BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pengetahuan merupakan
hasil proses dari usaha manusia untuk tahu. Berbedanya cara dalam mendapatkan
pengetahuan tersebut serta tentang apa yang dikaji oleh pengetahuan tersebut
membedakan antara jenis pengetahuan yang satu dengan yang lainnya. Pengetahuan dikembangkan manusia disebabkan dua
hal utama yakni, pertama, manusia mempunyai bahasa yang mampu mengkomunikasikan
informasi dan jalan pikiran yang melatarbelakangi informasi tersebut. Kedua
adalah kemampuan berpikir menurut suatu alur kerangka berpikir tertentu. Secara
garis besar cara berpikir seperti ini disebut penalaran, yang biasa disebut
dengan berfilsafat.
Filsafat tidak didalami dengan melakukan
eksperimen-eksperimen dan percobaan-percobaan, tetapi dengan mengutarakan
masalah secara persis, mencari solusi untuk itu, memberikan argumentasi dan
alasan yang tepat untuk solusi tertentu.
Kelahiran suatu ilmu tidak dapat dipisahkan
dari peranan filsafat, sebaliknya perkembangan ilmu memperkuat keberadaan
filsafat. Ilmu atau Sains merupakan komponenter besar yang diajarkan dalam
semua strata pendidikan. Walaupun telah bertahun-tahun mempelajari ilmu,
pengetahuan ilmiah tidak digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Ilmu dianggap
sebagai hafalan saja, bukan sebagai pengetahuan yang mendeskripsikan,
menjelaskan, memprediksikan gejala alam untuk kesejahteraan dan kenyamanan
hidup. Kini ilmu telah tercerabut dari nilai luhur ilmu, yaitu untuk
menyejahterakan umat manusia. Bahkan tidak mustahil terjadi, ilmu dan teknologi
menjadi dibencana bagi kehidupan manusia, seperti pemanasan global dan
dehumanisasi. Ilmu dan teknologi telah kehilangan rohnya yang fundamental,
karena ilmu telah mengurangi bahkan menghilangkan peran manusia, dan bahkan
tanpa disadari manusia telah menjadi budak ilmu dan teknologi. Oleh karena itu,
filsafat ilmu mencoba mengembalikan roh dan nilai luhur dari ilmu, agar ilmu tidak
menjadi boomerang bagi kehidupan manusia. Filsafat ilmu akan mempertegas bahwa
ilmu dan teknologi adalah instrument dalam mencapai kesejahteraan bukan tujuan.
Ilmu filsafat itu sangat luas lapangan pembahasannya. Tujuannya ialah
mencari hakihat kebenaran dari segala sesuatu, baik dalam kebenaran berpikir
(logika), berperilaku (etika), maupun dalam mencari hakikat atau keaslian
(metafisika). Etika baru menjadi ilmu bila kemungkinan-kemungkinan etis
(asas-asas dan nilai-nilai tentang yang dianggap baik dan buruk) yang begitu
saja diterima dalam suatu masyarakat dan sering kali tanpa disadari menjadi
bahan refleksi bagi suatu penelitian sistematis dan metodis. Etika di sini sama
artinya dengan filsafat moral. Manusia mempunyai
seperangkat pengetahuan yang bisa membedakan antara benar dan salah, baik dan
buruk. Namun penilaian ini hanya bisa dilakukan oleh orang lain yang melihat
kita. Orang lain yang mampu memberikan penilaian secara objektif dan tuntas,
dan pihak lain yang melakukan penilaian sekaligus memberikan arti adalah
pengetahuan yang disebut filsafat. Filsafat berhubungan dengan kehidupan
sehari-hari kita
Mempelajari filsafat ilmu menyerukan
agar kita memilki komitmen intelektual terhadap problema peradaban kontemporer,
mengeksplorasi potensi filsafat yang memiliki visi dan perspektif yang lebih
mampu menyentuh isu-isu kemanusiaan dan kebudayaan pada umumnya. Kesadaran
bahwa kini filsafat dan kebudayaan Barat modern telah membonceng imperialisme
politik dan ekonomi Barat didukung oleh keunggulan sains dan teknologi mereka,
telah membelenggu cara berpikir manusia modern umumnya. Telah 300 tahun
ditanamkan bahwa filsafat itu adalah semata pelayan sains positivistik
(materialisme ilmiah), bahwa filsafat terbatas pada olah nalar menganalisis
bahasa, bahwa berfilsafat itu identik dengan berpandangan skeptisisme yang
menolak kebenaran universal, bahwa filsafat tidak berhubungan dengan isu-isu
moral dan kemanusiaan. Dalam alam pemikiran postmodernis, Filsafat,
dalam maknanya yang asli sebagai ‘cinta kebijaksanaan’, sesungguhnya telah
mati, dan ia telah bermetamorfose menjadi miso-sophy (‘benci
kebijaksanaan’).
B. Rumusan Masalah
Adapun Rumusan Masalah pada pembahasan
makalah ini sebagai berikut:
Bagaimana Hubungan Filsafat Ilmu Terhadap Krisis
Kemanusiaan?
C. Tujuan
Saya
menyusun makalah yang bertemakan “Peran
Filsafat Ilmu Terhadap Krisis Kemanusiaan” adalah agar Saya dapat lebih mengetahui
bagaimana sebenarnya “Peran Filsafat Ilmu Terhadap Krisis Kemanusiaan”, serta
agar Saya dapat membagi ilmu pengetahuan
yang telah saya dapatkan kepada rekan-rekan mahasiswa seangkatan setelah
melakukan tahap perangkuman dari beberapa buku dan situs internet sebagai acuan
saya. Saya berharap dengan makalah ini, rekan-rekan mahasiswa dapat mengerti
dan memahami “Hubungan Filsafat Ilmu Terhadap Krisis Kemanusiaan”.
BAB III
PEMBAHASAN
A. Defenisi
Filsafat, Ilmu, Dan Krisis Kemanusiaan Secara Umum
a.
Defenisi Filsafat Secara Umum.
Filsafat
adalah pandangan hidup seseorang atau sekelompok orang yang merupakan konsep
dasar mcngenai kehidupan yang dicita-citakan. Filsafat juga diartikan sebagai
suatu sikap seseorang yang sadar dan dewasa dalam memikirkan segala sesuatu
secara mendalam dan ingin melihat dari segi yang luas dan menyeluruh dengan
segala hubungan.
Adapula yang mengatakan filsafat
adalah studi tentang seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran manusia secara
kritis dan dijabarkan dalam konsep mendasar. Filsafat tidak didalami
dengan melakukan eksperimen-eksperimen dan percobaan-percobaan, tetapi dengan
mengutarakan masalah secara persis, mencari solusi untuk itu, memberikan
argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu.
b.
Defenisi Ilmu Secara Umun
Ilmu adalah seluruh usaha
sadar untuk menyelidiki, menemukan, dan meningkatkan pemahaman manusia
dari berbagai segi kenyataan dalam alam manusia. Segi-segi ini dibatasi agar
dihasilkan rumusan-rumusan yang pasti. Ilmu memberikan kepastian dengan
membatasi lingkup pandangannya, dan kepastian ilmu-ilmu diperoleh dari
keterbatasannya.
Definisi
ilmu bergantung pada cara kerja indra masing-masing individu dalam menyerap
pengetahuan dan juga cara berpikir setiap individu dalam memproses pengetahuan
yang diperolehnya. Selain itu, definisi ilmu bisa berlandaskan aktifitas yang
dilakukan ilmu itu sendiri.
C.
Krisis Kemanusiaan
Krisis adalah suatu keadaan dimana terjadinya peralihan dari
keadaan lama menuju keadaan baru yang belum pasti. Misalnya, metode lama telah
ditinggalkan, tetapi metode baru belum sepenuhnya dapat digunakan, sehingga
yang terjadi adalah kebingungan, karena belum adanya metodologi baru yang
memadai.
Krisis
kemanusiaan merupakan suatu peristiwa atau runtutan peristiwa ancaman kritis
terhadap kesehatan, keamanan, dan keberadaan atau eksistensi suatu komunitas
atau suatu kelompok besar dalam suatu wilayah luas.
Jadi
mengahadapi hal tersebut mungkin dengan berfikir juga memberi kemungkinan manusia untuk memperoleh pengetahuan,
dalam tahapan selanjutnya pengetahuan itu dapat menjadi fondasi penting bagi
kegiatan berfikir yang lebih mendalam, mengamalkan serta mengaplikasikannya ke arah
kehidupan yang lebih baik.
B. Hubungan Filsafat
Ilmu Terhadap Krisis Kemanusiaan
Seperti
di jelaskan pada pendahuluan bahwa dalam
kehidupan ini semua manusia pasti semua sebelum melakukan sesuatu itu, mereka selalu
akan berpikir dan walaupun mungkin hanya sedikit merenung, tetapi itu adalah merupakan bukti nyata bahwa mereka
itu telah berfilsafat. Maka dengan berfilsafat ini sehingga lambat laun
memunculkan atau melahirkan banyak ilmu, yang mana tujuan murninya untuk memberikan banyak kemudahan dalam
mencapai sesuatu yang mereka jalani dalam kehidupannya. Sebagai wujud nyatanya
yang tampak jelas dalam dunia modern yang telah maju ini, ialah adanya
kontradiksi-kontradiksi yang mengganggu kebahagiaan orang dalam hidup. Kemajuan
industri telah dapat menghasilkan alat-alat yang memudahkan hidup, memberikan
kesenangan dalam hidup, sehingga kebutuhan-kebutuhan jasmani tidak sukar lagi
untuk memenuhinya. Seharusnya kondisi dan hasil kemajuan itu membawa
kebahagiaan yang lebih banyak kepada manusia dalam hidupnya. Akan tetapi suatu
kenyataan yang menyedihkan ialah bahwa kebahagiaan itu ternyata semakin jauh,
hidup semakin sukar dan kesukaran-kesukaran material berganti dengan kesukaran
mental. Beban jiwa semakin berat, kegelisahan dan ketegangan serta tekanan
perasaan lebih sering terasa dan lebih menekan sehingga mengurangi kebahagiaan.
Masyarakat
modern telah berhasil mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi canggih
untuk mengatasi berbagai masalah hidupnya, namun pada sisi lain ilmu
pengetahuan dan teknologi tersebut tidak mampu menumbuhkan moralitas (ahlak)
yang mulia. Dunia modern saat ini, termasuk di indonesia ditandai oleh gejalah
kemerosotan akhlak yang benar-benar berada pada taraf yang menghawatirkan. Kejujuran,
kebenaran, keadilan, tolong menolong dan kasih sayang sudah tertutup oleh
penyelewengan, penipuan, penindasan, saling menjegal dan saling merugikan.
Untuk memahami gerak perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
sedemikian itu, maka kehadiran filsafat ilmu berusaha mengembalikan ruh dan
tujuan luhur ilmu agar ilmu tidak menjadi bomerang bagi kehidupan umat manusia.
Dalam
masyarakat beragama, ilmu adalah bagian yang tak terpisahkan dari nilai-nilai
ketuhanan karena sumber ilmu yang hakiki adalah dari Tuhan. Manusia adalah
ciptaan Tuhan yang paling tinggi derajatnya dibandingkan dengan mahluk yang
lain, karena manusia diberi daya berfikir, daya berfikir inilah yang menemukan
teori-teori ilmiah dan teknologi. Pada waktu yang bersamaan, daya pikir
tersebut menjadi bagian yang tak dapat dipisahkan dari keberadaan manusia
sebagai mahluk Tuhan. Sehingga dia tidak hanya bertanggung jawab kepada sesama
manusia, tetapi juga kepada pencipta-Nya.
Ilmu
merupakan cabang pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri tertentu. Meskipun secara
metodologis ilmu tidak membedakan antara ilmu alam dengan ilmu-ilmu sosial,
namun karena permasalahan-permasalahan teknis yang bersifat khas, maka filsafat
ilmu ini sering dibagi menjadi filsafat ilmu-ilmu alam dan filsafat ilmu-ilmu
sosial. Pembagian ini lebih merupakan pembatasan masing-masing bidang yang
ditelaah, yakni ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial, dan tidak mencirikan
cabang filsafat yang otonom. Ilmu memang berbeda dengan pengetahuan-pengetahuan
secara filsafat, namun tidak terdapat perbedaan yang prinsipil antara ilmu-ilmu
alam dan ilmu-ilmu sosial, di mana keduanya mempunyai ciri-ciri yang sama.
Sebab baik filsafat dan sains kedua-duanya dasarnya kemampuan berfikir. Dalam
filsafat ilmu ada tiga aspek atau landasan yaitu sebagai berikut:
a.
Aspek atau Landasan Ontologis
Filsafat
ilmu ingin menjawab pertanyaan laandasan ontologis ilmu; obyek apa yang
ditelaah? Bagaimana korelasi antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia
(seperti berfikir, merasa dan mengindera) yang menghasilkan ilmu? Dari
landasan ontologis ini adalah dasar untuk mengklasifikasi pengetahuan dan
sekaligus bidang-bidang ilmu. Noeng Muhadjir dalam bukunya flsafat ilmu
mengatakan, ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan
tertentu. Ontologi membahas tentang yang ada yang universal, menampilkan
pemikiran semesta universal. Ontologi berusaha mencari inti yang termuat dalam
setiap kenyataan, atau dalam rumusan Lorens Bagus, menjelaskan yang ada yang
meliputi semua realitas dalam semua bentuknya.
Menurut
Jujun S. Suriasumantri dalam Pengantar Ilmu dalam Perspektif mengatakan,
ontologi membahas apa yang ingin kita ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu,
atau dengan perkataan lain, suatu pengkajian mengenai teori tentang ada.
b.
Aspek atau Landasan Epistemologis
Tiang
penyangga yang kedua adalah Epistimologi ilmu atau teori
pengetahuan. Ini merupakan cabang filsafat yang berurusan dengan hakekat dan
lingkup pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dan dasar-dasarnya serta pertanggung
jawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki.
Dengan
demikian adanya perubahan pandangan tentang ilmu pengetahuan mempunyai peran
penting dalam membentuk peradaban dan kebudayaan manusia, dan dengan itu pula
tampaknya, muncul semacam kecenderungan yang terjalin pada jantung setiap ilmu
pengetahuan dan juga para ilmuwan untuk lebih berinovasi untuk penemuan dan
perumusan berikutnya.
Kecenderungan
yang lain ialah adanya hasrat untuk selalu menerapkan apa yang dihasilkan ilmu
pengetahuan, baik dalam dunia teknik mikro maupun makro. Dengan demikian
tampaklah bahwa semakin maju pengetahuan, semakin meningkat keinginan manusia,
sampai memaksa, merajalela, dan bahkan membabi buta. Akibatnya ilmu pengetahuan
dan hasilnya tidak manusiawi lagi, bahkan cenderung memperbudak manusia sendiri
yang telah merencanakan dan menghasilkannya. Kecenderungan yang kedua inilah
yang lebih mengerikan dari yang pertama, namun tidak dapat dilepaskan dari
kecenderungan yang pertama.
Kedua
kecenderungan ini secara nyata paling menampakkan diri dan paling mengancam
keamanan dan kehidupan manusia, dewasa ini dalam bidang lomba persenjataan,
kemajuan dalam memakai serta menghabiskan banyak kekayaan bumi yang tidak dapat
diperbaharui kembali, kemajuan dalam bidang kedokteran yang telah mengubah
batas-batas paling pribadi dalam hidup manusia dan perkembangan ekonomi yang
mengakibatkan melebarnya jurang kaya dan miskin. Ilmu pengetahuan dan teknologi
akhirnya mau tak mau mempunyai kaitan langsung ataupun tidak, dengan setruktur
sosial dan politik yang pada gilirannya berkaitan dengan jutaan manusia yang
kelaparan, kemiskinan, dan berbagai macam ketimpangan yang justru menjadi
pandangan yang menyolok di tengah keyakinan manusia akan keampuhan ilmu
pengetahuan dan teknologi untuk menghapus penderitaan manusia.
Kedua
kecenderungan di atas yang ternyata condong menjadi lingkaran setan ini perlu
dibelokkan manusia sendiri sehingga tidak menimbulkan ancaman lagi. Kesadaran
akan hal ini sudah muncul dalam banyak lingkungan ilmuwan yang prihatin akan
perkembangan teknik, industri, dan persenjataan yang membahayakan masa depan
kehidupan umat manusia dan bumi kita. Untuk itulah maka epistimologi ilmu
bertugas menjawab pertanyaan; bagaimana proses pengetahuan yang masih
berserakan dan tidak teratur itu menjadi ilmu? Bagaimana prosedur dan
mekanismenya?
c.
Aspek atau Landasan Axiologis
Tiang
penyangga filsafat ilmu yang ketiga adalah axiologis ilmu; Ilmu adalah sesuatu
yang paling penting bagi manusia, karena dengan ilmu semua keperluan dan kebutuhan
manusia bisa terpenuhi secara lebih cepat dan lebih mudah. Dan merupakan
kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa peradaban manusia sangat berhutang
pada ilmu. Ilmu telah banyak mengubah wajah dunia seperti hal memberantas
penyakit, kelaparan, kemiskinan dan berbagai wajah kehidupan yang sulit
lainnya. Dengan kemajuan ilmu juga, manusia bisa merasakan kemudahan lainnya
seperti transportasi, pemukiman, pendidikan, komonikasi, dan lain sebagainya.
Singkatnya ilmu merupakan sarana untuk membantu manusia dalam mencapai tujuan
hidupnya.
Kemudian
timbul pertanyaan, apakah ilmu selalu merupakan berkah dan penyelamat bagi
manusia? Dan memang sudah terbukti, dengan kemajuan ilmu pengetahuan, manusia
dapat menciptakan berbagai bentuk teknologi. Misalnya pembuatan bom yang pada
awalnya untuk memudahkan kerja manusia, namun kemudian dipergunakan untuk
hal-hal yang bersifat negatif yang menimbulkan malapetaka bagi manusia itu
sendiri. Di sinilah ilmu harus diletakkan secara proposional dan memihak pada
nilai-nilai kebaikan dan kemanusiaan. Sebab, jika ilmu tidak berpihak kepada
nilai-nilai, maka yang terjadi adalah bencana dan malapetaka.
Setiap
ilmu pengetahuan akan menghasilkan teknologi yang kemudian akan diterapkan pada
masyarakat. Proses ilmu pengetahuan menjadi sebuah teknologi yang benar-benar
dapat dimanfaatkan oleh masyarakat tentu tidak terlepas dari siilmuwannya.
Seorang ilmuwan akan dihadapkan pada kepentingan-kepentingan pribadi ataukah
kepentingan masyarakat akan membawa pada persoalan etika keilmuan serta masalah
bebas nilai. Untuk itulah tanggungjawab seorang ilmuwan haruslah dipupuk dan
berada pada tempat yang tepat, tanggung jawab akademis, dan tanggung jawab
moral.
Untuk
lebih mengenal apa yang dimaksud dengan aksiologi, berikut adalah keterangan
mengenainya. Aksiologi berasal dari perkataan axios (Yunani) yang berarti nilai
dan logos yang berarti teori. Jadi aksiologi adalah teori tentang nilai.
Sedangkan arti aksiologi yang terdapat di dalam bukunya Jujun S. Suriasumantri
Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer bahwa aksiologi diartikan sebagai teori
nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.
Dari
definisi-definisi mengenai aksiologi di atas, terlihat dengan jelas bahwa
pemasalahan yang utama adalah mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah suatu
yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang
dinilai. Teori tentang nilai dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan
estetika.
Etika
menilai perbuatan manusia, maka lebih tepat dikatakan bahwa obyek formal etika
adalah norma-norma kesusilaan manusia, dan dapat dikatakan pula bahwa etika
mempelajari tingkah laku manusia ditinjau dari segi baik dan tidak baik di
dalam suatu kondisi yang normatif, yaitu suatu kondisi yang melibatkan norma-norma.
Sedangkan estetika berkaitan dengan nilai tentang pengalaman keindahan yang
dimiliki oleh manusia terhadap lingkungan dan fenomena disekelilingnya.
Nilai
itu objektif ataukah subjektif adalah sangat tergantung dari hasil pandangan
yang muncul dari filsafat. Nilai akan menjadi subjektif, apabilah subjek sangat
berperan dalam segala hal, kesadaran manusia menjadi tolak ukur segalanya; atau
eksistensinya, maknanya dan faliditasnya tergantung pada reaksi subjek yang
melakukan penilaian tanpa mempertimbangkan apakah ini bersifat psikis atau
fisis. Dengan demikian, nilai subjektif akan selalu memperhatikan berbagai
pandangan yang dimiliki akal budi manusia, seperti perasaan, intelektualitas
dan hasil nilai subjektif selalu akan mengarah kepada suka atau tidak suka,
senang atau tidak senang.
Nilai
itu objektif, jika ia tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai.
Nilai objektif muncul karena adanya pandangan dalam filsafat tentang
objektivisme. Objektivisme ini beranggapan pada tolak ukur suatu gagasan berada
pada objeknya, sesuatu yang memiliki kadar secara realitas benar-benar ada.
Kemudian bagaimana dengan nilai dalam ilmu pengetahuan. Seorang ilmuwan
haruslah bebas dalam menentukan topik penelitiannya, bebas dalam melakukan
eksprimen-eksprimen. Kebebasan inilah yang nantinya akan dapat mengukur
kualitas kemampuannya. Ketika seorang ilmuwa bekerja, dia hanya tertuju pada
proses kerja ilmiahnya dan tujuan agar penelitiannya berhasil dengan baik.
Nilai objektif hanya menjadi tujuan utamanya, dia tidak mau terikat dengan
nilai-nilai subjektif, seperti nilai-nilai dalam masyarakat, nilai agama, nilai
adat, dan sebagainya. Bagi seorang ilmuwan kegiatan ilmiahnya dengan kebenaran
ilmiah adalah yang sangat penting.
Untuk
itulah netralitas ilmu terletak pada epistimologinya saja, artinya tanpa
berpihak kepada siapapun, selain kepada kebenaran yang nyata. Sedangkan secara
ontologis dan aksiologis, ilmuwan harus mampu menilai mana yang baik dan yang
buruk, yang pada hakekatnya mengharuskan seorang ilmuwan mempunyai landasan
moral yang kuat. Tanpa ini seorang ilmuwan akan lebih merupakan seorang momok
yang menakutkan.
Etika
keilmuan merupakan etika normatif yang merumuskan prinsip-prinsip etis yang
dapat dipertanggung jawabkan secara rasional dan dapat diterapkan dalam ilmu
pengetahuan. Tujuan etika keilmuan adalah agar seorang ilmuwan dapat menerapkan
prinsip-prinsip moral, yaitu yang baik dan menghindarkan dari yang buruk
kedalam prilaku keilmuannya, sehingga ia dapat menjadi ilmuwan yang dapat
mempertanggung jawabkan prilaku ilmiahnya. Etika normatif menetapkan
kaidah-kaidah yang mendasari pemberian penilaian terhadap perbuatan-perbuatan
apa yang seharusnya dikerjakan dan apa yang seharusnya terjadi serta menetapkan
apa yang bertentangan dengan yang seharusnya terjadi. Pokok persoalan dalam
etika keilmuan selalu mengacu kepada “elemen-elemen” kaidah moral, yaitu hati
nurani, kebebasan dan tanggung jawab, nilai dan norma yang bersifat
utilitaristik (kegunaan). Hati nurani disini adalah penghayatan tentang yang baik
dan yang buruk dan dihubungkan dengan prilaku manusia. Nilai dan norma yang
harus berada pada etika keilmuan adalah nilai dan norma moral. Lalu apa yang
menjadi kriteria pada nilai dan norma moral itu? Nilai moral tidak berdiri
sendiri, tetapi ketika ia berada pada atau menjadi milik seseorang, ia akan
bergabung dengan nilai yang ada seperti nilai agama, hukum, budaya, dan
sebagainya. Yang paling utama dalam nilai moral adalah yang terkait dengan
tanggung jawab seseorang. Norma moral menentukan apakah seseorang berlaku baik
ataukah buruk dari sudut etis. Bagi seorang ilmuwan, nilai dan norma moral yang
dimilikinya akan menjadi penentu, apakah ia sudah menjadi ilmuwan yang baik
atau belum. Penerapan ilmu pengetahuan yang telah dihasilkan oleh para ilmuwan,
apakah itu berupa teknologi, ataupun teori-teori emansipasi masyarakat,
mestilah memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan, nilai agama, nilai adat, dan
sebagainya. Ini berarti ilmu pengetahuan tersebut sudah tidak bebas nilai.
Karena ilmu sudah berada di tengah-tengah masyarakat luas dan masyarakat akan
mengujinya. Oleh karena itu, tanggung jawab lain yang berkaitan dengan
teknologi di masyarakat, yaitu menciptakan hal yang positif. Namun, tidak semua
teknologi atau ilmu pengetahuan selalu memiliki dampak positif. Di bidang
etika, tanggung jawab seorang ilmuwan, bukan lagi memberi informasi namun harus
memberi contoh. Dia harus bersifat objektif, terbuka, menerima kritik, menerima
pendapat orang lain, kukuh dalam pendirian yang dianggap benar, dan berani mengakui
kesalahan. Semua sifat ini, merupakan implikasi etis dari proses penemuan
kebenaran secarah ilmiah.
Di
tengah situasi di mana nilai mengalami kegoncangan, maka seorang ilmuwan harus
tampil kedepan. Pengetahuan yang dimilikinya merupakan kekuatan yang akan
memberinya keberanian. Hal yang sama harus dilakukan pada masyarakat yang
sedang membangun, seorang ilmuwan harus bersikap sebagai seorang pendidik
dengan memberikan contoh yang baik. Tentang tujuan ilmu pengetahuan, ada
beberapa perbedaan pendapat antara filosof dengan para ulama. Sebagian
berpendapat bahwa pengetahuan sendiri merupakan tujuan pokok bagi orang yang
menekuninya, dan mereka ungkapkan tentang hal ini dengan ungkapan, ilmu
pengetahuan untuk ilmu pengetahuan, seni untuk seni, sastra untuk sastra, dan
lain sebagainya. Menurut mereka ilmu pengetahuan hanyalah sebagai objek kajian
untuk mengembangkan ilmu pengetahuan sendiri. Sebagian yang lain cenderung
berpendapat bahwa tujuan ilmu pengetahuan merupakan upaya para peneliti atau
ilmuwan menjadikan ilmu pengetahuan sebagai alat untuk menambahkan kesenangan
manusia dalam kehidupan yang sangat terbatas dimuka bumi ini. Menurut pendapat
yang kedua ini, ilmu pengetahuan itu untuk meringankan beban hidup manusia atau
untuk membuat manusia senang, karena dari ilmu pengetahuan itulah yang nantinya
akan melahirkan teknologi. Teknologi jelas sangat dibutuhkan oleh manusia untuk
mengatasi berbagai masalah, dan lain sebagainya. Sedangkan pendapat yang
lainnya cenderung menjadikan ilmu pengetahuan sebagai alat untuk meningkatkan
kebudayaan dan kemajuan bagi umat manusia secara keseluruan.
Dalam
perkembangannya, ilmu pengetahuan telah menjadi suatu sistem yang
kompleks, dan manusia terperangkap didalamnya, sulit dibayangkan manusia bisa
hidup layak tanpa ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan tidak lagi membebaskan
manusia, tetapi manusia menjadi terperangkap hidupnya dalam sistem ilmu
pengetahuan. Manusia telah menjadi bagian dari sistemnya, manusia juga menjadi
objeknya dan bahkan menjadi kelinci percobaan ilmu pengetahuan. Ilmu
pengetahuan telah melahirkan makhluk baru yang sistemik, mempunyai mekanisme
yang kadangkala tidak bisa dikontrol oleh manusianya sendiri. Suatu mekanisme
sistemik yang semakin hari semakin kuat, makin besar dan makin kompleks, dan rasanya
telah menjadi suatu dunia baru di atas dunia yang ada ini.
Meninjau
atau mengamati realitas kehidupan masyarakat dewasa ini, terjadi konflik antara
etika pragmatik dengan etika pembebasan manusia. Etika pragmatik berorentasi
pada kepentingan-kepentingan elite sebagai wujud kerja sama denga ilmu
pengetahuan dan kekerasan yang cenderung menindas untuk kepentingannya sendiri
yang bersifat materialistik. Etika pembebasan manusia, bersuifat spiritual dan
universal itu bisa muncul dari kalangan ilmuwan itu sendiri, yang bisa jadi
karena menolak etika prakmatik yang dirasakan telah menodai prinsip-prinsip
ilmu pengetahuan dan agama yang menjunjung tinggi kebenaran, kebebasan, dan
kemandirian. Kemajuan ilmu pengetahuan dikembalikan pada tujuan semula
yaitu filsafat ilmunya sebagai sarana untuk memakmurkan umat manusia dimuka
bumi bukan malah sebaliknya mengancam eksistensi manusia.
Diharapkan
perkembangan ilmu yang begitu sepektakuler di satu sisi dan nilai-nilai agama
yang statis dan universal disisi lain dapat dijadikan arah dalam menentukan
perkembangan ilmu selanjutnya. Sebab, tanpa adanya bimbingan agama terhadap
ilmu dikhawatirkan kehebatan ilmu dan teknologi tidak semakin mensejahterahkan
manusia, tetapi justru merusak dan bahkan menghancurkan kehidupan mereka.
Sebagaimana firman Allah SWT dalam surah Asy-Syu’ra ayat 183 sebagai berikut yang Artinya “Dan
janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela
di muka bumi dengan membuat kerusakan”.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sebagai kesimpulan bahwa menurut sudut pandang
pemikiran penulis bahwa “Filsafat Ilmu” sangat berguna untuk
memahami gerak perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedemikian itu,
maka kehadiran filsafat ilmu berusaha mengembalikan ruh dan tujuan luhur ilmu, melatih
berfikir radikal tentang hakekat ilmu, melatih berfikir reflektif di dalam
lingkup ilmu, menghindarkan diri dari memutlakan kebenaran ilmiah, dan
menganggap bahwa ilmu sebagai satu-satunya cara memperoleh kebenaran,
menghidarkan diri dari egoisme ilmiah, yakni tidak menghargai sudut pandang
lain di luar bidang ilmunya,
agar
ilmu tidak menjadi bomerang bagi kehidupan umat manusia. Sebab ilmu pengetahuan mendorong kemajuan
teknologi. Kemajuan teknologi dapat berakibat positif maupun negatif. Supaya
ilmu pengetahuan dan teknologi berdampak positif bagi manusia perlu
dikendalikan oleh etika. Etika merupakan penilaian terhadap kebudayaan.
Perubahan kebudayaan dapat terjadi akibat perkembangan ilmu dan teknologi.
Perubahan kebudayaan dapat mengakibatkan terjadinya krisis etika sehingga dapat
terjadi krisis kemusiaan.
B. Saran
Adapun saran yang dapat di kutip sebagai
berikut:
Bahwa setelah menyimak dan membahas lebih jauh lagi
terhadap makalah ini, saya menyadari bahwa Filsafat Ilmu itu sangat berperan
sekali untuk mengatasi krisis kemanusiaan,jadi menjadi saran saya yaitu
muda-mudahan kedepannya ilmu ini dapat di gunakan untuk kelangsungan kehidupan
umat manusia yang lebih baik lagi, bukan dengan ilmu itu kita menggunakannya
untuk membawa kemudaratan bagi sesama manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Adisusilo, Sutarjo. 1983. Problematika
Perkembangan Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta. Kanisius
Bakhtiar
A. 2007. Filsafat Ilmu.
Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada
Mangunwijaya YB. 1999. Pasca Indonesia Pasca Einstein;
Eseiesei Tentang
Kebudayaan IndonesiaAbad ke-21. Yogyakarta. Kanisius
Kebudayaan IndonesiaAbad ke-21. Yogyakarta. Kanisius
Soewardi H. 1999. Roda Berputar Dunia Bergulir Kognisi Baru Tentang Timbul-Tenggelamnya
Sivilisasi. Bandung. Bakti Mandiri
http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=13&jd=Teori%96teori+Kebenaran+Dalam+Ilmu+Pengetahuan&dn=20080702084806
Ellul
J. 1964. The Technological Society. New York. Alfred Knapf
Sastrapratedja.
1980. Sari Sejarah Filsafat Barat. Yogyakarta. Kanisius
Tidak ada komentar:
Posting Komentar