Selasa, 30 April 2013

POLITIK HUKUM INDONESIA


BAB I
PENDAHULUAN
A.  LATAR BELAKANG
          Sesudah menjalani kehidupan sebagai bangsa yang merdeka sampai sekarang ini, sampailah bangsa kita pada masa-masa kritis yang cukup mendasar. Kita tidak lagi sekadar menghadapi persoalan-persoalan yang berkadar kuantitatif lagi, melainkan sudah bernilai kualitatif dalam membentuk hukum (peraturan perundang-undangan), melaksanakan, dan menegakkannya.
Jika  kita membandingkannya dengan keadaan pada tahun 1945 dengan sekarang  lebih maju lagi. Indonesia memang sudah berubah sangat besar dan perubahan itu berlangsung dengan cepat dan semakin cepat. Hukum pun dibuat untuk mencapai perkembangan tersebut, walaupun sangat tersengal-sengal. Sebagaimana kita sadari bersama bahwa hukum berusaha mencapai perkembangan tersebut, namun ternyata masyarakatnya belum siap untuk melaksanakan hukum yang dibuatnya itu. Padahal hukum harus ada dalam masyarakat dengan tugas menjaga ketertiban, keamanan, dan memberikan keadilan.
UUD 1945 merupakan sumber dari keseluruhan politik hukum nasional Indonesia. Tetapi dalam prakteknya, hukum seringkali menjadi cermin dari kehendak pemegang kekuasaan politik sehingga tidak sedikit orang memandang bahwa hukum sama dengan kekuasaan. UUD 1945 mengakui hak-hak  (termasuk hak milik)  dan kebebasan individu sebagai hak asasi, tetapi sekaligus  meletakkan kepentingan bersama diatas kepentingan pribadi. Hal ini memang benar, tetapi kenyataan dalam lapangan pembuatan peraturan perundang-undangan banyak tujuan-tujuan kepentingan pribadi yang di selubungkan.
          Di dalam batang tubuh UUD 1945 tidak hanya mengandung sistem politik, akan tetapi juga sistem ekonomi, sistem hukum dan sosial. Dimana kesemuanya berjalan saling bersamaan dan saling keterkaitan. Hal yang menjadi fokus ada pada sistem jaminan sosial nasional,di mana sebagai wujudnya baru-baru ini pemerintah kita itu telah mengeluarkan UU NO.40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional yang berguna untuk menjamin hak setiap warga negaranya secara adil dan merata. Namun hal ini hanya menjadi angan-angan pemerintah saja, dimana di dalamnya banyak yang tidak sesuai dengan yang di harapkan oleh oleh warga negara khususnya masyarakat kecil yang hidup terbatas dengan keadaan ekonomi yang sangat mencekik leher .

 B. RUMUSAN MASALAH
          Lahirnya UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, merupakan wujud kepedulian pemerintah terhadap warga negaranya. Jaminan sosial bagi seluruh rakyat dalam sebuah negara adalah perkara yang sangat penting. Melalui program itu bisa dipastikan bahwa seluruh rakyat akan mendapatkan kesejahteraan sosial baik dalam bidang kesehatan, pendidikan maupun jaminan hari tua. Hal ini pula yang mungkin menjadi tujuan  oleh UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Namun dalam UU justru mengatur tentang asuransi sosial yang akan dikelola oleh Badan Pelaksana Jaminan Sosial.
         Adapun yang menjadi rumusan masalahnya adalah sebagai berikut:
Bagaimana politik hukum yang terkandung dalam  UU NO. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional ?
C. TUJUAN
         Tujuan penulisan dalam makalah ini adalah untuk mengetahui politik hukum yang terkandung dalam UU NO. 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.




BAB II
PEMBAHASAN

POLITIK HUKUM YANG TERKANDUNG DALAM UU NO.40 TAHUN 2004
TENTANG SISTEM JAMINAN SOSIAL NASIONAL

Beberapa ahli hukum telah banyak yang mendefinisikan makna dari politik hukum. Dari beberapa definisi yang ada dapatlah dibuat rumusan yang sederhana bahwa politik hukum itu adalah arahan atau garis resmi yang dijadikan dasar pijak dan cara untuk membuat dan melaksanakan hukum dalam rangka mencapai tujuan bangsa dan negara. Dapat juga dikatakan bahwa politik hukum merupakan upaya menjadikan hukum sebagai proses pencapaiana tujuan negara.
Selain itu, politik hukum juga merupakan jawaban atas pertanyaan tentang mau diapakan hukum itu dalam perspektif formal kenegaraan guna mencapai tujuan negara. Dengan demikian, politik hukum mengandung hukum atau legal policy lembaga-lembaga negara dalam pembuatan hukum dan sekaligus sebagai alat untuk menilai dan mengkritisi apakah sebuah hukum yang dibuat sudah selesai atau tidak dengan kerangka piker legal policy tersebut untuk mencapai tujuan negara.
Secara historis pula pengertian politik hukum itu adalah menjaga hak-hak asasi manusia,menjamin keadilan masyarakat, mewujudkan kepentingan umum, dan menjaga kepentingan umum dan individu secara seimbang.
Dengan pengertian-pengertian di atas sesungguhnya politik itu sangat baik untuk di terapkan dalam untuk mencapai tujuan negara sebenarnya.
 Namun hal ini  yang terjadi sekarang, politik hukum akhir-akhir ini sudah jauh berbeda dengan tujuan negara indonesia pada umumnya dikatakan bahwa tujuan (yang sering disamakan dengan cita-cita) bangsa Indonesia adalah membentuk masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Tetapi di luar rumusan yang popular dan biasanya disebut sebagai tujuan bangsa itu, tujuan negara Indonesia secara definitif tertuang di dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 yang meliputi:
1.       Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia
2.       Memajukan kesejahteraan umum
3.       Mencerdaskan kehidupan bangsa
4.       Ikut melaksanakan ketertiban dunia, berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Politik hukum dalam pembuatan peraturan Perundang-undangan sekarang ini sudah tidak murni lagi untuk mewujudkan aspirasi dan harapan masyarakat pada umunya. Dimana masing-masing pembuat produk UU di negara ini selalu mengutamakan dan mementingkan kepentingan apa yang di harapkan dalam UU ini jika nanti di berlakukan. Akhirnya tidak jarang UU yang di hasilkan sesuai dengan harapan masyarakat.
Sebagai salah satunya UU yang di hasilkan adalah  Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.
UU ini secara fundamental telah mengubah kewajiban negara dalam memberikan jaminan sosial menjadi kewajiban rakyat, serta mengubah jaminan sosial menjadi asuransi sosial. Padahal makna ‘jaminan sosial’ jelas berbeda sama sekali dengan ‘asuransi sosial’. Jaminan sosial adalah kewajiban Pemerintah dan merupakan hak rakyat, sedangkan dalam asuransi sosial, rakyat sebagai peserta harus membayar premi sendiri. Itu artinya rakyat harus melindungi dirinya sendiri. Pada jaminan sosial, pelayanan kesehatan diberikan sebagai hak dengan tidak membedakan usia dan penyakit yang diderita, sedangkan pada asuransi sosial peserta yang ikut dibatasi baik dari segi usia, profesi maupun penyakit yang diderita. Disamping itu, akad dalam asuransi termasuk akad batil dan diharamkan oleh syara’.
UU ini juga telah memposisikan hak sosial rakyat berubah menjadi komoditas bisnis. Bahkan dengan sengaja telah membuat aturan untuk mengeksploitasi rakyatnya sendiri demi keuntungan pengelola asuransi. Artinya, apabila hak sosial rakyat didekati sebagai komoditi bisnis, maka posisi rakyat yang sentral substansial direduksi menjadi marjinal residual. Sementara kepentingan bisnis justru ditempatkan menjadi yang sentral substansial. Ini tentu sangat berbahaya karena berarti negara telah mempertaruhkan nasib jutaan rakyatnya kepada kuasa pasar, dimana dalam era globalisasi ekonomi sekarang ini pasar mengemban semangat kerakusan yang predatorik yang dikendalikan oleh kekuatan kapitalis global yang bakal merongrong hak sosial rakyat melalui badan-badan usaha asuransi. Hal ini sudah terbukti di mana-mana, termasuk di Indonesia di mana institusi bisnis asuransi multi nasional saat ini tengah mengincar peluang bisnis besar di Indonesia yang dibukakan.
        Sepertinya melihat kenyataan  UU No. 40 Tahun 2004 ini sangat tidak berpihak untuk kepentigan masyarakat, pada skema yang tercantum di UU ini  terlihat setiap warga negara harus membayar iuran untuk melindungi dirinya. “Kalau begini ini pelanggaran serius terhadap konstitusi. Pemerintah mengubah hak dasar setiap warga negara menjadi kewajiban.  Jaminan sosial nasional (jamsosnas) seharusnya adalah wujud dari hak sosial rakyat dan tanggung jawab pemerintah kepada rakyat sesuai konstitusi. Dalam hal ini UUD 1945  dengan jelas menyatakan bahwa jaminan sosial adalah hak seluruh rakyat Indonesia dan wajib dipenuhi pemerintah. “Pada UU ini sepertinya menyiratkan bukan jaminan sosial yang akan diterima rakyat, melainkan kewajiban memiliki asuransi sosial.
Jaminan sosial merupakan perkara yang penting bagi rakyat karena hal ini akan menjamin kesejahteraan sosial baik dalam pendidikan, kesehatan, bahkan jaminan hari tua. UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dijadikan tumpuan hukum demi memperoleh kesejahteraan yang diharapkan. Namun, sungguh malang ternyata UU ini justru mengubah hak sosial rakyat menjadi kewajiban rakyat.
UU Nomor 40 Tahun 2004 memaknai jaminan sosial sebagai asuransi sosial. Padahal keduanya adalah sesuatu yang berbeda. Jaminan sosial merupakan kewajiban negara dan merupakan hak rakyat. Sedangkan dalam asuransi sosial, rakyat sebagai peserta harus membayar premi sendiri. Hal ini menunjukkan rakyat harus melindungi dirinya sendiri. Bahkan rakyat diharuskan menanggung beban sesama rakyat. Itulah prinsip kegotong-royongan UU ini sebagaimana penjelsan  dinyatakan dalam UU ini pada pasal 4 bahwa  “prinsip kebersamaan antar peserta dalam menanggung beban biaya jaminan sosial, yang diwujudkan dengan kewajiban setiap peserta membayar iuran sesuai dengan tingkat gaji, upah, atau penghasilannya”. Kalau sudah begini di mana tanggung jawab negara kepada rakyatnya.
Negara seakan sudah lupa dengan kewajibannya terhadap rakyatnya. Karena secara Logika yang dipakai, melalui UU ini dengan sendirinya akan memaksa buruh, PNS, TNI/Polri berpendapatan rendah. Alasan yang kemudian dipakai untuk memaksa rakyat miskin berasuransi yang seharusnya sudah menjadi kewajiban negara untuk menyejahterakan mereka melalui APBN.
Berikut ini Pasal-pasal kontroversial yang terkandung di dalam UU No. 40 Tahun 2004 sebagai berikut:
a)    Bab I Ketentuan Umum
1.    Pasal 1 ayat (5) Berbunyi “Bantuan iuran adalah iuran yang dibayar oleh Pemerintah bagi fakir miskin dan orang tidak mampu sebagai peserta program jaminan sosial”. Rumusan ayat ini sungguh sangatlah sempurna.Tetapi realisasinya dan prakteknya di lapangan ini sama sekali tidak ada. Banyak rakyat indonesia yang hidup penuh dengan rantai kemiskinan bahkan tidak jarang saudara-saudara kita yang menderita busung lapar.
2.    Pasal 1 ayat (7) Berbunyi “Dana Jaminan Sosial adalah dana amanat milik seluruh peserta yang merupakan himpunan iuran beserta hasil pengembangannya yang dikelola oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial untuk pembayaran manfaat kepada peserta dan pembiayaan operasional penyelenggaraan program jaminan sosial”. Berdasarkan dalil ayat ini mengandung arti bahwa sebenarnya dana jaminan sosial ini di amanatkan oleh rakyat yang bersifat wajib untuk pemerintah supaya mengambil keuntungan di dalamnya. Kenapa bersifat wajib sebab seandainya setiap peserta yang tatkala adalah warga negara indonesia yang tidak bisa membayar iuran akan dikenakan sanksi, apapun itu sanksinya baik berat maupun ringan pasti berakibat merugikan peserta warga negara ini sebagai peserta.
b)   Bab II Asas, Tujuan, dan Prinsip Penyelenggaraan
Pasal 3 Berbunyi “Sistem Jaminan Sosial Nasional bertujuan untuk memberikan jaminan terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap peserta dan/atau anggota keluarganya”. Bunyi pasal sangat bertentangan dengan  pasal 2 dimana bunyinya “Sistem Jaminan Sosial Nasional diselenggarakan berdasarkan asas kemanusiaan, asas manfaat, dan asas keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kalau kita menyimak dimana sebenarnya keadilan itu terletak apakah pada Badan Jaminan Sosial atau pada rakyat Indonesia. Sebenarnya sangat adil bagi rakyat Indonesia yang mempunyai pendapatan ekonomi lebih, tetapi bagaimana dengan rakyat Indonesia yang tidak bisa masuk jadi peserta ini di karenakan tidak bisa membayar iuran, jadi tidak bisa mendapatkan keadilan itu, sangat disayangkan dan memperihatinkan Badan dan Program  yang di bentuk Pemerintah sendiri memperlakukan rakyatnya seperti ini, dan ini menimbulkan pemahaman baru yang ternyata keadilan di Indonesia itu harus wajib dibeli setiap rakyat indonesia baru bisa mersakan keadilan.
c)    Bab IV Dewan jaminan Sosial Nasional
Pasal 7 butir (a) mengatakan bahwa “Dewan Jaminan Sosial Nasional  melakukan kajian dan penelitian yang berkaitan dengan penyelenggaraan jaminan sosial”. Sebenarnya sudah tepat bahwa Dewan Jaminan Sosial Nasional diharuskan untuk melaksanakan printah ayat UU tersebut. Tetapi menurut kajian saya upaya ini belum efektif pelaksanaannya. sebagai contoh Pelayanan salah satu Badan Jaminan Sosial Nasional yang terdapat pada pasal 5 butir (d) yaitu Perusahaan perseroan (PERSERO) Asuransi Kesehatan Indonesia (ASKES) dimana prakteknya itu belum bisa mensejahterakan pengguna jasa ini. Sebab di lapangan yang terjadi bahwa pelayanan ASKES ini sering terjadi diskriminasi artinya bahwa Rumah sakit yang melayani kerja sama pelayanan Jasa ASKES ini tidak selalu di utamakan atau sering menerlantarkan pasien pengguna jasa ASKES ini, Pihak-pihak Rumah Sakit lebih mengutamakan pasien yang menggunakan biaya pengobatan pribadi daripada ASKES. Mungkin kita sempat bertanya, mengapa prakteknya demikian? Mungkin karena pasal 9 UU No. 40 Tahun 2004 tentang Jaminan sosial nasional ini belum pernah di suarakan terhadap para badan pemerintah yang menyelenggarakan jasa ini , tetapi  ternyata rakyat Indonesia sudah lelah menyampaikan masalah ini kepada Badan pemerintah yang menyelenggarakan jasa tersebut, namun jarang menpedulikannya. Karena salah satu alasan yang menonjol adalah pemerintah penyelenggara Jaminan Sosial Nasional ini sering terlambat membayarkan dana yang di gunakan si pasien tersebut.
Berdasarkan penelusuran praktek Jaminan Sosial belum bisa menjalan sebagai asas, tujuan, dan prinsip penyelenggaraanya. Pemerintah jika betul-betul menganggap dirinya sebagai pelayan publik dalam hal ini rakyat indonesia harus lebih giat lagi meningkatkan pelayanannya, jangan hanya menunggu iuran-iuran dari warga negara indonesia yang mana seharusnya dalam pembukaan UUD 1945 harus mengamanahkan untuk mensejaterahkan rakyat bukan menjadi menyiksa rakyat dengan seenaknya memberi sanksi jika tidak bisa membayar iuran untuk Jaminan sosial yang digunakan.
d)   Bab V Kepesertaan dan Iuran
Sesuai Bab V Pasal 17 (1, 2. 3) UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistim Jaminan Sosial Nasional yakni (1) Tiap peserta wajib membayar iuran yang besarnya berdasarkan % upah atau suatu jumlah nominal tertentu, (2) Pemberi kerja wajib memungut iuran dari pekerjanya dan menambahkan iuran yang menjadi kewajibannya dan membayarkan ke Badan penyelenggara Jaminan Sosial secara berkala, (3) Besarnya iuran ditetapkan untuk setiap jenis program secara berkala sesuai dengan perkembangan sosial ekonomi dan kebutuhan dasar hidup yang layak.
Hal ini sangat bertentangan dengan perintah Konstitusi bahwa (1) Pemerintah harus melindungi bangsa dan tanah tumpah darah Indonesia (Pembukan UUD ‘45), (2) Setiap orang mempunyai hak atas jaminan sosial (UUD ‘45 Pasal 28H ayat 3, termasuk PNS, buruh tani, PolRI, TNI, sektor informal dll), (3) Perlindungan, pemajuan, penegakan serta pemenuhan hak azasi manusia adalah tanggung jawab Negara terutama pemerintah (UUD ‘45 Pasal 28 I ayat 4), (4) Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh Negara (UUD ‘45 Pasal 34 ayat 1), (5) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan (UUD ‘45 Pasal 34 ayat 2).
Menurut pendapat pakar ekonomi kerakyatan yaitu (1) Isu utamanya adalah menarik iuran wajib tiap bulan dari tiap warga Negara Indonesia tanpa pandang bulu dengan alasan untuk Jaminan Sosial (kecuali masyarakat sangat miskin, dibayar Negara), (2) Bagi warga Negara yang tidak membayar iuran wajib maka akan dikenakan sanksi, (3) Pemberi kerja (majikan) harus memungut iuran wajib dari buruh yang dipekerjakan, (4) UU No. 40/2004 tentang SJSN yang keberadaannya erat sekali atas sponsorship kepentingan pengusaha asing, yang mana isinya bukan tentang Jaminan Sosial tetapi berisi cara mengumpulkan dana masyarakat secara paksa, termasuk dana APBN untuk masyarakat miskin, (6) Dana2 tersebut akan digunakan untuk kepentingan bisnis kelompok tertentu termasuk perusahaan asing, yang sulit dipertanggungjawabkan, padahal dana ini dikumpulkan dari seluruh rakyat.
e)    Bab VI Program Jaminan Nasional,
Ø  Bagian ke satu Jenis Program Jaminan Sosial
1.    Pasal 18 berbunyi ”Jenis program jaminan sosial meliputi:jaminan kesehatan, jaminan, kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan  jaminan kematian”.Di mana pasal Pasal 17 ayat (1) Setiap peserta wajib membayar iuran yang besarnya ditetapkan berdasarkan persentase dari upah   atau suatu jumlah nominal tertentu.
     Hal tersebut bertentangan pasal 28H ayat (3) UUD 1945 bahwa” setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermanfaat”. Disni menjelaskan negara bertanggungjawab atas semua penyelenggaraan jaminan sosial ini untuk diperuntukan terhadap rakyat indonesia secara keseluruhan tanpa di beda-bedakan seperti yang di tuangkan dalam pasal 28I ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi “setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas apapun dan hendak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu (amandemen III) . Tetapi hal ini kita mengambil kesimpulan di dalam pasal 17 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2004, yang di anggap setiap orang itu dalam hal ini rakyat indonesia adalah yang membayar iuran saja, terus dimana kewajiaban  negara yang di tuangkan dalam pasal 28H ayat (3) UUD 1945 dan dimana pula penerapan kewjiban negara terhadap pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Ini berarti negara sama saja mendiskriminasikan rakyatnya sendiri.
     Pemerintah seharusnya lebih memperhatikan,  menghargai, dan lebih mengedepankan dan terlebih utama lagi harus mengutamakan Hak Asasi rakyatnya karena pemerintah sudah mengeluarkan aturannya dalam pasal 28I ayat (4) UUD 1945 bahwa ”perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah”. Pasal ini sudah jelas lebih mengutamakan seluruh pemenuhan hak asasi manusia dalam hal ini yang menjadi rakyat Indonesia, bukan pemerintah mengeluarkan sebuah produk peraturan UU untuk merebut dan merampas hak asasi rakyatnya.
     Pemerintah di dalam produk UU No. 40 Tahun 2004 Tentang  Jaminan Sosial Nasional, bisa di katakan menjual hak-hak asasi rakyatnya. Bukankah dulu negara berdiri dengan dasar falsafah Pancasila yang mana Negara Indonesia ini berdiri dengan megah sangat menjunjung nilai-nilai dan hak-hak asasi manusia. Apakah ini makna dari pasal 28J ayat (2)  UUD 1945 bahwa “Dalam menjalankan hak dan kebebasanya, setiap orang  wajib tunduk kepada pembatasan yang di tetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum, dalam suatu masyarakat demokratis”. Pemerintah sudah menyalahi makna dari pasal ini bahwa ‘setiap orang dalam hal ini yang di maksud rakyat indonesia dipaksa tunduk untuk di rebut hak-haknya kemudian menjualnya kepada badan-badan pemberi jasa jaminan  sosial nasional ini, kemudian di paksa untuk membayar iuran tiap bulan. Inikah yang di maksud dengan menjamin pengakuan serta penghormatan pemerintah atas hak dan kebebasan rakayatnya. Menurut logika saja UU No. 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional jauh dari keadilan, UU ini sudah tidak lagi sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum, dalam suatu masyarakat demokratis.
Ø Bagian ke dua Jaminan Kesehatan
2.    Pasal 20 ayat (3) UU No.40 Tahun 2004 Tentang Jaminan sosial Nasional  berbunyi “ Setiap peserta dapat mengikutsertakan   anggota keluarga yang lain yang menjadi tanggungannya dengan penambahan iuran”. Peserta yang mengikuti Jaminan sosial Nasional ini sifatnya perorangan. Jika peserta ini mengikutkan anggota keluarganya harus menambahkan iuran dari pendapatannya sendiri. Jadi pemerintah menganggap dan menempatkan rakyatnya siapa yang berbuat itu yang bisa melangsungkan kehidupannya, sementara yang tidak bisa berbuat maka tidak akan mendapatkan hak itu. Pemerintah membiarkan rakyatnya hidup dengan penuh kesengsaraan. Dengan demikian di mana UU ini meletakan makna Pasal 2 bahwa “Sistem Jaminan Sosial Nasional diselenggarakan berdasarkan asas kemanusiaan, asas manfaat, dan asas keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Peserta dan anggota keluarga yang lainnya adalah warga negara indonesia yang sah sebagaimana yang di atur dalam UUD 1945 pasal 26 ayat (1) dan (2) berbunyi : ayat (1) “yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagi warga negara” dan ayat (2) “penduduk adalah warga negara Indonesia dan orang yang bertempat tinggal di Indonesia”. Mengingat kandungan pasal ini sudah jelas bahwa peserta itu warga negara indonesia tanpa di beda-bedakan statusnya mereka semua ingin berhak untuk melangsungkan kehidupannya. Hal ini di tegaskan lagi  dalam UUD 1945 dalam pasal 28A bahwa “setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”(amandemen II). Di dalam pasal menginstruksikan setiap warga negaranya  berhak untuk mengembangkan  dan mempertahankan hidup dan kehidupannya yang mana dalam prosesnya pasti membutuhkan segala jaminan dari pemerintahnnya dengan bantuan yang sesuai di butuhkan oleh warga negara itu sendiri tanpa harus di korbankan hak-hak mereka sesungguhnya, supaya tercipta  kesejahteraan hidup lahir dan batin dengan di perlakukan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. Dengan demikian setiap peserta atau setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh di ambil alih secara sewenag-wenang oleh siapapun termasuk dalam jaminan sosial ini harusnya ini menjadi hak semua warga tetapi apa daya pemerintah berkata lain. Ini sama saja ada pepata “tidak ada makan gratis disiang hari”.
3.    Pasal 23 ayat (4) bahwa “Dalam hal peserta membutuhkan rawat inap di rumah sakit, maka kelas pelayanan di rumah sakit diberikan berdasarkan kelas standar”. Masyarakat pasti mungkin kita bingung pelayanan yang standar itu bagaimana, karena pengalaman banyak warga negara pemegang Jaminan ASKES banyak yang di korbankan haknya, seharusnya mendapatkan kelas yang lebih memenuhi persyaratan yang layak, tetapi malah di terbengkalaikan. Pihak Rumah Sakit yang melakukan kerjasama dengan ASKES ini tidak begitu mempedulikan pasiennya.
4.    Pasal 27 ayat (1)  bahwa “Besarnya iuran jaminan kesehatan untuk peserta penerima upah ditentukan berdasarkan persentase dari upah sampai batas tertentu, yang secara bertahap ditanggung bersama oleh pekerja dan pemberi kerja”. Pasal ini memberikan jaminan sosialnya tergantung besarnaya upah yang di bayarkan. Pasal ini juga memberikan bantuan dananya secara terbatas walaupun si peserta ini sudah membayar iuran. Pasal ini jika sampai pada waktu yang di tentukan oleh badan penjamin jaminan sosial ini bisa saja pada tahap  tertentu peserta di putuskan penanggunganya. Ini sudanya nyata-nyata pemerintah menjadikan rakyatnya itu bahan tempat pemerasan. Iuran di bayar terus badan jaminan nasional dengan seenaknya memutuskan tanggungjawabnya.
f)    Pasal 28 ayat (1) bahwa “Pekerja yang memiliki anggota keluarga lebih dari 5 (lima) orang dan ingin mengikutsertakan anggota keluarga yang lain wajib membayar tambahan iuran” Pasal ini bersifat diskriminasi, pemerintah membatasi penerima jaminan sosial ini. UU seakan tidak mau ambil rugi walau rakyat sudah bekerja memeras keringat tetapi sebagai peserta juga untuk harus untuk mendapatkan keadilan semua di dalam keluarganya, jika apabila mengikutkan keluaganya melewati batas yang di tentukan dalam UU ini  tersebut lebih pesertanya, maka peserta  harus menambah iuran lagi. Sungguh ironis UU yang di sahkan pemerintah ini. UU ini seakan-akan hilang dari keadilan semata-mata berusaha semaksimal mungkin untuk mengeruk dan memeras uang rakyat demi kesejahteraan mereka penyelenggara Jaminan sosial ini.
g)   BAB VII Pengelolaan Dana Jaminan Sosial
Pasal 51 bahwa “Pengawasan terhadap pengelolaan keuangan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dilakukan oleh instansi yang berwenang sesuai dengan peraturan perundangan-undangan”. Pasal ini mengamanahkan pengawasan terhadap  pengelolaan keuangannya di serahkan secara langsung kepada penyelenggara Jaminan sosial ini. Berarti dalam hal ini pemerintah sama saja mempertaruhkan nasib rakyatnya kepada penyelenggara jaminan sosial ini kepada pihak swasta, sebab tetap di atur dalam Undang-Undang tetapi jika pengelolaan keuangannya maka iuran yang di bayarkan rakyat di kelola oleh pihak swasta, maka pasti akan banyak terjadi banyak masalah.hingga akhirnya rakyat lagi yang di rugikan.






BAB III
PENUTUP
A.  KESIMPULAN
Dengan mengkaji beberapa pasal yang terkandung dalam Undang-Undang No.40 Tahun 2004 tentang Jaminan Sosial Nasional tersebut maka dapat di ambil kesimpulan sebagai berikut:
a.    Bahwa UU No.40 Tahun 2004 UU ini secara fundamental telah mengubah kewajiban negara dalam memberikan jaminan sosial menjadi kewajiban rakyat, serta mengubah jaminan sosial menjadi asuransi sosial.
b.    Bahwa UU No.40 Tahun 2004 ini mengandung politik hukum dimana UU ini telah memposisikan hak sosial rakyat berubah menjadi komoditas bisnis. Bahkan dengan sengaja telah membuat aturan untuk mengeksploitasi rakyatnya sendiri demi keuntungan pengelola asuransi. Artinya, apabila hak sosial rakyat didekati sebagai komoditi bisnis, maka posisi rakyat yang sentral substansial direduksi menjadi marjinal residual. Sementara kepentingan bisnis justru ditempatkan menjadi yang sentral substansial. Ini tentu sangat berbahaya karena berarti negara telah mempertaruhkan nasib jutaan rakyatnya kepada kuasa pasar, dimana dalam era globalisasi ekonomi sekarang ini pasar mengemban semangat kerakusan yang predatorik yang dikendalikan oleh kekuatan kapitalis global yang bakal merongrong hak sosial rakyat melalui badan-badan usaha asuransi.
B.  SARAN
Adapun saran yang dapat di kutip sebagai berikut:
a.    Bahwa prosedur dalam pembuatan perundang-undangan,pembuatnya  haruslah jangan mempolitikan undang-undang ini lebih menguntungkan kepentingan pribadi dari pada kepentingan rakyat.
b.    Bahwa jika pemerintah jika hendak mengadakan proses dalam membuat UU haruslah di sesuaikan dengan kebutuhan dan kepentingan rakyat.



     DAFTAR PUSTAKA

Soehino, Politik Hukum, (BPFE Yogyakarta. 2010). Bambang Poernomo, Pola Dasar Teori dan Asas Umum Hukum Pidana, (Liberty, Yogyakarta, 1988).
Sadjipto Rahardjo, Hukum Dan Perubahan Sosial: Suatu Tinjauan Teoritis Dan Pengalaman-Pengalaman Di Indonesia, (Alumni, Bandung, 1983).
Hadinoto, Panji R, Solusi Kontroversi UU No. 40 Tahun 2004 Tentang SJSN, Jakarta 45. 2012
http://www.politik-legislatif . blogspot.com. (Diakses Kamis, 14 Agustus 2012
Mastufah, 2011, Kapitalisme Abaikan Jaminan Kesejahteraan Masyarakat, Kabar Indonesia.2012
            http://www.pewarta-kabarindonesia.blogspot.com. (Diakses Kamis, 14         

           Desember 2012)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar