BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Sesudah menjalani kehidupan sebagai bangsa yang
merdeka sampai sekarang ini, sampailah bangsa kita pada masa-masa kritis yang
cukup mendasar. Kita tidak lagi sekadar menghadapi persoalan-persoalan yang
berkadar kuantitatif lagi, melainkan sudah bernilai kualitatif dalam membentuk
hukum (peraturan perundang-undangan), melaksanakan, dan menegakkannya.
Jika kita membandingkannya dengan
keadaan pada tahun 1945 dengan sekarang
lebih maju lagi. Indonesia memang sudah berubah sangat besar dan
perubahan itu berlangsung dengan cepat dan semakin cepat. Hukum pun dibuat
untuk mencapai perkembangan tersebut, walaupun sangat tersengal-sengal.
Sebagaimana kita sadari bersama bahwa hukum berusaha mencapai perkembangan
tersebut, namun ternyata masyarakatnya belum siap untuk melaksanakan hukum yang
dibuatnya itu. Padahal hukum harus ada dalam masyarakat dengan tugas menjaga
ketertiban, keamanan, dan memberikan keadilan.
UUD 1945 merupakan sumber
dari keseluruhan politik hukum nasional Indonesia. Tetapi dalam prakteknya,
hukum seringkali menjadi cermin dari kehendak pemegang kekuasaan politik
sehingga tidak sedikit orang memandang bahwa hukum sama dengan kekuasaan. UUD
1945 mengakui hak-hak (termasuk hak milik) dan kebebasan
individu sebagai hak asasi, tetapi sekaligus meletakkan kepentingan
bersama diatas kepentingan pribadi. Hal ini memang benar, tetapi kenyataan dalam lapangan pembuatan peraturan
perundang-undangan banyak tujuan-tujuan kepentingan pribadi yang di
selubungkan.
Di dalam batang tubuh UUD 1945
tidak hanya mengandung sistem politik, akan tetapi juga sistem ekonomi, sistem
hukum dan sosial. Dimana
kesemuanya berjalan saling bersamaan dan saling keterkaitan. Hal yang menjadi fokus ada pada sistem jaminan sosial nasional,di mana
sebagai wujudnya baru-baru ini pemerintah kita itu telah mengeluarkan UU NO.40
Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional yang berguna untuk menjamin
hak setiap warga negaranya secara adil dan merata. Namun hal ini hanya menjadi
angan-angan pemerintah saja, dimana di dalamnya banyak yang tidak sesuai dengan
yang di harapkan oleh oleh warga negara khususnya masyarakat kecil yang hidup
terbatas dengan keadaan ekonomi yang sangat mencekik leher .
B.
RUMUSAN MASALAH
Lahirnya UU No. 40 Tahun 2004 tentang
Sistem Jaminan Sosial Nasional, merupakan wujud kepedulian pemerintah terhadap
warga negaranya. Jaminan sosial bagi seluruh rakyat dalam sebuah negara
adalah perkara yang sangat penting. Melalui program itu bisa dipastikan bahwa
seluruh rakyat akan mendapatkan kesejahteraan sosial baik dalam bidang
kesehatan, pendidikan maupun jaminan hari tua. Hal ini pula yang mungkin
menjadi tujuan oleh UU Nomor 40 Tahun
2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Namun
dalam UU justru mengatur tentang asuransi sosial yang akan dikelola oleh Badan
Pelaksana Jaminan Sosial.
Adapun yang menjadi rumusan masalahnya
adalah sebagai berikut:
Bagaimana politik hukum yang
terkandung dalam UU NO. 40 Tahun 2004 tentang
Sistem Jaminan Sosial Nasional ?
C. TUJUAN
Tujuan penulisan dalam makalah
ini adalah untuk mengetahui politik hukum yang terkandung dalam UU NO. 40 Tahun
2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.
BAB
II
PEMBAHASAN
POLITIK
HUKUM YANG TERKANDUNG DALAM UU NO.40 TAHUN 2004
TENTANG
SISTEM JAMINAN SOSIAL NASIONAL
Beberapa ahli hukum telah banyak yang mendefinisikan makna dari politik
hukum. Dari beberapa definisi yang ada dapatlah dibuat rumusan yang sederhana
bahwa politik hukum itu adalah arahan atau garis resmi yang dijadikan dasar
pijak dan cara untuk membuat dan melaksanakan hukum dalam rangka mencapai
tujuan bangsa dan negara. Dapat juga dikatakan bahwa politik hukum merupakan
upaya menjadikan hukum sebagai proses pencapaiana tujuan negara.
Selain itu, politik hukum juga merupakan jawaban atas pertanyaan tentang
mau diapakan hukum itu dalam perspektif formal kenegaraan guna mencapai tujuan
negara. Dengan demikian, politik hukum mengandung hukum atau legal policy
lembaga-lembaga negara dalam pembuatan hukum dan sekaligus sebagai alat untuk
menilai dan mengkritisi apakah sebuah hukum yang dibuat sudah selesai atau
tidak dengan kerangka piker legal policy
tersebut untuk mencapai tujuan negara.
Secara
historis pula pengertian politik hukum itu adalah menjaga hak-hak asasi manusia,menjamin
keadilan masyarakat, mewujudkan kepentingan umum, dan menjaga kepentingan umum
dan individu secara seimbang.
Dengan
pengertian-pengertian di atas sesungguhnya politik itu sangat baik untuk di
terapkan dalam untuk mencapai tujuan negara sebenarnya.
Namun hal ini
yang terjadi sekarang, politik hukum akhir-akhir ini sudah jauh berbeda
dengan tujuan negara indonesia pada umumnya dikatakan bahwa tujuan (yang sering disamakan
dengan cita-cita) bangsa Indonesia adalah membentuk masyarakat adil dan makmur
berdasarkan Pancasila. Tetapi di luar rumusan yang popular dan biasanya disebut
sebagai tujuan bangsa itu, tujuan negara Indonesia secara definitif tertuang di
dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 yang meliputi:
1.
Melindungi
segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia
2.
Memajukan
kesejahteraan umum
3.
Mencerdaskan
kehidupan bangsa
4.
Ikut
melaksanakan ketertiban dunia, berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial.
Politik hukum dalam pembuatan peraturan Perundang-undangan sekarang ini
sudah tidak murni lagi untuk mewujudkan aspirasi dan harapan masyarakat pada
umunya. Dimana masing-masing pembuat produk UU di negara ini selalu
mengutamakan dan mementingkan kepentingan apa yang di harapkan dalam UU ini
jika nanti di berlakukan. Akhirnya tidak jarang UU yang di hasilkan sesuai
dengan harapan masyarakat.
Sebagai salah satunya UU yang di hasilkan adalah Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang
Sistem Jaminan Sosial Nasional.
UU ini secara fundamental telah mengubah kewajiban negara
dalam memberikan jaminan sosial menjadi kewajiban rakyat, serta mengubah
jaminan sosial menjadi asuransi sosial. Padahal makna ‘jaminan sosial’ jelas
berbeda sama sekali dengan ‘asuransi sosial’. Jaminan sosial adalah kewajiban
Pemerintah dan merupakan hak rakyat, sedangkan dalam asuransi sosial, rakyat
sebagai peserta harus membayar premi sendiri. Itu artinya rakyat harus
melindungi dirinya sendiri. Pada jaminan sosial, pelayanan kesehatan diberikan
sebagai hak dengan tidak membedakan usia dan penyakit yang diderita, sedangkan
pada asuransi sosial peserta yang ikut dibatasi baik dari segi usia, profesi
maupun penyakit yang diderita. Disamping itu, akad dalam asuransi termasuk akad
batil dan diharamkan oleh syara’.
UU ini juga telah memposisikan hak sosial rakyat berubah menjadi
komoditas bisnis. Bahkan dengan sengaja telah membuat aturan untuk
mengeksploitasi rakyatnya sendiri demi keuntungan pengelola asuransi. Artinya,
apabila hak sosial rakyat didekati sebagai komoditi bisnis, maka posisi rakyat
yang sentral substansial direduksi menjadi marjinal residual. Sementara
kepentingan bisnis justru ditempatkan menjadi yang sentral substansial. Ini
tentu sangat berbahaya karena berarti negara telah mempertaruhkan nasib jutaan
rakyatnya kepada kuasa pasar, dimana dalam era globalisasi ekonomi sekarang ini
pasar mengemban semangat kerakusan yang predatorik yang dikendalikan oleh
kekuatan kapitalis global yang bakal merongrong hak sosial rakyat melalui
badan-badan usaha asuransi. Hal ini sudah terbukti di mana-mana, termasuk di
Indonesia di mana institusi bisnis asuransi multi nasional saat ini tengah
mengincar peluang bisnis besar di Indonesia yang dibukakan.
Sepertinya melihat kenyataan UU No. 40 Tahun 2004 ini sangat tidak
berpihak untuk kepentigan masyarakat, pada skema yang tercantum di UU ini terlihat setiap warga negara harus membayar
iuran untuk melindungi dirinya. “Kalau begini ini pelanggaran serius terhadap
konstitusi. Pemerintah mengubah hak dasar setiap warga negara menjadi
kewajiban. Jaminan sosial nasional
(jamsosnas) seharusnya adalah wujud dari hak sosial rakyat dan tanggung jawab
pemerintah kepada rakyat sesuai konstitusi. Dalam hal ini UUD 1945 dengan
jelas menyatakan bahwa jaminan sosial adalah hak seluruh rakyat Indonesia dan
wajib dipenuhi pemerintah. “Pada UU ini sepertinya menyiratkan bukan jaminan
sosial yang akan diterima rakyat, melainkan kewajiban memiliki asuransi sosial.
Jaminan
sosial merupakan perkara yang penting bagi rakyat karena hal ini akan menjamin
kesejahteraan sosial baik dalam pendidikan, kesehatan, bahkan jaminan hari tua.
UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dijadikan tumpuan
hukum demi memperoleh kesejahteraan yang diharapkan. Namun, sungguh malang
ternyata UU ini justru mengubah hak sosial rakyat menjadi kewajiban rakyat.
UU
Nomor 40 Tahun 2004 memaknai jaminan sosial sebagai asuransi sosial. Padahal
keduanya adalah sesuatu yang berbeda. Jaminan sosial merupakan kewajiban negara
dan merupakan hak rakyat. Sedangkan dalam asuransi sosial, rakyat sebagai
peserta harus membayar premi sendiri. Hal ini menunjukkan rakyat harus
melindungi dirinya sendiri. Bahkan rakyat diharuskan menanggung beban sesama
rakyat. Itulah prinsip kegotong-royongan UU ini sebagaimana penjelsan dinyatakan dalam UU ini pada pasal 4 bahwa “prinsip kebersamaan antar peserta dalam menanggung
beban biaya jaminan sosial, yang diwujudkan dengan kewajiban setiap peserta
membayar iuran sesuai dengan tingkat gaji, upah, atau penghasilannya”. Kalau sudah begini di mana tanggung jawab negara
kepada rakyatnya.
Negara seakan sudah lupa dengan
kewajibannya terhadap rakyatnya. Karena secara Logika yang dipakai, melalui UU
ini dengan sendirinya akan memaksa buruh, PNS, TNI/Polri berpendapatan rendah.
Alasan yang kemudian dipakai untuk memaksa rakyat miskin berasuransi yang
seharusnya sudah menjadi kewajiban negara untuk menyejahterakan mereka melalui
APBN.
Berikut ini Pasal-pasal kontroversial
yang terkandung di dalam UU No. 40 Tahun 2004 sebagai berikut:
a) Bab I Ketentuan Umum
1. Pasal 1 ayat (5) Berbunyi “Bantuan iuran adalah iuran yang dibayar oleh
Pemerintah bagi fakir miskin dan orang tidak mampu sebagai peserta program jaminan
sosial”. Rumusan ayat ini sungguh sangatlah sempurna.Tetapi realisasinya dan
prakteknya di lapangan ini sama sekali tidak ada. Banyak rakyat indonesia yang
hidup penuh dengan rantai kemiskinan bahkan tidak jarang saudara-saudara kita
yang menderita busung lapar.
2. Pasal 1 ayat (7) Berbunyi “Dana Jaminan Sosial adalah
dana amanat milik seluruh peserta yang merupakan himpunan iuran beserta hasil
pengembangannya yang dikelola oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial untuk
pembayaran manfaat kepada peserta dan pembiayaan operasional penyelenggaraan
program jaminan sosial”. Berdasarkan dalil ayat ini mengandung arti bahwa
sebenarnya dana jaminan sosial ini di amanatkan oleh rakyat yang bersifat wajib
untuk pemerintah supaya mengambil keuntungan di dalamnya. Kenapa bersifat wajib
sebab seandainya setiap peserta yang tatkala adalah warga negara indonesia yang
tidak bisa membayar iuran akan dikenakan sanksi, apapun itu sanksinya baik
berat maupun ringan pasti berakibat merugikan peserta warga negara ini sebagai peserta.
b) Bab II Asas, Tujuan, dan Prinsip Penyelenggaraan
Pasal 3 Berbunyi “Sistem Jaminan Sosial Nasional
bertujuan untuk memberikan jaminan terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang
layak bagi setiap peserta dan/atau anggota keluarganya”. Bunyi pasal sangat
bertentangan dengan pasal 2 dimana
bunyinya “Sistem Jaminan Sosial Nasional diselenggarakan berdasarkan asas
kemanusiaan, asas manfaat, dan asas keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia. Kalau kita menyimak dimana sebenarnya keadilan itu terletak apakah
pada Badan Jaminan Sosial atau pada rakyat Indonesia. Sebenarnya sangat adil
bagi rakyat Indonesia yang mempunyai pendapatan ekonomi lebih, tetapi bagaimana
dengan rakyat Indonesia yang tidak bisa masuk jadi peserta ini di karenakan
tidak bisa membayar iuran, jadi tidak bisa mendapatkan keadilan itu, sangat
disayangkan dan memperihatinkan Badan dan Program yang di bentuk Pemerintah sendiri
memperlakukan rakyatnya seperti ini, dan ini menimbulkan pemahaman baru yang
ternyata keadilan di Indonesia itu harus wajib dibeli setiap rakyat indonesia
baru bisa mersakan keadilan.
c) Bab IV Dewan jaminan Sosial Nasional
Pasal
7 butir (a) mengatakan bahwa “Dewan Jaminan Sosial Nasional melakukan kajian dan penelitian yang
berkaitan dengan penyelenggaraan jaminan sosial”. Sebenarnya sudah tepat bahwa Dewan Jaminan Sosial Nasional diharuskan untuk
melaksanakan printah ayat UU tersebut. Tetapi menurut kajian saya upaya ini
belum efektif pelaksanaannya. sebagai contoh Pelayanan salah satu Badan Jaminan
Sosial Nasional yang terdapat pada pasal 5 butir (d) yaitu Perusahaan perseroan
(PERSERO) Asuransi Kesehatan Indonesia (ASKES) dimana prakteknya itu belum bisa
mensejahterakan pengguna jasa ini. Sebab di lapangan yang terjadi bahwa
pelayanan ASKES ini sering terjadi diskriminasi artinya bahwa Rumah sakit yang
melayani kerja sama pelayanan Jasa ASKES ini tidak selalu di utamakan atau
sering menerlantarkan pasien pengguna jasa ASKES ini, Pihak-pihak Rumah Sakit
lebih mengutamakan pasien yang menggunakan biaya pengobatan pribadi daripada
ASKES. Mungkin kita sempat bertanya, mengapa prakteknya demikian? Mungkin
karena pasal 9 UU No. 40 Tahun 2004 tentang Jaminan sosial nasional ini belum
pernah di suarakan terhadap para badan pemerintah yang menyelenggarakan jasa
ini , tetapi ternyata rakyat Indonesia
sudah lelah menyampaikan masalah ini kepada Badan pemerintah yang
menyelenggarakan jasa tersebut, namun jarang menpedulikannya. Karena salah satu
alasan yang menonjol adalah pemerintah penyelenggara Jaminan Sosial Nasional
ini sering terlambat membayarkan dana yang di gunakan si pasien tersebut.
Berdasarkan penelusuran praktek Jaminan
Sosial belum bisa menjalan sebagai asas, tujuan, dan prinsip penyelenggaraanya.
Pemerintah jika betul-betul menganggap dirinya sebagai pelayan publik dalam hal
ini rakyat indonesia harus lebih giat lagi meningkatkan pelayanannya, jangan
hanya menunggu iuran-iuran dari warga negara indonesia yang mana seharusnya
dalam pembukaan UUD 1945 harus mengamanahkan untuk mensejaterahkan rakyat bukan
menjadi menyiksa rakyat dengan seenaknya memberi sanksi jika tidak bisa
membayar iuran untuk Jaminan sosial yang digunakan.
d) Bab
V Kepesertaan dan Iuran
Sesuai Bab V Pasal 17 (1, 2. 3) UU No.
40 Tahun 2004 tentang Sistim Jaminan Sosial Nasional yakni (1) Tiap peserta
wajib membayar iuran yang besarnya berdasarkan % upah atau suatu jumlah nominal
tertentu, (2) Pemberi kerja wajib memungut iuran dari pekerjanya dan menambahkan
iuran yang menjadi kewajibannya dan membayarkan ke Badan penyelenggara Jaminan
Sosial secara berkala, (3) Besarnya iuran ditetapkan untuk setiap jenis program
secara berkala sesuai dengan perkembangan sosial ekonomi dan kebutuhan dasar
hidup yang layak.
Hal
ini sangat bertentangan dengan perintah Konstitusi bahwa (1) Pemerintah harus
melindungi bangsa dan tanah tumpah darah Indonesia (Pembukan UUD ‘45), (2)
Setiap orang mempunyai hak atas jaminan sosial (UUD ‘45 Pasal 28H ayat 3,
termasuk PNS, buruh tani, PolRI, TNI, sektor informal dll), (3) Perlindungan,
pemajuan, penegakan serta pemenuhan hak azasi manusia adalah tanggung jawab
Negara terutama pemerintah (UUD ‘45 Pasal 28 I ayat 4), (4) Fakir miskin dan
anak terlantar dipelihara oleh Negara (UUD ‘45 Pasal 34 ayat 1), (5) Negara
mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan
masyarakat lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan (UUD ‘45
Pasal 34 ayat 2).
Menurut
pendapat pakar ekonomi kerakyatan yaitu (1) Isu utamanya adalah menarik iuran
wajib tiap bulan dari tiap warga Negara Indonesia tanpa pandang bulu dengan
alasan untuk Jaminan Sosial (kecuali masyarakat sangat miskin, dibayar Negara),
(2) Bagi warga Negara yang tidak membayar iuran wajib maka akan dikenakan
sanksi, (3) Pemberi kerja (majikan) harus memungut iuran wajib dari buruh yang
dipekerjakan, (4) UU No. 40/2004 tentang SJSN yang keberadaannya erat sekali
atas sponsorship kepentingan pengusaha asing, yang mana isinya bukan tentang
Jaminan Sosial tetapi berisi cara mengumpulkan dana masyarakat secara paksa, termasuk dana APBN untuk masyarakat
miskin, (6) Dana2 tersebut akan digunakan untuk kepentingan bisnis kelompok
tertentu termasuk perusahaan asing, yang
sulit dipertanggungjawabkan, padahal dana ini dikumpulkan dari seluruh rakyat.
e) Bab VI Program Jaminan Nasional,
Ø Bagian ke satu Jenis Program Jaminan Sosial
1. Pasal 18 berbunyi ”Jenis program jaminan sosial
meliputi:jaminan kesehatan, jaminan, kecelakaan kerja, jaminan hari tua,
jaminan pensiun, dan jaminan
kematian”.Di mana pasal Pasal 17 ayat (1) Setiap peserta wajib membayar iuran
yang besarnya ditetapkan berdasarkan persentase dari upah atau suatu jumlah nominal tertentu.
Hal
tersebut bertentangan pasal 28H ayat (3) UUD 1945 bahwa” setiap orang berhak
atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai
manusia yang bermanfaat”. Disni menjelaskan negara bertanggungjawab atas semua
penyelenggaraan jaminan sosial ini untuk diperuntukan terhadap rakyat indonesia
secara keseluruhan tanpa di beda-bedakan seperti yang di tuangkan dalam pasal
28I ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi “setiap orang berhak bebas dari perlakuan
yang bersifat diskriminatif atas apapun dan hendak mendapatkan perlindungan
terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu (amandemen III) . Tetapi hal ini kita mengambil kesimpulan di dalam
pasal 17 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2004, yang di anggap setiap orang itu dalam
hal ini rakyat indonesia adalah yang membayar iuran saja, terus dimana
kewajiaban negara yang di tuangkan dalam
pasal 28H ayat (3) UUD 1945 dan dimana pula penerapan kewjiban negara terhadap
pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Ini berarti negara sama saja mendiskriminasikan
rakyatnya sendiri.
Pemerintah
seharusnya lebih memperhatikan,
menghargai, dan lebih mengedepankan dan terlebih utama lagi harus
mengutamakan Hak Asasi rakyatnya karena pemerintah sudah mengeluarkan aturannya
dalam pasal 28I ayat (4) UUD 1945 bahwa ”perlindungan, pemajuan, penegakan, dan
pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah”.
Pasal ini sudah jelas lebih mengutamakan seluruh pemenuhan hak asasi manusia
dalam hal ini yang menjadi rakyat Indonesia, bukan pemerintah mengeluarkan
sebuah produk peraturan UU untuk merebut dan merampas hak asasi rakyatnya.
Pemerintah
di dalam produk UU No. 40 Tahun 2004 Tentang
Jaminan Sosial Nasional, bisa di katakan menjual hak-hak asasi
rakyatnya. Bukankah dulu negara berdiri dengan dasar falsafah Pancasila yang
mana Negara Indonesia ini berdiri dengan megah sangat menjunjung nilai-nilai dan
hak-hak asasi manusia. Apakah ini makna dari pasal 28J ayat (2) UUD 1945 bahwa “Dalam menjalankan hak dan
kebebasanya, setiap orang wajib tunduk
kepada pembatasan yang di tetapkan dengan undang-undang dengan maksud
semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan
orang lain dan memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai
agama, keamanan, dan ketertiban umum, dalam suatu masyarakat demokratis”. Pemerintah
sudah menyalahi makna dari pasal ini bahwa ‘setiap orang dalam hal ini yang di
maksud rakyat indonesia dipaksa tunduk untuk di rebut hak-haknya kemudian
menjualnya kepada badan-badan pemberi jasa jaminan sosial nasional ini, kemudian di paksa untuk
membayar iuran tiap bulan. Inikah yang di maksud dengan menjamin pengakuan
serta penghormatan pemerintah atas hak dan kebebasan rakayatnya. Menurut logika
saja UU No. 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional jauh dari
keadilan, UU ini sudah tidak lagi sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai
agama, keamanan, dan ketertiban umum, dalam suatu masyarakat demokratis.
Ø Bagian ke dua Jaminan Kesehatan
2. Pasal 20 ayat (3) UU No.40 Tahun 2004 Tentang Jaminan
sosial Nasional berbunyi “ Setiap
peserta dapat mengikutsertakan anggota
keluarga yang lain yang menjadi tanggungannya dengan penambahan iuran”. Peserta
yang mengikuti Jaminan sosial Nasional ini sifatnya perorangan. Jika peserta
ini mengikutkan anggota keluarganya harus menambahkan iuran dari pendapatannya
sendiri. Jadi pemerintah menganggap dan menempatkan rakyatnya siapa yang
berbuat itu yang bisa melangsungkan kehidupannya, sementara yang tidak bisa
berbuat maka tidak akan mendapatkan hak itu. Pemerintah membiarkan rakyatnya hidup
dengan penuh kesengsaraan. Dengan demikian di mana UU ini meletakan makna Pasal
2 bahwa “Sistem Jaminan Sosial Nasional diselenggarakan berdasarkan asas
kemanusiaan, asas manfaat, dan asas keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia”. Peserta dan anggota keluarga yang lainnya adalah warga negara
indonesia yang sah sebagaimana yang di atur dalam UUD 1945 pasal 26 ayat (1)
dan (2) berbunyi : ayat (1) “yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa
indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang
sebagi warga negara” dan ayat (2) “penduduk adalah warga negara Indonesia dan
orang yang bertempat tinggal di Indonesia”. Mengingat kandungan pasal ini sudah
jelas bahwa peserta itu warga negara indonesia tanpa di beda-bedakan statusnya
mereka semua ingin berhak untuk melangsungkan kehidupannya. Hal ini di tegaskan
lagi dalam UUD 1945 dalam pasal 28A
bahwa “setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan
kehidupannya”(amandemen II). Di dalam
pasal menginstruksikan setiap warga negaranya
berhak untuk mengembangkan dan
mempertahankan hidup dan kehidupannya yang mana dalam prosesnya pasti
membutuhkan segala jaminan dari pemerintahnnya dengan bantuan yang sesuai di
butuhkan oleh warga negara itu sendiri tanpa harus di korbankan hak-hak mereka
sesungguhnya, supaya tercipta
kesejahteraan hidup lahir dan batin dengan di perlakukan khusus untuk
memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan
keadilan. Dengan demikian setiap peserta atau setiap orang berhak mempunyai hak
milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh di ambil alih secara
sewenag-wenang oleh siapapun termasuk dalam jaminan sosial ini harusnya ini
menjadi hak semua warga tetapi apa daya pemerintah berkata lain. Ini sama saja
ada pepata “tidak ada makan gratis disiang hari”.
3. Pasal 23 ayat (4) bahwa “Dalam hal peserta membutuhkan
rawat inap di rumah sakit, maka kelas pelayanan di rumah sakit diberikan
berdasarkan kelas standar”. Masyarakat pasti mungkin kita bingung pelayanan
yang standar itu bagaimana, karena pengalaman banyak warga negara pemegang
Jaminan ASKES banyak yang di korbankan haknya, seharusnya mendapatkan kelas
yang lebih memenuhi persyaratan yang layak, tetapi malah di terbengkalaikan.
Pihak Rumah Sakit yang melakukan kerjasama dengan ASKES ini tidak begitu
mempedulikan pasiennya.
4. Pasal 27 ayat (1)
bahwa “Besarnya iuran jaminan kesehatan untuk peserta penerima upah
ditentukan berdasarkan persentase dari upah sampai batas tertentu, yang secara
bertahap ditanggung bersama oleh pekerja dan pemberi kerja”. Pasal ini
memberikan jaminan sosialnya tergantung besarnaya upah yang di bayarkan. Pasal
ini juga memberikan bantuan dananya secara terbatas walaupun si peserta ini
sudah membayar iuran. Pasal ini jika sampai pada waktu yang di tentukan oleh
badan penjamin jaminan sosial ini bisa saja pada tahap tertentu peserta di putuskan penanggunganya. Ini
sudanya nyata-nyata pemerintah menjadikan rakyatnya itu bahan tempat pemerasan.
Iuran di bayar terus badan jaminan nasional dengan seenaknya memutuskan
tanggungjawabnya.
f) Pasal 28 ayat (1) bahwa “Pekerja yang memiliki anggota
keluarga lebih dari 5 (lima) orang dan ingin mengikutsertakan anggota keluarga
yang lain wajib membayar tambahan iuran” Pasal ini bersifat diskriminasi, pemerintah
membatasi penerima jaminan sosial ini. UU seakan tidak mau ambil rugi walau
rakyat sudah bekerja memeras keringat tetapi sebagai peserta juga untuk harus
untuk mendapatkan keadilan semua di dalam keluarganya, jika apabila mengikutkan
keluaganya melewati batas yang di tentukan dalam UU ini tersebut lebih pesertanya, maka peserta harus menambah iuran lagi. Sungguh ironis UU
yang di sahkan pemerintah ini. UU ini seakan-akan hilang dari keadilan
semata-mata berusaha semaksimal mungkin untuk mengeruk dan memeras uang rakyat
demi kesejahteraan mereka penyelenggara Jaminan sosial ini.
g) BAB VII Pengelolaan Dana Jaminan Sosial
Pasal 51 bahwa “Pengawasan terhadap pengelolaan
keuangan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dilakukan oleh instansi yang
berwenang sesuai dengan peraturan perundangan-undangan”. Pasal ini mengamanahkan
pengawasan terhadap pengelolaan
keuangannya di serahkan secara langsung kepada penyelenggara Jaminan sosial
ini. Berarti dalam hal ini pemerintah sama saja mempertaruhkan nasib rakyatnya
kepada penyelenggara jaminan sosial ini kepada pihak swasta, sebab tetap di
atur dalam Undang-Undang tetapi jika pengelolaan keuangannya maka iuran yang di
bayarkan rakyat di kelola oleh pihak swasta, maka pasti akan banyak terjadi banyak
masalah.hingga akhirnya rakyat lagi yang di rugikan.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dengan mengkaji beberapa pasal yang terkandung dalam
Undang-Undang No.40 Tahun 2004 tentang Jaminan Sosial Nasional tersebut maka
dapat di ambil kesimpulan sebagai berikut:
a. Bahwa UU No.40 Tahun 2004 UU ini secara fundamental telah mengubah kewajiban
negara dalam memberikan jaminan sosial menjadi kewajiban rakyat, serta mengubah
jaminan sosial menjadi asuransi sosial.
b. Bahwa UU No.40 Tahun 2004 ini mengandung
politik hukum dimana UU ini telah memposisikan hak sosial rakyat berubah
menjadi komoditas bisnis. Bahkan dengan sengaja telah membuat aturan untuk
mengeksploitasi rakyatnya sendiri demi keuntungan pengelola asuransi. Artinya,
apabila hak sosial rakyat didekati sebagai komoditi bisnis, maka posisi rakyat
yang sentral substansial direduksi menjadi marjinal residual. Sementara
kepentingan bisnis justru ditempatkan menjadi yang sentral substansial. Ini
tentu sangat berbahaya karena berarti negara telah mempertaruhkan nasib jutaan
rakyatnya kepada kuasa pasar, dimana dalam era globalisasi ekonomi sekarang ini
pasar mengemban semangat kerakusan yang predatorik yang dikendalikan oleh
kekuatan kapitalis global yang bakal merongrong hak sosial rakyat melalui
badan-badan usaha asuransi.
B. SARAN
Adapun saran yang dapat di kutip sebagai berikut:
a. Bahwa prosedur dalam pembuatan
perundang-undangan,pembuatnya haruslah
jangan mempolitikan undang-undang ini lebih menguntungkan kepentingan pribadi
dari pada kepentingan rakyat.
b. Bahwa jika pemerintah jika hendak mengadakan proses
dalam membuat UU haruslah di sesuaikan dengan kebutuhan dan kepentingan rakyat.
DAFTAR
PUSTAKA
Soehino, Politik Hukum, (BPFE Yogyakarta. 2010). Bambang
Poernomo, Pola Dasar Teori dan Asas Umum Hukum Pidana, (Liberty,
Yogyakarta, 1988).
Sadjipto Rahardjo, Hukum Dan Perubahan Sosial: Suatu Tinjauan
Teoritis Dan Pengalaman-Pengalaman Di Indonesia, (Alumni, Bandung, 1983).
Hadinoto, Panji R, Solusi Kontroversi
UU No. 40 Tahun 2004 Tentang SJSN, Jakarta 45. 2012
http://www.politik-legislatif
. blogspot.com. (Diakses Kamis,
14 Agustus 2012
Mastufah, 2011,
Kapitalisme Abaikan Jaminan Kesejahteraan Masyarakat, Kabar Indonesia.2012
Desember 2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar