A. KEPASTIAN HUKUM
Pertanyaan:
Banyak sekali peraturan hukum yang tumpul, tidak mampu memotong kesewenang-wenangan, tidak dapat menampilkan dirinya sebagai pedoman yang harus diikuti dalam menyelesaikan berbagai kasus yang seharusnya dijawab oleh hukum. Bahkan banyak produk hukum yang lebih banyak diwarnai oleh kepentingan-kepentingan politik pemegang kekuasaan dominan. Apakah di sini diperlukan suatu kepastian hukum?
Dari pernyataan di atas, apakah yang dimaksud dengan kepastian hukum itu?
Bram, Jember.
Banyak sekali peraturan hukum yang tumpul, tidak mampu memotong kesewenang-wenangan, tidak dapat menampilkan dirinya sebagai pedoman yang harus diikuti dalam menyelesaikan berbagai kasus yang seharusnya dijawab oleh hukum. Bahkan banyak produk hukum yang lebih banyak diwarnai oleh kepentingan-kepentingan politik pemegang kekuasaan dominan. Apakah di sini diperlukan suatu kepastian hukum?
Dari pernyataan di atas, apakah yang dimaksud dengan kepastian hukum itu?
Bram, Jember.
Jawaban:
Aristoteles dalam bukunya Rhetorica menjelaskan, bahwa tujuan hukum adalah menghendaki keadilan semata-mata; dan isi (materi muatan) hukum ditentukan oleh kesadaran etis mengenai apa yang dikatakan adil dan apa yang dikatakan tidak adil. Menurut teori ini, hukum mempunyai tugas suci dan luhur, yakni keadilan dengan memberikan kepada tiap-tiap orang, apa yang berhak diterima, serta memerlukan peraturan tersendiri bagi tiap-tiap kasus. Untuk terlaksananya hal tersebut, maka menurut teori ini, hukum harus membuat apa yang dinamakan algemene regels (peraturan/ketentuan umum); di mana peraturan/ketentuan umum ini diperlukan masyarakat demi kepastian hukum.
Aristoteles dalam bukunya Rhetorica menjelaskan, bahwa tujuan hukum adalah menghendaki keadilan semata-mata; dan isi (materi muatan) hukum ditentukan oleh kesadaran etis mengenai apa yang dikatakan adil dan apa yang dikatakan tidak adil. Menurut teori ini, hukum mempunyai tugas suci dan luhur, yakni keadilan dengan memberikan kepada tiap-tiap orang, apa yang berhak diterima, serta memerlukan peraturan tersendiri bagi tiap-tiap kasus. Untuk terlaksananya hal tersebut, maka menurut teori ini, hukum harus membuat apa yang dinamakan algemene regels (peraturan/ketentuan umum); di mana peraturan/ketentuan umum ini diperlukan masyarakat demi kepastian hukum.
Kepastian hukum sangat
diperlukan untuk menjamin ketenteraman dan ketertiban dalam masyarakat, karena
kepastian hukum mempunyai sifat sebagai berikut:
a) adanya paksaan dari luar (sanksi) dari penguasa yang bertugas
mempertahankan dan membina tata tertib masyarakat dengan perantara
alat-alatnya;
b) sifat undang-undang yang berlaku bagi siapa saja.
Kepastian hukum
ditujukan pada sikap lahir manusia, ia tidak mempersoalkan apakah sikap batin
seseorang itu baik atau buruk, yang diperhatikan adalah bagaimana perbuatan
lahiriahnya.
Kepastian hukum tidak
memberi sanksi kepada seseorang yang mempunyai sikap batin yang buruk, akan
tetapi yang diberi sanksi adalah perwujudan dari sikap batin yang buruk
tersebut, atau menjadikannya perbuatan yang nyata atau konkrit.
Kepastian hukum secara
normatif adalah ketika suatu peraturan perundang-undangan dibuat dan
diundangkan secara pasti, karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam
artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multitafsir), dan logis dalam artian
menjadi suatu sistem norma dengan norma lain, sehingga tidak berbenturan atau
menimbulkan konflik norma. Konflik norma yang ditimbulkan dari ketidakpastian
peraturan perundang-undangan dapat berbentuk kontestasi norma, reduksi norma,
atau distorsi norma.
Menurut Gustav
Radbruch, terdapat dua macam pengertian kepastian hukum, yaitu kepastian hukum
oleh karena hukum, dan kepastian hukum dalam atau dari hukum. Hukum yang berhasil menjamin
banyak kepastian hukum dalam masyarakat adalah hukum yang berguna. Kepastian
hukum oleh karena hukum memberi dua tugas
hukum yang lain, yaitu menjamin keadilan hukum serta hukum harus tetap berguna;
sedangkan kepastian hukum dalam hukum tercapai, apabila hukum tersebut
sebanyak-banyaknya undang-undang. Dalam undang-undang tersebut tidak terdapat
ketentuan-ketentuan yang bertentangan (undang-undang berdasarkan suatu sistem
yang logis dan praktis). Undang-undang dibuat berdasarkan rechtswerkelijkheid
(keadaan hukum yang sungguh-sungguh) dan dalam undang-undang tersebut tidak
terdapat istilah-istilah yang dapat ditafsirkan secara berlain-lainan.
Dalam prakteknya, apabila kepastian hukum dikaitkan dengan keadilan hukum, maka akan kerap kali tidak sejalan satu sama lain. Adapun hal ini dikarenakan di satu sisi tidak jarang kepastian hukum mengabaikan prinsip-prinsip keadilan hukum, sebaliknya tidak jarang pula keadilan hukum mengabaikan prinsip-prinsip kepastian hukum. Apabila dalam prakteknya terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan hukum, maka keadilan hukum yang harus diutamakan. Alasannya adalah, bahwa keadilan hukum pada umumnya lahir dari hati nurani pemberi keadilan, sedangkan kepastian hukum lahir dari suatu yang konkrit.
Berkaitan dengan keputusan Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), 31 Maret 2012, yang menetapkan Pasal 7 ayat (6A) Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2012 (RUU APBN-P 2012, dinilai tidak memberikan kepastian hukum kepada rakyat. Materi muatan Pasal 7 ayat (6A) RUU APBN-P 2012 yang membolehkan pemerintah menaikkan atau menurunkan, jika harga minyak mentah Indonesia (ICP) naik 15 persen selama enam bulan ke depan, tidak memberikan kepastian hukum kepada rakyat mengenai harga BBM yang dalam enam bulan, sewaktu-waktu bisa naik atau pun turun.
Dalam prakteknya, apabila kepastian hukum dikaitkan dengan keadilan hukum, maka akan kerap kali tidak sejalan satu sama lain. Adapun hal ini dikarenakan di satu sisi tidak jarang kepastian hukum mengabaikan prinsip-prinsip keadilan hukum, sebaliknya tidak jarang pula keadilan hukum mengabaikan prinsip-prinsip kepastian hukum. Apabila dalam prakteknya terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan hukum, maka keadilan hukum yang harus diutamakan. Alasannya adalah, bahwa keadilan hukum pada umumnya lahir dari hati nurani pemberi keadilan, sedangkan kepastian hukum lahir dari suatu yang konkrit.
Berkaitan dengan keputusan Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), 31 Maret 2012, yang menetapkan Pasal 7 ayat (6A) Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2012 (RUU APBN-P 2012, dinilai tidak memberikan kepastian hukum kepada rakyat. Materi muatan Pasal 7 ayat (6A) RUU APBN-P 2012 yang membolehkan pemerintah menaikkan atau menurunkan, jika harga minyak mentah Indonesia (ICP) naik 15 persen selama enam bulan ke depan, tidak memberikan kepastian hukum kepada rakyat mengenai harga BBM yang dalam enam bulan, sewaktu-waktu bisa naik atau pun turun.
Last but not least,
hal ini berarti rakyat dalam situasi ketidakpastian hukum terhadap harga BBM
selama enam bulan. Dan, rakyat menjadi bingung.***
B. KEMANFAATAN
HUKUM
Pertanyaan:
Dalam penegakan hukum harus memperhatikan keselarasan antara keadilan hukum, kepastian hukum, dan kemanfaatan hukum. Karena, tujuan hukum antara lain adalah untuk menjamin terciptanya keadilan hukum, kepastian hukum, dan persamaan di depan hukum (equality before the law).Dari pernyataan di atas, apakah yang dimaksud dengan kemanfaatan hukum itu?
Dalam penegakan hukum harus memperhatikan keselarasan antara keadilan hukum, kepastian hukum, dan kemanfaatan hukum. Karena, tujuan hukum antara lain adalah untuk menjamin terciptanya keadilan hukum, kepastian hukum, dan persamaan di depan hukum (equality before the law).Dari pernyataan di atas, apakah yang dimaksud dengan kemanfaatan hukum itu?
Jawaban:
Menurut Achmad Ali, bahwa aliran etis dapat dianggap sebagai ajaran moral ideal, atau ajaran moral teoretis; sebaliknya ada aliran yang dapat dimasukkan dalam ajaran moral praktis, yaitu aliran utilitas. Pakar-pakar penganut aliran utilitas ini, terutama adalah Jeremy Bentham, yang dikenal sebagai the father of legal utilitarianism. Selain Bentham, juga James Mill, dan John Stuart Mill; tetapi Jaremy Bentham-lah merupakan pakar yang paling radikal di antara pakar utilitas.
Menurut Achmad Ali, bahwa aliran etis dapat dianggap sebagai ajaran moral ideal, atau ajaran moral teoretis; sebaliknya ada aliran yang dapat dimasukkan dalam ajaran moral praktis, yaitu aliran utilitas. Pakar-pakar penganut aliran utilitas ini, terutama adalah Jeremy Bentham, yang dikenal sebagai the father of legal utilitarianism. Selain Bentham, juga James Mill, dan John Stuart Mill; tetapi Jaremy Bentham-lah merupakan pakar yang paling radikal di antara pakar utilitas.
Penganut aliran utilitas ini menganggap, bahwa tujuan
hukum semata-mata untuk memberikan kemanfaatan atau kebahagiaan yang
sebesar-besarnya bagi sebanyak-banyaknya warga masyarakat. Penanganannya
didasarkan pada filsafat sosial, bahwa setiap warga masyarakat mencari
kebahagiaan, dan hukum merupakan salah satu alatnya.
Jeremy Benthan (1748-1832) adalah seorang filsuf, ekonom, yuris, dan reformer hukum, yang memiliki kemampuan untuk memformulasikan prinsip kegunaan/kemanfaatan (utilitas) menjadi doktrin etika, yang dikenal sebagai utilitarianism atau madhab utilitis. Prinsip utility tersebut dikemukakan oleh Bentham dalam karya monumentalnya Introduction to the Principles of Morals and Legislation (1789). Bentham mendefinisikannya sebagai sifat segala benda tersebut cenderung menghasilkan kesenangan, kebaikan, atau kebahagiaan, atau untuk mencegah terjadinya kerusakan, penderitaan, atau kejahatan, serta ketidakbahagiaan pada pihak yang kepentingannya dipertimbangkan.
Jeremy Benthan (1748-1832) adalah seorang filsuf, ekonom, yuris, dan reformer hukum, yang memiliki kemampuan untuk memformulasikan prinsip kegunaan/kemanfaatan (utilitas) menjadi doktrin etika, yang dikenal sebagai utilitarianism atau madhab utilitis. Prinsip utility tersebut dikemukakan oleh Bentham dalam karya monumentalnya Introduction to the Principles of Morals and Legislation (1789). Bentham mendefinisikannya sebagai sifat segala benda tersebut cenderung menghasilkan kesenangan, kebaikan, atau kebahagiaan, atau untuk mencegah terjadinya kerusakan, penderitaan, atau kejahatan, serta ketidakbahagiaan pada pihak yang kepentingannya dipertimbangkan.
Menurut Bentham, alam telah menempatkan manusia di bawah
pengaturan dua penguasa yang berdaulat (two sovereign masters), yaitu
penderitaan (pain) dan kegembiraan (pleasure). Keduanya menunjukkan apa yang
harus dilakukan, dan menentukan apa yang akan dilakukan. Fakta bahwa kita
menginginkan kesenangan, dan berharap untuk menghindari penderitaan, digunakan
oleh Bentham untuk membuat keputusan, bahwa kita harus mengejar kesenangan.
Aliran utilitas yang menganggap, bahwa pada prinsipnya tujuan hukum itu hanyalah untuk menciptakan kemanfaatan atau kebahagiaan masyarakat. Aliran utilitas memasukkan ajaran moral praktis yang menurut penganutnya bertujuan untuk memberikan kemanfaatan atau kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi sebanyak mungkin warga masyarakat. Bentham berpendapat, bahwa negara dan hukum semata-mata ada hanya untuk manfaat sejati, yaitu kebahagiaan mayoritas rakyat. Itulah sebabnya Jeremy Bentham kemudian terkenal dengan motonya, bahwa tujuan hukum adalah untuk mewujudkan the greatest happiness of the greatest number (kebahagiaan yang terbedar, untuk terbanyak orang).
Aliran utilitas yang menganggap, bahwa pada prinsipnya tujuan hukum itu hanyalah untuk menciptakan kemanfaatan atau kebahagiaan masyarakat. Aliran utilitas memasukkan ajaran moral praktis yang menurut penganutnya bertujuan untuk memberikan kemanfaatan atau kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi sebanyak mungkin warga masyarakat. Bentham berpendapat, bahwa negara dan hukum semata-mata ada hanya untuk manfaat sejati, yaitu kebahagiaan mayoritas rakyat. Itulah sebabnya Jeremy Bentham kemudian terkenal dengan motonya, bahwa tujuan hukum adalah untuk mewujudkan the greatest happiness of the greatest number (kebahagiaan yang terbedar, untuk terbanyak orang).
Konsep Jeremy Bentham mendapat kritikan yang cukup keras.
Dengan adanya kritik-kritik terhadap prinsip kemanfaatan hukum tersebut, maka
John Rawls, mengembangkan sebuah teori baru yang menghindari banyak masalah
yang tidak terjawab oleh utilitarianism. Teori kritikan terhadap utilitas dinamakan
teori Rawls atau justice as fairness (keadilan sebagai kejujuran).
Kritik Rawls tegasnya, bahwa untuk memperbesar
kebahagiaan, terlebih dahulu tentunya, harus memiliki ukuran kebahagiaan. Lalu,
bagaimana caranya mengukur kebahagiaan itu? Sesuatu yang menyenangkan
seseorang, belum tentu juga menyenangkan bagi orang lain. Seseorang yang senang
membaca, kemungkinan besar tidak senang berjudi. Sebaliknya, seseorang yang
senang berjudi, juga kemungkinan besar tidak senang membaca. Bahkan, bagi kita
sendiri, sangat sulit untuk mengukur kebahagiaan. Hal-hal yang berbeda
memberikan kesenangan yang berbeda pula, yang sulit untuk diperbandingkan.
Bagaimana caranya membandingkan kebahagiaan yang diperoleh dari makan dan
kebahagiaan yang diperoleh dari membaca? Bahkan, hal yang serupa, seperti
makan, dapat memberikan kesenangan yang berbeda tingkatannya, pada waktu dan
suasana yang berbeda. Makan, jauh lebih menyenangkan ketika sedang kelaparan,
daripada ketika sedang kenyang. Jadi, dapat dilihat, bahwa kebahagiaan tidak
mungkin untuk didefinisikan dan diukur secara konkret.
Teori lain yang mencoba untuk mencari jalan tengah di
antara kedua teori di atas, yakni Teori Pengayoman. Dalam teori ini dinyatakan,
tujuan hukum adalah untuk mengayomi manusia, baik secara aktif maupun pasif.
Secara aktif yakni upaya menciptakan suatu kondisi kemasyarakatan yang
manusiawi dalam proses yang berlangsung secara wajar; sedangkan secara pasif
adalah mengupayakan pencegahan atas tindakan yang sewenang-wenang dan
penyalahgunaan hak. Memang teori tersebut tampak berusaha menggabungkan
kelemahan-kelemahan terhadap keadilan hukum dan kepastian hukum. Teori
Pengayoman dalam pandangan secara aktif, menunjukkan pada suatu teori
kemanfaatan hukum; sementara dalam pandangan secara pasif, menunjukkan pada
suatu teori keadilan hukum.
C.
KEADILAN HUKUM
|
Pertanyaan:
Seorang hakim senior, Bismar Siregar pernah mengatakan: Apabila untuk menegakkan keadilan hukum, saya korbankan kepastian hukum, akan saya korbankan hukum itu. Hukum hanya sarana atau alat, sedangkan tujuannya adalah keadilan. Jadi, mengapa tujuan dikorbankan karena sarana?
Dari pernyataan di atas, apakah yang dimaksud dengan keadilan hukum itu?
Tick, Gresik
Seorang hakim senior, Bismar Siregar pernah mengatakan: Apabila untuk menegakkan keadilan hukum, saya korbankan kepastian hukum, akan saya korbankan hukum itu. Hukum hanya sarana atau alat, sedangkan tujuannya adalah keadilan. Jadi, mengapa tujuan dikorbankan karena sarana?
Dari pernyataan di atas, apakah yang dimaksud dengan keadilan hukum itu?
Tick, Gresik
Jawaban:
Keadilan merupakan salah satu tujuan hukum yang paling banyak dibicarakan sepanjang perjalanan sejarah filsafat hukum. Tujuan hukum bukan hanya keadilan, tetapi juga kepastian hukum dan kemanfaatan hukum. Idealnya, hukum memang harus mengakomodasikan ketiganya. Putusan hakim misalnya, sedapat mungkin merupakan resultant dari ketiganya. Sekalipun demikian, tetap ada yang berpendapat, bahwa di antara ketiga tujuan hukum tersebut, keadilan merupakan tujuan hukum yang paling penting, bahkan ada yang berpendapat, bahwa keadilan adalah tujuan hukum satu-satunya.
Keadilan merupakan salah satu tujuan hukum yang paling banyak dibicarakan sepanjang perjalanan sejarah filsafat hukum. Tujuan hukum bukan hanya keadilan, tetapi juga kepastian hukum dan kemanfaatan hukum. Idealnya, hukum memang harus mengakomodasikan ketiganya. Putusan hakim misalnya, sedapat mungkin merupakan resultant dari ketiganya. Sekalipun demikian, tetap ada yang berpendapat, bahwa di antara ketiga tujuan hukum tersebut, keadilan merupakan tujuan hukum yang paling penting, bahkan ada yang berpendapat, bahwa keadilan adalah tujuan hukum satu-satunya.
Ulpianus (200 M)
menggambarkan keadilan sebagai justitia constans et perpetua voluntas ius suum
cuique tribuendi (keadilan adalah kehendak yang terus menerus dan tetap
memberikan kepada masing-masing apa yang menjadi haknya), atau tribuere cuique
suum to give everybody his own, keadilan memberikan kepada setiap orang yang
menjadi haknya. Perumusan ini dengan tegas mengakui hak masing-masing person
terhadap lainnya, serta apa yang seharusnya menjadi bagiannya, demikian pula
sebaliknya.
Keadilan sudah
dibicarakan sejak zaman dulu kala. Dalam hubungan antara keadilan dengan
negara, Plato (428-348 SM) menyatakan, bahwa negara ideal apabila didasarkan
atas keadilan, dan keadilan baginya adalah keseimbangan dan harmoni. Harmoni di
sini artinya warga hidup sejalan dan serasi dengan tujuan negara (polis), di
mana masing-masing warga negara menjalani hidup secara baik sesuai dengan
kodrat dan posisi sosialnya masing-masing.
Aristoteles (384-322
SM) dalam karyanya Nichomachean Ethics mengungkapkan, bahwa keadilan mengandung
arti berbuat kebajikan, atau dengan kata lain, keadilan adalah kebijakan yang
utama. Menurut Aristoteles, justice consists in treating equals equality and
un-equals un-equality, in proportion to their inequality. Prinsip ini beranjak
dari asumsi untuk hal-hal yang sama diperlakukan secara sama, dan yang tidak
sama juga diperlakukan tidak sama, secara proporsional.
Perkembangan lebih
lanjut tentang keadilan, Thomas Aquinas (1225-1274) mengajukan tiga struktur
fundamental (hubungan dasar), yaitu:
a) hubungan antar individu (ordo partium ad partes);
b) hubungan antar masyarakat sebagai keseluruhan dengan individu (ordo totius
ad partes); dan
c) hubungan antar individu terhadap masyarakat secara keseluruhan (ordo
partium ad totum).
Menurut Thomas
Aquinas, keadilan distributif pada dasarnya merupakan penghormatan terhadap
person manusia dan keluhurannya. Dalam konteks keadilan distributif, keadilan
dan kepatutan (equity) tidak tercapai semata-mata dengan penetapan nilai yang
aktual, melainkan juga atas dasar kesamaan antara satu hal dengan hal lainnya.
Ada dua bentuk kesamaan, yaitu:
a) kesamaan proporsional; dan
b) kesamaan kuantitas atau jumlah.
Friedmann menyatakan,
bahwa formulasi keadilan Aristoteles merupakan suatu kontribusi terbesarnya
bagi filsafat hukum. Di samping itu, ia juga membedakan keadilan menurut hukum,
dan keadilan menurut alam. Keadilan alamiah adalah keadilan yang daya
berlakunya tidak dipengaruhi oleh ruang dan waktu, serta keberadaannya bukan
hasil pemikiran masyarakat. Keadilan hukum adalah keadilan yang pada asalnya
tidak berbeda, tetapi bilamana telah dijadikan landasan, ia menjadi berlainan.
Thomas Aquinas
membedakan keadilan atas dua kelompok, yaitu keadilan umum (iustitia generalis)
dan keadilan khusus (iustitia specialis). Keadilan umum adalah keadilan menurut
kehendak undang-undang, yang harus ditunaikan demi kepentingan umum.
Selanjutnya, keadilan khusus adalah keadilan atas dasar kesamaan atau
proporsionalitas. Keadilan khusus ini dibedakan menjadi:
1) keadilan distributif (iustitia distributiva),
2) keadilan komutatif (iustitia commutativa), dan
3) keadilan vindikatif (iustitia vindicativa).
Keadilan distributif
adalah keadilan yang secara proporsional diterapkan dalam lapangan hukum publik
secara umum. Sebagai contoh, negara hanya akan mengangkat seorang menjadi
hakim, apabila orang itu memiliki kecakapan menjadi hakim. Keadilan komutatif
adalah keadilan dengan mempersamakan antara prestasi dan kontraprestasi.
Keadilan vindikatif adalah keadilan dalam tindak pidana. Seorang dianggap adil
apabila ia dipidana badan atau denda sesuai dengan besarnya hukuman yang telah
ditentukan atas tindak pidana yang dilakukannya.
Pemikiran kritis memandang, bahwa keadilan tidak lain sebuah fatamorgana, seperti orang melihat langit yang seolah-olah kelihatan, akan tetapi tidak pernah menjangkaunya, bahkan juga tidak pernah mendekatinya. Walaupun demikian, haruslah diakui, bahwa hukum tanpa keadilan akan terjadi kesewenang-wenangan. Sebenarnya keadilan dan kebenaran merupakan nilai kebajikan yang paling utama, sehingga nilai-nilai ini tidak bisa ditukar dengan nilai apapun. Dari sisi teori etis ini, lebih mengutamakan keadilan hukum dengan mengurangi sisi kepastian hukum dan kemanfaatan hukum, seperti sebuah bandul (pendulum) jam. Mengutamakan keadilan hukum saja, maka akan berdampak pada kurangnya kepastian hukum dan kemanfaatan hukum, demikian juga sebaliknya.***
Pemikiran kritis memandang, bahwa keadilan tidak lain sebuah fatamorgana, seperti orang melihat langit yang seolah-olah kelihatan, akan tetapi tidak pernah menjangkaunya, bahkan juga tidak pernah mendekatinya. Walaupun demikian, haruslah diakui, bahwa hukum tanpa keadilan akan terjadi kesewenang-wenangan. Sebenarnya keadilan dan kebenaran merupakan nilai kebajikan yang paling utama, sehingga nilai-nilai ini tidak bisa ditukar dengan nilai apapun. Dari sisi teori etis ini, lebih mengutamakan keadilan hukum dengan mengurangi sisi kepastian hukum dan kemanfaatan hukum, seperti sebuah bandul (pendulum) jam. Mengutamakan keadilan hukum saja, maka akan berdampak pada kurangnya kepastian hukum dan kemanfaatan hukum, demikian juga sebaliknya.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar