PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Informasi menjadi salah
satu kebutuhan radikal yang harus dipenuhi setiap harinya. Media cetak yang
dulunya menjadi sumber terbesar mengalirnya informasi kini cenderung
ditinggalkan. Hanya duduk di depan sebuah komputer sudah bisa menjelajahi
setiap sudut dunia. Perkembangan teknologi informasi sudah membuat dunia seakan
hanya selebar sebuah layar komputer. Kemajuan ilmu pengetahuan menciptakan
teknologi yang mempengaruhi pola pikir dan pola hidup manusia. Setiap produk
dari teknologi tersebut bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia
sebagai produsen sekaligus konsumen informasi.
Namun kemudahan ini
tentu tidak bisa dihindarkan dari bahaya laten yang akan selalu mengikuti
setiap manfaat. Mudah dan cepatnya didapatkan sebuah informasi dalam hitungan
detik menuntut juga konsekuensi mudah dan cepatnya dilakukan kejahatan
informasi di dunia maya. Faktanya saat ini kemajuan teknologi berbanding lurus
dengan meningkatnya kriminal. Salah satu yang menjadi langganan terjadinya
tindak pidana adalah penggunaan komputer dalam penyalahgunaan informasi data di
dunia cyber.
“Salah satu kemajuan
terknologi informasi yang diciptakan pada akhir abad ke-20 adalah internet”[1]. Jaringan komputer-komputer yang saling terhubung membuat hilangnya
batas-batas wilayah. Dunia maya menginternasionalisasi dunia nyata. Dunia cyber
yang sering disebut dunia maya menjadi titik awal akselerasi distribusi
informasi dan membuat dunia internasional menjadi borderless (tanpas
batas). “Teknologi informatika saat ini menjadi pedang bermata dua, karena
selain memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan, kemajuan peradaban
dunia, sekaligus menjadi sarana efektif melawan hukum”[2]. Maka untuk menghadapi sifat melawan
hukum yang terbawa dalam perkembangan informasi data di dunia maya. Diperlukan
sebuah perlawanan dari hukum positif yang ada. “Suatu perbuatan tidak dapat
dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan
pidana yang telah ada sebelumnya” hal ini adalah asas legalitas yang
tertuang dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP). Hukum pidana merupakan salah satu instrumen dalam
menghadapi perbuatan melawan hukum. Maka perlu dikaji lebih mendalam secara
teoritik bagaimana kebijakan hukum pidana yang dalam faktanya sering kalah satu
langkah dengan tindak pidana. Dalam hal ini terhadap kejahatan penyalahgunaan
informasi data di dunia cyber.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar
belakang yang telah diuraikan maka yang menjadi rumusan masalah dalam tulisam
ini adalah :
1.
Bagaimana perkembangan
penyalahgunaan informasi data di dunia cyber ?
2.
Bagaimana kebijakan
hukum pidana terhadap kejahatan penyalahgunaan informasi data ?
C. Tujuan
1.
Untuk mengetahui
perkembangan penyalahgunaan informasi data dunia cyber
2.
Untuk mengetahui
kebijakan hukum pidana terhadap kejahatan penyalahgunaan informasi data
BAB II
TINJAUAN TEORI
Untuk mempermudah
pemahaman tulisan ini maka perlu dijelaskan secara singkat dan jelas defenisi
dari setiap kata terkait judul. Kebijakan (beschiking) adalah suatu
produk kewenangan yang sudah berbentuk aturan atau perbuatan dalam mengatur
hal-hal yang sebelumnya tidak diatur. Hukum itu bersifat memaksa dengan adanya
sanksi yang nyata dan tegas. Jika ditelaah dari bahasa Arab hukum berarti dapat
melakukan paksaan. Hukum (recht) berasal dari bahasa latin yang berarti
bimbingan atau tuntutan pemerintahan. Sedangkan hukum (ius) dalam bahasa
latin berarti mengatur atau memerintah yang berpangkal pada kewibawaan. Menurut
JCT Simorangkir dan Sastroparoto, hukum merupakan peraturan yang memaksa,
menentukan tingkah laku dalam masyarakat dibuat badan resmi dan pelanggaran
akan diberi tindakan yaitu hukuman.
Menurut Soedarto, pidana
adalah penderitaan yang sengaja dibebankan pada orang yang melakukan perbuatan
yang memenuhi syarat. Adapun unsur-unsur dari pidana adalah sebagai berikut :
1.
Pengenaan penderitaan /
nestapa / akibat yang tidak menyenangkan
2.
Diberikan secara sengaja
oleh orang / badan yang berwenang
3.
Kepada seseorang yang
telah melakukan tindak pidana.
Menurut Moeljatno hukum
pidana merupakan bagian keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara
yang mengenakan dasar dan aturan untuk menentukan perbuatan mana yang tidak
boleh dilakukan dengan ancaman pidana serta menentukan kapan dan dalam hal apa
kepada mereka yang telah melanggar dapat dikenakan pidana juga menentukan cara
pengenaan pidana dilaksanakan apabila orang yang disangka telah melanggar.
Kejahatan sesuai dengan KUHP Pasal 86 “Jika
disebut kejahatan, baik dalam arti kejahatan pada umumnya maupun dalam arti
suatu kejahatan tertentu, maka disitu termasuk pembantuan dan percobaan
melakukan kejahatan, kecuali jika dinyatakan sebaliknya oleh suatu aturan”
Kejahatan / rechtdelicten (mala perse) adalah perbuatan bersifat
melawan hukum sejak awalnya meskipun tidak diatur dalam undang-undang (UU).
Sedangkan dalam hukum dan teknologi yang disebut kejahatan adalah
penyalahgunaan komputer dengan tujuan profit, terorisme (penciptaan virus), dan
kejahatan atas globalisasi eknomi.
Penyalahgunaan adalah pemakaian suatu hal
tertentu yang tidak sesuai atau menyimpang dari fungsi dan manfaatnya.
Informasi yang dimaksudkan dalam hal ini adalah informasi elektronik. Sesuai
Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
(UU No. 11 tahun 2008 tentang ITE) Pasal 1 angka 1 bahwa :
“Informasi elektronik adalah satu atau
sekumpulan data elektronik termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara,
gambar, peta, rancangan, poto, electronic data interchange (EDI),
surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau
sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah
diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu
memahaminya”
Data adalah fakta atau
informasi yang khususnya telah diberikan melalui komputer. Sedangkan
dunia cyberadalah adalah dunia maya yang tercipta dalam hubungan
jaringan antar komputer yang sekarang ini lebih kerap dijumpai dalam internet.
Kejahatan dunia maya (cyber crime)
merujuk pada tindak pidana yang berhubungan dengan dunia maya (cyber
space) dan tindakan kejahatan yang menggunakan komputer. Saat ini
adanya yang menyamakan antara tindakcyber crime dengan tindak
kejahatan komputer, dan ada yang membedakan diantara keduanya. Cyber crimesering
juga disebut dalam istilah lain seperti kejahatan komputer, kejahatan
mayantara, kejahatan dibidang teknologi informasi, dan masih banyak lagi.
“Kejahatan komputer atau kejahatan di dunia maya adalahupaya memasuki dan atau
menggunakan fasilitas komputer tanpa izin dan dengan melawan hukum dengan atau
tanpa menyebabkan perubahan dan atau kerusakan pada fasilitas komputer yang
dimasuki atau digunakan tersebut.”[3]
Pengaturan terbaru
mengenai informasi dan transaksi elektronik dalam dunia maya sudah diatur
melalui UU lama sebelumnya yang berhubungan dengan teknologi dan informatika
selain UU No. 11 tahun 2008 tentang ITE. Meski memang masih menyimpan berbagai
kekurangan. Maka dibutuhkan langkah konkret dari melalui hukum pidana untuk
menekan angka kriminal. Dengan berlakunya UU No. 11 tahun 2008 tentang ITE
tersebut terjadi kriminalisasi terkait penyalahgunaan dan penyimpangan terkait
informasi data.
BAB III
PEMBAHASAN
A. Perkembangan Penyalahgunaan Informasi Data Di Dunia Cyber
Faktanya saat ini
perkembangan teknologi sudah mengarahkan berbagai aktifitas manusia dilakukan
sebagian besar memakai komputer. Inter-connenction network (internet)
menjadi jendela baru yang menyatukan setiap batas dan perbedaan. Tidak bisa
dipungkiri kalau internet sudah merubah lifestyle. Terdapat sebuah
fenomena bahwa :
Penggunaan komputer dengan telekomunikasi
melahirkan suatu fenomena yang mengubah konfigurasi model komunikasi
konvensional (face to face), dengan melahirkan kenyataan dalam dimensi
tiga. Jika dimensi pertama adalah kenyataan keras dalam kehidupan empiris
manusia (hard reality), dimensi kedua merupakan kenyataan dalam
kehidupan simbolik dan nilai-nilai yang dibentuk (soft reality) maka
dengan dimensi ketiga dikenal kenyataan maya (virtual reality) yang
melahirkan suatu format masyaralat lainnya.[4]
Untuk bertemu dalam
urusan apapun meski dipisahkan oleh jarak dan waktu melalui alat komunikasi
berupa telepon seluler, teleconfrence, jejaring sosial, web
camera, dan alat komuniasi antar komputer lainnya. Maka sudah bisa
dilakukan pembicaraan seakan-akan pihak yang sedang berkomunikasi
berbicara face to face. Virtual reality yang tidak
bisa dijelaskan posisinya dimana karena memang tidak kasat mata. Namun tidak
perlu dibuktikan keberadaannya, kontribusi nyatanya dalam teknologi informasi
sudah menunjukkan eksistensinya.
Kejahatan itu setua usia
manusia karena dibelahan dunia manapun ada manusia disitu terdapat kejahatan.
Realitas perkembangan teknologi juga diikuti dengan kejahatan. Mudahnya untuk
memberikan informasi secara global. Sebuah data privasi dalam bentuk dokumen,
foto, atau video bisa disalahgunakan oleh berbagai pihak ketika sudah di upload ke
internet. Bahkan hanya sekedar memakai sebuah komputer dan mengambil datanya
tanpa sepengatahuan pemilik komputer tersebut. Hal itu sudah termasuk
dalam cyber crime yang bisa saja berujuang dalam pencurian
data dan penyalahgunaan informasi data. Teknologi sangat mempunyai pengaruh besar dalam kejahatan diantaranya:
a. Meniadakan batas negara
Kejahatan dalam
penyalahgunaan informasi sudah tidak lagi hanya terjadi dalam ruang lingkup
kecil. Pencurian informasi sudah bisa dilakukan dari kutub utara ke kutub
selatan. Seorang anak kecil yang sudah mengerti dengan komputer sudah bisa
melakukan kejahatan tanpa disadarinya dengan melakukan tindakan tertentu demi
mempermudah menyelesaikan sebuah game online. Uang dari sebuah bank
di negara tertentu bisa juga tiba-tiba sudah berpindah ke rekening sebuah di
negara lain.
b. Meningkatkan modus operandi / cara melakukan kejahatan
Pencurian dengan
cara jambret, perampokan dan cara konvensional lainnya.
Kini sudah beralih dengan cara lain, pembobolan atm, penipuan melalui undian
berhadiah, pembobolan rekening, transaksi fiktif, dan cara-cara lainnya yang
memanfaat perkembangan teknologi informasi.
c.Mempercepat informasi
Berita terkait
terjadinya sebuah kejahatan di belahan dunia yang sedang menerima sinar
matahari sudah langsung bisa diterima dibelahan dunia lain yang sedang menerima
sinar bulan. Informasi yang didapatkan dengan cara ilegal mudah saja langsung
diperbanyak dan disebarluaskan ke berbagai negara bahkan bisa menjadi konsumsi
publik.
d. Melahirkan kejahatan baru
Hampir sama dengan
meningkatnya modus operandi, kejahatan lama seolah menjadi kejahatan baru.
Pencurian uang dengan cara berhadapan langsung pelaku kejahatan dengan korban.
Kini mampu dilakukan dengan mencuri uang dari satu negara ke negara lain. Tanpa
harus pergi ke negara tujuan korban tersebut.
e. Memberi dampak pada batas yurisdiksi kedaulatan hukum pidana
Kejahatan yang dilakukan
oleh pelaku pidana dari Benua Amerika berakibat di Benua Asia (kejahatan
transnasional). Hukum positif yang berlaku di negara asal korban tidak bisa
berfungsi mengikat pelaku. Kalaupun harus dikenakan sebuah akibat hukum. Maka
perjanjian ekstradisi harus ada ataupun dengan hukum pidana internasional.
B. Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Penyalahgunaan Informasi Data
Sesungguhnya segala
sesuatu perkembangan apapun yang terjadi di masyarakat Indonesia sesuai tujuan
negara maka prospeknya adalah untuk memajukan kesejahteraan umum. Hal ini demi
pengamalan nilai-nilai Pancasila yang dikristalisasi dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia tahun 1945 (UUD NRI 1945). Tujuan negara tersebut
tertuang dalam pembukaan UUD NRI 1945 paragraf ke empat.
Untuk mencapai tujuan
negara tersebut hukum pidana memiliki peran penting sebagai ultimum
remidiumterhadap kejahatan dan pelanggaran. Kemajuan dan perkembangan
teknologi, khususnya telekomunikasi dan teknologi informasi dapat merubah
tatanan organisasi dan hubungan sosial setiap individu di masyarakat. Maka
diperlukan langkah konkret untuk mengatasi fenomena tersebut.
Kriminologi adalah salah
satu cabang ilmu yang mempelajari tentang seluk beluk kriminal. Kriminologi
mempunyai peran penting dalam hukum pidana. Hasil kriminologi dapat
dimanfaatkan aparat hukum untuk menerapkan hukum pidana agar tercipta keadilan,
kepastian, dan manfaat hukum. Hasil dari kriminologi juga menjadi masukan dalam
merumuskan hukum pidana yang akan datang (ius constituendum). Berawal
dari produk kriminologi maka hukum pidana mampu mengeluarkan kebijakan dalam
melakukan kriminalisasi dan penegakan hukum.
Hukum nasional memiliki ciri-ciri sebagai
berikut :
a.
a.Kosentris
Adanya satu tangan yang
mengatur/membuat yaitu pengundang-undang
b.
Konvergen
Hukum Indonesia bersifat terbuka
terhadap perubahan dan perkembangan
c.
Tertulis
Untuk lebih menjamin kepastian
hukum.
Sesuai dengan ciri-ciri
tersebut maka akan tercipta sistematika langkah yang tepat dalam mengambil
sebuah kebijakan. Dalam mengamalkan asas legalitas maka ciri kosentris harus
dilakukan. Karena sifat konvergen yang pada faktanya saat ini menerima fenomena
perkembangan teknologi informasi. Maka kebijakan tersebut bisa dilakukan dengan
melahirkan peraturan baru atau merubah sebagian atau seluruhnya aturan lama
agar dapat beradaptasi dengan keadaan masyarakat setelah mengalami perubahan.
Mendapatkan dengan begitu cepat dan mudah
informasi adalah produk dari kemajuan teknologi. Perlu dipahami bahwa
“kemajuan dibidang teknologi akan berjalan
bersamaan dengan munculnya perubahan-perubahan didalam masyarakat dapat
mengenai nilai sosial, kaidah-kaidah sosial, pola-pola perilakuan, organisasi
dan susunan lembaga kemasyarakatan. Cicero mengatakan “ubi societies ibi ius“
dimana ada masyarakat disitu ada hukum.”[5]
Dalam masyarakat saat
ini terhadap penyalahgunaan informasi di dunia cyber terdapat
hukum pidana yang membatasi tingkah laku. Namun sayangnya atas kejahatan
tersebut dalam KUHP tidak mengatur dengan jelas pengertian kejahatan meski
dirumuskan sebagai strafbaar feit. Berbedanya setiap kapasitas
subjek hukum dalam ekonomi, moral, psikologi, dan aspek lainnya. Memberikan
cara beradaptasi yang berbeda untuk menghadapi perubahan tanpa harus
meninggalkan nilai dan moral yang sudah hidup dan berlaku. Sayangnya tetap ada
pihak yang harus beradaptasi dan menyimpang dari koridor hukum. Kembali hukum
pidana harus mampu memberikan kebijakan untuk menghadapi perilaku menyimpang
tersebut. Hukum dalam hal ini hukum pidana dibutuhkan oleh masyarakat untuk
menjadi lawan utama kejahatan. Fungsi preventif dan represif dari hukum itu
harus berlaku secara bersamaan demi mendapatkan penegakan hukum yang lebih
baik. Kejahatan dunia maya yang sudah menjadi bahasa sehari-hari disebut cyber
crime adalah bentuk baru kejahatan dengan lahirnya virtual
reality. Untuk itu bentuk-bentuk perbuatan hukum itu perlu mendapatkan
penyesuaian, seperti melakukan harmonisasi terhadap beberapa perundang-undangan
yang sudah ada, mengganti jika tidak sesuai lagi dan membentuk ketentuan hukum
baru. Selain adanya upaya penanggulangan dengan cara, proses, pembuatan
menangani kejahatan (cyber crime) dengan hukum pidana.
Hukum pidana dalam arti
subjektif (ius puniendi) mengenakan hukum pidana dengan adanya peraturan
yang mengatur hak negara dan alat kelengkapannya untuk mengancam, menjatuhkan,
dan melaksanakan hukuman terhadak subjek hukum yang melanggar larangan atau
perintah yang telah ditentukan dalam hukum pidana dalam arti objektif (ius
poenale). Daam konteksnya bahwa sudah ada kebijakan hukum pidana yang dapat
digunakan untuk menanggulangi cyber crime terutama dalam
penyalahgunaan informasi. KUHP, Undang-Undang Nomor 8 tahun 1992 tentang
Perfilman, Undang-Undang Nomor 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi,
Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, Undang-Undang Nomor 32 tahun
2002 tentang Penyiaran, Undang-Undang Nomor 44 tahun 2008 tentang Pornografi,
Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Namun tentu setiap kebijakan tersebut memiliki kelemahan dan kelebihan. Saat
ini pengaturan mengenai yurisdiksi tidak diatur dengan jelas serta perlunya
pengaturan lebih jelas dengan pertanggungjawaban dari subjek hukum terutama
korporasi. Kelemahan tersebut menuntut kebijakan formulasi hukum yang mudah dan
tepat dalam penanggulangan kejahatan pada umumnya serta penyalahgunaan
informasi pada khususnya. Dalam pembentukan kebijakan hukum pidana tersebut
haruslah memperhatikan dengan baik karakteristik dari cyber crime yang
berbasis pada teknologi informasi yang terjadi di dunia maya dan bersifat
transnasional. Dengan langkah awal kriminalisasi, maka penentuan yurisdiksi,
subjek dan objek tindak pidana, perumusan tindak pidana, perumusan
pertanggungjawaban pidana, perumusan sanksi pidana, dan perumusan sistem
pemidanaan harus dilakukan dengan tetap sasaran. Mengingat kejahatan dunia maya
tidak bisa dilawan dengan cara dunia nyata. Orientasi dari formulasi kebijakan
pidana yang baru juga harus jauh ke depan memikirkan kemungkinan besar dampak
buruk bentuk kejahatan baru. Tidak semata-mata hanya memikirkan untuk
melahirkan aturan baru memang. Tetapi juga harus dimaksimalkan upaya
penanggulangan dan pencegahan dengan instrumen hukum yang ada saat ini.
Memaksimalkan Faktanya kejahatan tradisonal yang sekarang menjadi konvensional
ternyata mampu melahirkan kejahatan dunia maya yang memerlukan cara baru dalam
penanggulangannya. Bagaimana dengan kejahatan dunia maya saat ini, dimungkinkan
akan lahir bentuk kejahatan lain diluar jangkauan manusia dalam beberapa waktu
ke depannya.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada dasarnya sudah ada
kebijakan hukum pidana yang mengatur terkait penyalahgunaan informasi. Namun
dalam penegakan hukumnya masih membutuhkan tindakan yang tegas dan kesadaran
dari penegak hukum dan subjek hukum yang menjalankannya. Selain memang
kebijakan hukum pidana itu sendiri memang memiliki kelemahan dan kelebihannya
masing-masing. Terjadinya cyber crime di dunia maya
membutuhkan cyber law dan yurisdikasinya yang transnasional
juga membutuhkan penegakan hukum yang transnasional.
Kelemahan dari setiap kebijakan hukum
pidana baik dalam hukum pidana umum atau khusus dalam bentuk peraturan dan
perundang-undangan harus menjadi solusi hukum yang tepat. Dalam memenuhi kebutuhan
dan penyelesaian masalah nasional. Setiap kebijakan hukum pidana yang mengatur
mengenai kejahatan teknologi informasi tersebut diharuskan tidak ada tumpang
tindih agar dalam law inforcement tidak berbenturan realisasi
muatan materinya.
B. Saran
Tidak bisa dipungkiri
kalau realita saat ini bahwa peraturan perundang-undangan yang dijadikan
sebagai kebijakan hukum pidana menanggulangi setiap kejahatan masih belum
maksimal. Tidak efektif menjadi problem solving masalah hukum
dan kebutuhan setiap masyarakat. Masih adanya muatan materi masing-masing yang
saling over laping atau tumpang tindih. Sehingga perlu
dilakukan pembentukan kebijakan hukum pidana dengan metode yang tidak asal
jadi. Meski memang seburuk-buruknya sebuah hukum jika dilaksanakan dengan
proses dan tujuan baik tentu akan menghasilkan produk yang baik pula. Sayangnya
hukum di Indonesia sudah baik tetapi penegakan dan kesadaran hukum dari aparat
hukum dan subjek hukum yang harus diperbaiki.
Reformasi kebijakan pidana yang dilakukan
harus mampu menjawab permasalahan yang kemungkinan akan muncul di masa depan.
Hal ini demi langkah preventif besar kecilnya bentuk dan dampak kejahatan
kedepannya. Sehingga tidak terjadi upaya represif yang justru akan semakin
memperparah kondisi. Selain itu berbicara tentang realita saat ini maka dengan
segala sesuatu yang ada dalam hukum positif. Segala upaya harus dimaksimalkan
untuk mengatasi setiap masalah dan memenuhi setiap kebutuhan saat ini. Tanpa
mengesampingkan upaya lain terhadap kemungkinan kejahatan baru di masa depan.
DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku literatur
Arikunto, Suharsimi dan Jabar, Cepi
Safrudin Abdul. 2008. Evaluasi Program Pendidikan Pedoman Teoritis
Praktis Bagi Mahasiswa dan Praktisi Pendidikan (Edisi Kedua). Bumi
Aksara
Djaja, Ermansjah. 2010. Penyelesaian
Sengketa Hukum Teknologi Informasi Dan Transaksi Elektronika. Pustaka
Timur. Yogyakarta
Manthovani, Reda. 2006. Problematika
dan Solusi Penanganan Kejahatan Cyber di Indonesia. PT Malibu. Jakarta
Ramli, Ahmad M.. 2004. Cyber Law
dan HAKI dalam Sistem Hukum di Indonesia. PT Refika Aditama. Bandung
Sitompul, Asril. 2001. Hukum Internet
(Pengenalan mengenai Masalah Hukum di Cyberspace). PT Citra Aditya Akti.
Bandung
Soekanto, Soerjono. 2006. Sosiologi
Suatu Pengantar. PT RajaGrafindo Persada. Jakarta.
Soetami, Siti. 2007. Pengantar
Tata Hukum Indonesia (Cetakan Kelima). PT Refika Aditama. Bandung
Solahuddin, 2009. Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana, Acara Pidana, & Perdata (Cetakan
Ketiga). Visimedia. Jakarta
Tangwun, Rodiyah. 2011. Teknik Perundang-undangan.
Badan Penerbitan Universitas Negeri Semarang. Semarang
Tanya, Bernard L.. 2011. Politik
Hukum Agenda Kepentingan Bersama (Cetakan Pertama). Genta Publishing.
Yogyakarta
Wagiran dan Doyin, Mukh. 2009. Bahasa
Indonesia Pengantar Penulisan karya Ilmiah (Cetakan Pertama).
Universitas Negeri Semarang. Semarang
Widyopramono. 1994. Kejahatan di
Bidang Komputer. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta
Makalah, artikel, dan karya ilmiah
Haryadi, Dwi. 2007. Kebijakan
Formulasi Hukum Pidana Terhadap Penanggulangan Cyberporn dalam Rangka
Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia. Disertasi. Universitas Diponegoro
Web
Muarif, Syamsul. 2010. Menunggu
Lahirnya Cyber Law, dalam http//www.cybernews.cbn.id, diakses tanggal 18
Oktober 2010, 22:00 WIB
Hamzah, Andi. 2009. Upaya Pencegahan dan
Penanggulangan Kejahatan Internet (Cybercrime) di Indonesia. http://andi-hamzah.blogspot.com/2009/10/upaya-pencegahan-dan-penanggulangan.html diakses tanggal 18 Juni 2012 pukul 10:41 WIB
Peraturan perundang-undangan
Mahkamah Konstitusi. 2011. Undang-Undang
Negara Republik Indonesia tahun 1945, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24
tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 tahun 2011 tentang perubahan atas
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi. Jakarta : Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi
Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik
[1] Dwi Haryadi dalam Abdul Wahid dan
Mohammad Labib. Kebijakan Formulasi Hukum Pidana Terhadap
Penanggulangan Cyberporn dalam Rangka Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia.
(Semarang. Disertasi. 2007. Universitas Diponegoro), hal. 1
[2] Ahmad M. Ramli. Cyber Law
dab HAKI dalam Sistem Hukum di Indonesia. (Bandung ; PT Refka
Aditama. 2004), hal 1
[3] Didik M. Arief Mansyur, Elisatris
Gultom, Cyber law Aspek Hukum Teknologi Informasi, (Bandung;
Reflika Aditama, 2005), hal. 8.
[4] Dwi Haryadi. Kebijakan
Formulasi Hukum Pidana Terhadap Penanggulangan Cyberporn dalam Rangka
Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia. (Semarang. Disertasi. 2007.
Universitas Diponegoro), hal. 1-2
[5] Dwi Haryadi dalam Ermansjah
Djaja. Kebijakan Formulasi Hukum Pidana Terhadap Penanggulangan
Cyberporn dalam Rangka Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia. (Semarang.
Disertasi. 2007. Universitas Diponegoro), hal. 1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar