori tersebut tampak berusaha menggabungkan kelemahan-kelemahan terhadap keadilan hukum dan kepastian hukum. Teori Pengayoman dalam pandangan secara aktif, menunjukkan pada suatu teori kemanfaatan hukum; sementara dalam pandangan secara pasif, menunjukkan pada suatu teori keadilan hukum.

C.         KEADILAN HUKUM




Pertanyaan:
Seorang hakim senior, Bismar Siregar pernah mengatakan: Apabila untuk menegakkan keadilan hukum, saya korbankan kepastian hukum, akan saya korbankan hukum itu. Hukum hanya sarana atau alat, sedangkan tujuannya adalah keadilan. Jadi, mengapa tujuan dikorbankan karena sarana?
Dari pernyataan di atas, apakah yang dimaksud dengan keadilan hukum itu?
Tick, Gresik
Jawaban:
Keadilan merupakan salah satu tujuan hukum yang paling banyak dibicarakan sepanjang perjalanan sejarah filsafat hukum. Tujuan hukum bukan hanya keadilan, tetapi juga kepastian hukum dan kemanfaatan hukum. Idealnya, hukum memang harus mengakomodasikan ketiganya. Putusan hakim misalnya, sedapat mungkin merupakan resultant dari ketiganya. Sekalipun demikian, tetap ada yang berpendapat, bahwa di antara ketiga tujuan hukum tersebut, keadilan merupakan tujuan hukum yang paling penting, bahkan ada yang berpendapat, bahwa keadilan adalah tujuan hukum satu-satunya.
Ulpianus (200 M) menggambarkan keadilan sebagai justitia constans et perpetua voluntas ius suum cuique tribuendi (keadilan adalah kehendak yang terus menerus dan tetap memberikan kepada masing-masing apa yang menjadi haknya), atau tribuere cuique suum to give everybody his own, keadilan memberikan kepada setiap orang yang menjadi haknya. Perumusan ini dengan tegas mengakui hak masing-masing person terhadap lainnya, serta apa yang seharusnya menjadi bagiannya, demikian pula sebaliknya.
Keadilan sudah dibicarakan sejak zaman dulu kala. Dalam hubungan antara keadilan dengan negara, Plato (428-348 SM) menyatakan, bahwa negara ideal apabila didasarkan atas keadilan, dan keadilan baginya adalah keseimbangan dan harmoni. Harmoni di sini artinya warga hidup sejalan dan serasi dengan tujuan negara (polis), di mana masing-masing warga negara menjalani hidup secara baik sesuai dengan kodrat dan posisi sosialnya masing-masing.
Aristoteles (384-322 SM) dalam karyanya Nichomachean Ethics mengungkapkan, bahwa keadilan mengandung arti berbuat kebajikan, atau dengan kata lain, keadilan adalah kebijakan yang utama. Menurut Aristoteles, justice consists in treating equals equality and un-equals un-equality, in proportion to their inequality. Prinsip ini beranjak dari asumsi untuk hal-hal yang sama diperlakukan secara sama, dan yang tidak sama juga diperlakukan tidak sama, secara proporsional.
Perkembangan lebih lanjut tentang keadilan, Thomas Aquinas (1225-1274) mengajukan tiga struktur fundamental (hubungan dasar), yaitu:
a)      hubungan antar individu (ordo partium ad partes);
b)      hubungan antar masyarakat sebagai keseluruhan dengan individu (ordo totius ad partes); dan
c)      hubungan antar individu terhadap masyarakat secara keseluruhan (ordo partium ad totum).
Menurut Thomas Aquinas, keadilan distributif pada dasarnya merupakan penghormatan terhadap person manusia dan keluhurannya. Dalam konteks keadilan distributif, keadilan dan kepatutan (equity) tidak tercapai semata-mata dengan penetapan nilai yang aktual, melainkan juga atas dasar kesamaan antara satu hal dengan hal lainnya. Ada dua bentuk kesamaan, yaitu:
a)      kesamaan proporsional; dan
b)      kesamaan kuantitas atau jumlah.
Friedmann menyatakan, bahwa formulasi keadilan Aristoteles merupakan suatu kontribusi terbesarnya bagi filsafat hukum. Di samping itu, ia juga membedakan keadilan menurut hukum, dan keadilan menurut alam. Keadilan alamiah adalah keadilan yang daya berlakunya tidak dipengaruhi oleh ruang dan waktu, serta keberadaannya bukan hasil pemikiran masyarakat. Keadilan hukum adalah keadilan yang pada asalnya tidak berbeda, tetapi bilamana telah dijadikan landasan, ia menjadi berlainan.
Thomas Aquinas membedakan keadilan atas dua kelompok, yaitu keadilan umum (iustitia generalis) dan keadilan khusus (iustitia specialis). Keadilan umum adalah keadilan menurut kehendak undang-undang, yang harus ditunaikan demi kepentingan umum. Selanjutnya, keadilan khusus adalah keadilan atas dasar kesamaan atau proporsionalitas. Keadilan khusus ini dibedakan menjadi:
1)      keadilan distributif (iustitia distributiva),
2)      keadilan komutatif (iustitia commutativa), dan
3)      keadilan vindikatif (iustitia vindicativa).
Keadilan distributif adalah keadilan yang secara proporsional diterapkan dalam lapangan hukum publik secara umum. Sebagai contoh, negara hanya akan mengangkat seorang menjadi hakim, apabila orang itu memiliki kecakapan menjadi hakim. Keadilan komutatif adalah keadilan dengan mempersamakan antara prestasi dan kontraprestasi. Keadilan vindikatif adalah keadilan dalam tindak pidana. Seorang dianggap adil apabila ia dipidana badan atau denda sesuai dengan besarnya hukuman yang telah ditentukan atas tindak pidana yang dilakukannya.

Pemikiran kritis memandang, bahwa keadilan tidak lain sebuah fatamorgana, seperti orang melihat langit yang seolah-olah kelihatan, akan tetapi tidak pernah menjangkaunya, bahkan juga tidak pernah mendekatinya. Walaupun demikian, haruslah diakui, bahwa hukum tanpa keadilan akan terjadi kesewenang-wenangan. Sebenarnya keadilan dan kebenaran merupakan nilai kebajikan yang paling utama, sehingga nilai-nilai ini tidak bisa ditukar dengan nilai apapun. Dari sisi teori etis ini, lebih mengutamakan keadilan hukum dengan mengurangi sisi kepastian hukum dan kemanfaatan hukum, seperti sebuah bandul (pendulum) jam. Mengutamakan keadilan hukum saja, maka akan berdampak pada kurangnya kepastian hukum dan kemanfaatan hukum, demikian juga sebaliknya.*** 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar