Rabu, 17 Juli 2013

PRANATA HUKUM


PRANATA HUKUM
( Sebuah Telaah Sosiologis)

BAGIAN PERTAMA : CITA HUKUM
1. Hukum sebagai Sistem Norma dan Fungsi-fungsinya
Hukum dalam perkembangannya  tidak hanya dipakai untuk mengatur tingkah laku dan mempertahankan pola-pola kebiasaan yang sudah ada di masyarakat. Lebih dari itu, hukum mengarah kepada penggunaannya sebagai suatu sarana, seperti untuk merealisasi kebijaksanaan negara dalam bidang-bidang ekonomi, sosial budaya,  politik,  dan pertahanan-keamanan nasional sesuai dengan skala prioritas dalam pembangunan nasional” yang semua di mulai dan berkaitan erat dengan perkembangan masyarakat yang didasarkan pada perencanaan.

Pengertian Hukum
Pengertian hukum memiliki banyak segi dan bentuk sehingga sampai sekarang belum diperoleh suatu pengertian hukum yang memadai.
Hukum, secara garis besar, dapat dikelompokkan dalam tiga pengertian dasar sbb:
1.    Hukum  dipandang  sebagai  kumpulan  ide  atau  nilai  abstrak.  Konsekuensinya, metodologi hukum bersifat filosofis.
2.    Hukum dilihat sebagai suatu sistem peraturan yang abstrak. Pusat perhatian terfokus pada hukum sebagai lembaga yang benar-benar otonom, yang bisa dibicarakan sebagai subjek tersendiri yang terlepas dari kaitannya dengan hal-hal di luar peraturan tersebut. Metodologi hukum bersifat normatif-analitis.
3.    Hukum dipahami sebagai sarana untuk mengatur masyarakat. Metode yang digunakan adalah metode sosiologis. Pengertian ini mengaitkan hukum untuk mencapai tujuan-tujuan serta memenuhi kebutuhan-kebutuhan konkret dalam masyarakat.
D            isisi lain hukum hendaknya dipandang sebagai tidak lagi menjadi sosok yang terkotak-kotak atau terfragmentasikan, maka hukum harus  dilihat secara holistik dan diharapkan juga wajah hukum akan tampak dari sisi filosofis, normatif dan sosiologis

Tujuan Hukum
Ada beberapa tujuan hukum sebagai berikut:
1.  Teori etis
Teori ini mengajukan tesis bahwa hukum itu semata-mata bertujuan untuk menemukan keadilan. Isi hukum ditentukan oleh keyakinan yang etis tentang apa yang adil dan tidak adil. Hukum bertujuan untuk merealisasikan atau mewujudkan keadilan. Salah satu pendukung  teori  ini  adalah  Geny.  Menurut  teori  ini,  hakikat  keadilan  itu  terletak  pada penilaian terhadap suatu perlakuan atau tindakan.
2. Teori utilitas
Penganut teori ini, antara lain, adalah Jeremy Bentham. Ia berpendapat bahwa tujuan hukum adalah untuk menjamin kebahagiaan yang terbesar bagi manusia dalam jumlah yang sebanyak-banyaknya.Pada hakikatnya, hukum dimanfaatkan untuk menghasilkan sebesar-besarnya kesenangan atau kebahagiaan bagi sejumlah orang.
3. Teori campuran
Teori ini berpandangan bahwa tujuan pokok hukum adalah ketertiban dan, oleh karena itu, ketertiban merupakan syarat bagi adanya suatu masyarakat yang teratur. Mochtar Kusumaatmadja, salah seorang penganut teori ini, berpendapat bahwa tujuan lain dari hukum adalah untuk mencapai keadilan secara berbeda-beda, baik isi maupun ukurannya, menurut masyarakat dan zamannya.
Selain diatas tujuan hukum menurut pendapat para ahli yaitu:
1.    Purnadi purbacaraka dan soejono soekanto
Bahwa tujuan hukum adalah demi kedamaian hidup antar pribadi yang meliputi ketertibaan ekstern antar pribadi dan ketenangan intern pribadi.
2.    Van Apeldoorn
Bahwa pada dasarnya hukum bertujuan untuki mengatur pergaulan hidup manusia secra damai.
3.    Soebekti
Bahwa hukum itu mengabdi kepada tujuan negara untuk mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan bagi rakyatnya .

Fungsi-fungsi Hukum
Hoebel menyimpulkan empat fungsi dasar hukum sebagai berikut:
1.    Menetapkan hubungan-hubungan antara para anggota masyarakat, dengan menunjukan jenis-jenis tingkah laku apa yang diperkenankan dan apa pula yang dilarang.
2.    Menentukan pembagian kekuasaan dan memerinci siapa saja yang boleh melakukan paksaan serta siapakah yang harus menaatinya dan sekaligus memilihkan sanksi-sanksinya yang tepat dan efektif.
3.    Menyelesaikan sengketa.
4.    Memelihara kemampuan masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan kondisi-kondisi kehidupan yang berubah,  yakni  dengan  cara  merumuskan kembali  hubungan esensial  di antara anggota-anggota masyarakat.
Penyelenggaraan keadilan dalam masyarakat berkaitan erat dengan tingkat kemampuan masyarakatnya. Pada masyarakat sederhana, masyarakat yang masih kecil jumlahnya hubungan-hubungan atau pola hubungan antaranggota masyarakat terjalin sangat erat berdasarkan asas kekerabatan. Dalam suasana kekerabatan itu, keterperincian tata-aturan tidak terlalu diutamakan. Hart menyebutkan tatanan hukum seperti itu sebagai primary rules of obligation. Kelemahan yang dijumpai pada peraturan demikian adalah ketidakpastian, karena ikatan peraturan yang tidak merupakan satu sistem, peraturan-peraturannya bersifat statis dan cara-cara mempertahankan tatanan hukun itu pun tidak dilakukan secara efisien.
Sebaliknya, dalam masyarakat yang sudah semakin kompleks, tidak cukup dibutuhkan tatanan hukum primer, melainkan sudah mulai membutuhkan tatanan hukum sekunder (secondary  rules  of  obligation).  Peraturan-peraturan  sekunder  itu  berisi  tentang  norma tertentu, peraturan-peraturan yang menggarap perubahan-perubahan, dan peraturan bagi penyelesaian sengketa. Maka, perlu pengaturan dalam penyelenggaraan keadilan lebih terorganisasi.

Hukum sebagai Suatu Sistem Norma
 Apapun namanya maupun fungsi apa saja yang hendak dilakukan oleh hukum tetap tidak terlepas dari pengertian hukum  sebgai sistem norma. Berbagai  pengertian  hukum  sebagai  sistem  hukum  dikemukakan  antara  lain  oleh Lawrence M Friedman. Ia mengatakan bahwa hukum merupakan gabungan antara komponen struktur, substansi, dan kultur.
1.    Komponen  struktur  yakni  lembaga  yang  diciptakan  oleh  sistem  hukum  dengan pelbagai macam fungsi dalam rangka mendukung bekerjanya sistem tersebut.
2.    Komponen substansi yakni keluaran (output) dari sistem hukum, berupa peraturan- peraturan dan keputusan-keputusan yang digunakan, baik oleh pihak yang mengatur maupun yang diatur.
3.    Komponen kultur terdiri dari nilai-nilai dan sikap-sikap yang memengaruhi bekerjanya hukum. Kultur hukum berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan antara peraturan hukum dan tingkah laku hukum seluruh warga masyarakat.
Selain itu, Lon L Fuller berpendapat bahwa sistem harus memenuhi delapan asas.
1.    Sistem hukum harus mengandung peraturan-peraturan. Artinya, ia tidak boleh mengandung sekadar keputusan-keputusan yang bersifat sementara (ad hoc).
2.    Peraturan-peraturan yang telah dibuat harus diumumkan.
3.    Peraturan tidak boleh berlaku surut.
4.    Peraturan disusun dalam rumusan yang bisa dimengerti.
5.    Suatu sistem tidak boleh mengandung peraturan-peraturan yang bertentangan satu sama lain.
6.    Peraturan-peraturan tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi apa yang dapat dilakukan.
7.    Peraturan tidak boleh sering diubah-rubah.  
8.    Harus  ada  kecocokan antara  peraturan  yang  diundangkan dengan  pelaksanaannya sehari-hari.
Hans Kelsen berpendapat bahwa suatu norma dibuat menurut norma yang lebih tinggi dan merupaknan norma dasar (grundnorm) yang tidak berubah-ubah. Dan dibuat menurut norma yang lebih tinggi lagi, dan demikian seterusnya sampai berhenti pada norma yang tertinggi yang tidak dibuat oleh norma lagi, melainkan ditetapkan terlebih dulu keberadaannya oleh masyarakat atau rakyat.

2. Fungsi Cita Hukum dalam Pembangunan Hukum yang Demokratis
Dalam penyusunan peraturan perundang-undangan yang bersifat demokratis harus mempresentasikan  peran hukum sebgai alat untuk mendinamisasikan masyarakat, sebab hukum merupakan the normative life of the state and its citizens. Hukum menentukan serta mengatur bagaimana hubungan itu dilakukan dan bagaimana akibatnya. Hukum memberikan pedoman tingkah laku, baik tingkah laku yang dilarang, dibutuhkan, maupun yang diizinkan, yang di wujudkan dalam peraturan perundang-undangan yang ada, Selain itu hukum sebagai   suatu   konsep   yang   modern   hendaknya   tidak   hanya   dilihat   sebagai   sarana pengendalian sosial, melainkan lebih dari itu: sebagai sarana untuk melakukan perubahan- perubahan.  

Elemen-elemen Pembentukan Hukum
Menurut Burkhardt Krems, sebagaimana dikutip oleh Attamimi, pembentukan peraturan perundang-undangan meliputi kegiatan yang berhubungan dengan isi atau substansi peraturan, metode pembentukan, serta proses dan prosedur pembentukan peraturan, yang merupakan bukan hanya  kegiatan yuridis semata, melainkan suatu kegiatan yang bersifat interdisipliner.
Pembentukan peraturan perundang-undangan menentukan apakah suatu peraturan dapat mencapai sasarannya dengan cara yang sebaik-baiknya. Masalah pengaturan hukum, ilmu pengetahuan  tata-hukum,  dan  ilmu  tentang  perencanaan  sangat  diperlukan.  Itu  artinya, masalah pengaturan oleh hukum bukanlah semata-mata persoalan-persoalan legalitas formal, yakni tentang bagaimana mengatur sesuatu sesuai dengan prosedur hukum, melainkan juga tentang bagaimana mengatur sehingga dalam masyarakat timbul efek-efek yang memang dikehendaki oleh hukum.

Peran Produk Hukum
Hukum merupakan elemen penting bagi perkembangan politik dan, dengan demikian menjadikan  hubungannya dengan  kebijakan  pemerintah  semakin  jelas, sebab Keeratan keberadaan institusi hukum merupakan indikator atau kunci pengimplementasian dari suatu kebijaksanaan.
Dalam  penjelasan umum UUD NKRI 1945 secara tegas dinyatakan bahwa Indonesia adalah negara yang berdasar atas  hukum.  Itu  berarti  hukum  bukanlah  produk  yang  dibentuk  oleh  lembaga  tertinggi dan/atau lembaga tinggi negara saja, melainkan juga yang mendasari dan mengarahkan tindakan-tindakan lembaga-lembaga tersebut.

Kejelasan Konsep dan Bahasa Hukum
Untuk melakukan proses perancangan perundang-undangan secara lebih baik, pembentuk peraturan perundang-undangan hendaknya menyadari dan memahami secara sungguh- sungguh dua hal pokok, yakni konsep” dan bahasa hukum, terutama bagaimana mencari kata-kata dan konsep yang tepat. Hal-hal yang sifatnya mendasar dan konseptual dari suatu produk hukum itu hendaknya ditelaah dan dikaji dari berbagai sudut pandang filsafat hukum, teori hukum dan sosiologi hukum, sejarah hukum, maupun dogmatika hukum.

Memahami Hukum sebagai Sistem
Suatu sistem menekankan kepada beberapa hal.
1.    Sistem itu berorientasi kepada tujuan (Purposive behavior the system is objektive  oriented).
2.    Keseluruhan adalah lebih dari sekedar jumlah dari bagian-bagiannya (Holism the whole is more than the sum of allthe part).
3.    Suatu sistem berinteraksi dengan sistem yang lebih besar, yakni lingkungan (Opennes the systen intracts with a larger system, namely its environment).
4.    Bekerjanya bagian-bagian dari sistem itu menciptakan sesuatu yang berharga (Transformation the working of the parts creates something of vallue).
5.    Masing-masing bagian harus cocok satu sama lain (Interrelatedness the various parts must fit together).
6.    Ada kekuatan pemersatu yang mengikat sistem itu (Control mechanism-there is a unifying force that holds the system together).
Jika institusi hukum dipahami sebagai suatu sistem, maka seluruh tata-aturan yang berada di dalamnya tidak boleh bertentangan. Jika dipahami sebagai suatu sistem norma, maka setiap peraturan perundang-undangan yang paling tinggi sampai yang paling rendah haruslah merupakan suatu jalinan sistem yang tidak boleh saling bertentangan satu sama lain.

Cita Hukum: Kunci Pembentukan Hukum
Pembukaan UUD NKRI 1945 secara tegas dan mengandung cita hukum yang tidak lain adalah “Pancasila”. Cita hukum haruslah dipahami sebagai dasar sekaligus pengikat dalam pembentukan perundang-undangan. Tiadanya kesadaran dan penghayatan akan nilai-nilai yang terkandung dalam cita hukum akan menimbulkan kesenjangan antara cita hukum dan norma hukum yang dibuat

Model Pembentukan Hukum yang Demokratis
         Sebelum memasuki tahapan yuridis, proses pembentukan suatu peraturan harus sudah melalui tahapan sosio-politis secara final sebagai berikut:
1.    Secara  makro,  proses  penyusunan  suatu  produk  hukum  dalam  tahapan sosiologis berlangsung dalam masyarakat dan ditentukan oleh tersedianya bahan-bahan di dalamnya. Dalam konteks sosiologis, faktor masyarakat merupakan tempat timbulnya suatu kejadian, permasalahan, atau tujuan sosial.
2.    Tahapan politis. Tahapan ini berusaha mengidentifikasi problem dan kemudian merumuskannya lebih lanjut. Di sini, seluruh ide atau gagasan yang berhasil diidentifikasi dalam proses sosiologis itu dipertajam lebih lanjut dalam wacana  yang lebih kritis oleh kekuatan yang ada dalam masyarakat. Tahapan politis inilah yang sangat menentukan apakah ide  atau  gagasan  itu  perlu dilanjutkan atau  diubah untuk selanjutnya  memasuki tahapan yuridis.

Proses Transformasi Sosial dalam Hukum
Proses-proses transformasi dari keinginan-keinginan sosial menjadi peraturan-peraturan perundang-undangan, baik dalam konteks politis maupun sosiologis, tidak hanya terjadi pada saat pembentukan peraturan. Dalam tahap bekerjanya pun, proses-proses tersebut berlangsung dan mengoreksi secara terus-menerus produk hukum yang telah dihasilkan tersebut.
Setelah  tahapan  sosiologis  dan  politis  dilalui,  barulah  proses  pembuatan  hukum memasuki tahapan ketiga, yang disebut tahapan yuridis. Tahapan ini memfokuskan diri pada masalah penyusunan dan pengorganisasian masalah-masalah yang diatur dalam rumusan- rumusan hukum. Aspek-aspek yang perlu diperhatikan dalam proses pengorganisasian dan penyusunan rumusan-rumusan bukum itu antara lain consistency, sound arrangement, dan normal usage.

3. Pergeseran Paradigma Hukum: Dari Paradigma Kekuasaan menuju Paradigma Moral
Menuju perombakan suatu paradigma yaitu paradigma kekuasaan dengan paradigma moral di harapkan agar hukum tampil lebih demokratis dan dapat merespon kebutuhan dan harapan bangsa Indonesia saat ini.  Artinya Indonesia harus bisa menyesuaikan dan menata hukumnya bukan hanya memperhatikan karakteristik-karateristik lokal, melainkan juga perubahan-perubahan yang terjadi di tingkat global.

Dinamika Pembangunan di Indonesia
Dalam perjalanan sejarah, terjadi beberapa hal mendasar dalam pembangunan.
1.    Strategi dan implementasi pembangunan dengan model pertumbuhan ternyata membawa implikasi yang terlalu jauh, yakni tidak berjalannya trickle down effects, melebarnya jurang pemisah  antara  strata  sosial  dan  antardaerah,  serta  kehancuran  sektor-sektor usaha  kecil termasuk sektor industri rumah tangga dan sektor informal.
2.    Tumbuh dan berkembangnya rezim-rezim yang represif, yang menurut Herbert Feithdisebut sebagai repressive       developmentalist regimes,yangcenderung korup; terhapusnya partisipasi politik rakyat; terbatasnya kebebasan pers; sangat minimnya peran serta masyarakat dalam proses-proses pengambilan keputusan, pelanggaran hak asasi manusia (HAM); dan perampasan hak-hak rakyat.

Tipologi Kekuasaan dan Hukum Orde Baru
Potret hukum yang diwarnai oleh sistem politik menyebabkan hukum hanyalah sebagai alat untuk mewujudkan tujuan-tujuan politik. Tatanan hukum yang dikembangkan menjadi sangat elitis dan konservatif, karena proses pembentukannya sangat sentralistik dan tidak partisipatif. Otonomi politik tampak lebih mendominasi.
Kekuasaan pemerintah Orde Baru yang besar dan bahkan sudah di luar proporsi terus berusaha menumbuhkan hegemoni kekuasaan yang luar biasa dengan berbagai cara, di antaranya:
1.    Membangun sistem kepartaian yang hegemonik.
2.    Tumpuan kekuatan Orde Baru ditopang oleh menyatunya Presiden Soeharto, ABRI, Golkar, dan Birokrasi.
3.    Membangun konfigurasi otoriter melalui penciptaan justifikasi konstitusional sehingga otoriterisme diciptakan berdasarkan peraturan yang secara formal ada atau dibuat.
Keadaan yang demikian itu menyebabkan hukum kehilangan otonomi, otentisitas, dan profesionalisme dalam bekerjanya. Hukum menjadi terkooptasi oleh kekuasaan dan tidak mampu bekerja dan menyelesaikan pekerjaannya dengan benar.

Paradigma Kekuasaan dan Tatanan Hukum
Hukum   yang   dilandasi    paradigma   kekuasaan    menghadirkan   hukum    yang   tidak demokratis, yakni suatu sistem hukum yang totaliter. Sistem hukum seperti itu memiliki cirri- ciri antara lain:
1.    Sistem hukumnya terdiri dari peraturan mengikat yang isinya berubah-ubah tergantung putusan penguasa yang dibuat secara manasuka.
2.    Dengan teknik tertentu, hukum dipakai sebagai kedok” untuk menutupi penggunaan kekuasaan secara manasuka. Hukum diterima berdasarkan kesadaran palsu dan menurunkan derajat manusia.
3.    Penerimaan sosial terhadap hukum didasarkan pada kesadaran palsu dan merendahkan derajat manusia.
4.    Sanksi-sanksi hukum mengandung perusakan terhadap ikatan-ikatan sosial serta menciptakan suatu suasana nihilisme sosial yang menyebar.
5.    Tujuan akhirnya, suatu legitimasi institusional, terlepas dari seberapa besar diterima oleh masyarakat.
Tatanan hukum  yang demikian itu  juga  menunjukan adanya  hierarki.  Tetapi  hiearki tersebut tidak didasarkan pada logika hukum, melainkan logika kekuasaan. Tanpa disadari atau tanpa melalui jalur formal, negara kita telah berubah dari negara hukummenjadi negara kekuasaan. Kualitas hukum kita menjadi hukum otoriter dengan memperlihatkan ciri-ciri otoritarian antara lain:
1. Kaidah dasar totaliter
2. Kaidah dasar di atas konstitusi.
3. Hukum yang membudak.
4. Birokrasi totalitarian.
5. Trias politika pro-forma.
6. Kepatuhan terpaksa.
7. Tipe rekayasa merusak.

Reformasi dan Pergeseran Paradigma Hukum
Menyadari segala kelemahan penataan hukum pada masa lalu, maka tatanan hukum yang dibentuk memenuhi criteria berikut ini:
1.    Hukum tidak boleh hanya merupakan alat bantu untuk mencapai rasionalitas ,akan tetapi hukum itu sendiri harus rasionalitas.
2.    Untuk menjamin agar karya hukum yang rasional dapat mewujudkan tujuannya ,harus didukung oleh tindakan yang efisien oleh perangkat pelaksanaan hukumnnya.
3.    Tentang pentingnya memasukan substansi kedalam bentuk hukum berkaitan sangat erat dengan struktur sosial masyarakat,karena hukum seharusnya mewujdkan tujuan-tujuannya.
Oleh sebab itu, kalau tidak ingin gagal maka reformasi hukum harus mengacu pada kerangka pemikiran di atas agar menjadikan hukum sebagai institusi yang mampu menjalankan pekerjaannya sesuai dengan kebutuhan dan tuntunan zaman.

Transformasi Hukum dalam Era Global
Berbicara tentang transformasi sosial, Umar Kayam  mengartikan pembangunan  sebagai suatu proses pengalihan total menuju sosok yang baru semakin mapan.
Penataan terhadap tatanan hukum agar tidak menghambat proses global tersebut. Dalam penataan hukum itu, tidak hanya memperhatikan cita hukum dan politik hukum nasional serta karateristik lokal (local characteistic). Akan tetapi, hendaknya juga memperhatiakan kecenderungan yang telah diakui negara yang telah mengikuti global trend, yang tampak dalam instrumen-instrumen internasional, seperti deklarasi, konvensi, code of conduct, dsb.








BAGIAN KEDUA: BUDAYA HUKUM

1. Peranan Kultur Hukum dalam Penegakan Hukum
Pada hakikatnya hukum mengandung ide atau konsep-konsep yang abstrak. Sekalipun abstrak, tapi ia dibuat untuk diimplementasikan dalam kehidupan sosial sehari-hari .
Oleh sebab Karena itu penegakan hukum hendaknya tidak dilihat sebagai suatu yang berdiri sendiri,melainkan selalu berada diantara berbagai faktor (interchange). Dalam konteks yang demikian itu,titik tolak pemahaman terhadap hukum tidak hanya sekedar sebagai suatu “rumusan hitam putih” (blue print) yang ditetapkan dalam berbagai bentuk peraturan perundang-undangan. Hukum hendaknya dilihat sebagi suatu gejala yang dapat diamati di dalam masyarakat antar lain melalui tingkah laku warga masyarakatnya.

Hukum Sebagai Suatu Sistem
Bicara soal hukum sebagai suatu sistem, Lawrence M. Friedman mengemukakan adanya komponen-komponen yang terkandung didalam hukum itu:
1.    Komponen yang disebut dengan struktur. Ia adalah kelembagaan yang diciptakanoleh sistem hukum seperti pengadilan negeri,pengadilan administrasi yang mempunyai fungsi untuk mendukung bekerjanya sistem hukum itu sendiri. Komponen struktur ini memungkinkan pemberian pelayanan dan penggarapan  hukum secara teratur.
2.    Komponen substansi yang berupa norma-norma hukum, baik itu peraturan-peraturan, keputusan-keputusan dan sebagainya yang semmuanya dipergunakan oleh para penegak hukum maupun oleh mereka yang diatur.
3.    Komponen hukum yang bersifat struktural. Ia terdiri dari ide-ide, sikap-sikap, harapan dan pendapat tentang hukum. Kultur hukum ini dibedakan antara internal legal culture yakni kultur hukumnya  lawyers dan judged’s, dan External legal culture yakni kultur hukum mmasyarakat pada umunya.
Semuanya merupakan pengikat sistem serta menentukan tempat sistem hukum itu di tengah kultur bangsa secara keseluruhan.

Komponen-komponen yang Mempengaruhi Penegakan Hukum
Hukum senantiasa di batasi oleh situasi atau lingkungan diman ia berada, sehingga tidak heran kalau terjadi ketidakcocokan antar apa yang seharusnya (das sollen) dan ap yang senyatanya (das sein). Dengan kata lain, muncul diskrepansi antara law in the books dan law in action.
Apa bila hendak melihat hukum sebagi suatu sistem,maka penegakan hukum  sebagai suatu proses akan melibatkan bebagai macam komponen yang saling berhubungan,dan bahkan ada yang memiliki tingkat ketergantungan yang cukup erat. Akibatnya ketiadaan salah satu komponen dapat menyebabkan inefficient maupun useless sehingga tujuan hukum yang dicita-citakan itu sulit terwujud. Komponen-komponen tersebut meliputi personel, information, budget, facilities substantive law, procedural law , decision rules, dan decision habits.  Sealin itu komponen “manusia” perlu mendapat perhatian juga karena manusia yang yang membuat, melaksanakan, maupun yang terkena sasaran peraturan.

Hukum dan Struktur Masyarakat
Hubungan fungsional antara sistem hukum dan masyarakatnya diuraikan oleh Emile Durkheim yang membedakan antara masyarakat dengan “solidaritas mekanik” dengsn masyarakat “solidaritas organik”. Masyarakat solidaritas mekanik mendasarkan diri pada sifat kebersamaan antara anggota-anggotanya. Di sini tipe hukumnya bersifat represif, karena hukum demikian itu mampu mempertahankan kebersamaan tersebut. Sebaliknya masyarakat, dengan solidaritas organik mendasarkan diri pada individualisme dan kebebasan-kebebasan para anggota-anggotanya.  Sistem hukum “restitutif” merupakan hukum yang sesuai untuk menjaga kelangsungan masyarakat dengan solidaritas organik.
Hubungan antara perkembangan hukum dengan perkembangan masyarakat ini juga diuraikan oleh H.L.A Hart, yang memperkenalkan dua tipe masyarakat yaitu:
1.    Tipe masyarakat yang didasarkan atas primary rules of obligation.
     Dalam tipe ini kita tidak menemukan peraturan yang terperinci dan resmi, dan tidak juga dijumpai adanya diferensiasi dan spesialisasi badan-badan penegak hukum. Hal ini disebabkan masyarakatnya masih merupakan komunitas kecil  yang didasarkan atas kekerabatan.
2.    Tipe masyarakat secondary of obligation
      Dalam tipe ini sudah ditemui adanya diferensiasi dan institusionalisasi di bidang hukum seperti rules of recogniton yang menentukan apa yang merupakan hukum, rules of change yaitu bagaimana melakukan perubahan, rules of adjudication yang berfungsi untuk menyelesaikan sengketa.
Dengan beberapa tipe model masyarakat tersebut dapatlah dikatakan bahwa, perkembangan masyarakat ikut menetukan tipe hukum mana yang berlaku. Hubungan fungsional keduanya merupakan dasar bagi penegak hukum. Itu berarti, apabila tipe masyarakatnya sudah tergolong modern, maka pola penegakkan hukumnya pun ditandai oleh adanya unsur birokrasi yang merupakan salah satu ciri masyarakat tersebut .

2. Pengaruh Budaya Hukum Terhadap Fungsi Hukum
Fungsi hukum yang diharapkan dewasa ini adalah melakukan usaha untuk menggerakan rakyat agar bertingkah laku sesuai dengan cara-cara baru untuk mencapai suatu tujuan yang dicita-citakan. Kesadaran hukum  masyarakat itu menurut Lawrence M.Friedman, terkait erat dengan masalah budaya hukum, sebab ini yang sangat mempengaruhi sikap-sikap bekerjanya hukum.

Hukum Modern dan Budaya Hukum
Menurut Marc Galanter, sistem hukum yang modern mempunai ciri-ciri tertentu, seperti di antaranya adalah bersifat territorial, tidak bersifat personal, universal, rasional; hukum dinilai sudut kegunaanya sebagai sarana untuk menggarap masyarakat.
Prinsip legalitas pembuatan hukum menurut Lon Fuller sbb:
1. Harus ada peraturannya terlebih dahulu.
2. Peraturan itu harus diumumkan.
3. Peraturan itu tidak boleh berlaku surut.
4. Perumusan peraturan-peraturan harus dapat dimengerti oleh masyarakat.
5. Hukum tidak boleh meminta dijalankannya hal-hal yang tidak mungkin.
6. Diantara sesama peraturan tidak boleh terdapat pertentangan satu sama lain.
7. Peraturan-peraturan harus tetap, tidak boleh sering dirubah-rubah.
8. Harus terdapat kesesuaian antar tindakan-tindakan para pejabat hukum dan peraturan-peraturan yang telah di buat.
Kegagalan untuk mewujudkan salah satu dari nilai-nilai tersebut dapat menimbulkan hasil-hasil yang tidak sesuai dengan apa yang menjadi harapan dari isi peraturan itu. Namun demikian, sebaik apapun hukum yang dibuat, pada akhirnya sangat ditentukan oleh budaya hukum masyarakat yang bersangkutan.

Kegagalan Hukum Modern: Kasus Bagi Hasil
Untuk menjamin dan menjaga agar kegagalan hukum modern khususnya pada kasus bagi hasil ini, maka pemerintah mengeluarkan UUPBH dengan tujuan untuk mengangkat kedudukan petani penggarap dengan melindungi hak-haknya. UUPBH menentukan beberapa syarat  yang harus dipenuhi sebagai berikut:
a.    Tanah garapan tidak boleh melebihi 3 ha.
b.    Perjanjian dibuat secara tertulis dihadapan kepala desa dengan 2 orang saksi.
c.    Batas waktu minimum untuk masa perjanjian adalah 3 tahun untuk tanah biasa, dan 5 tahun untuk tanah kering.
d.   Besarnya bagi hasil tanah bagi penggarap dan pemilik ditetapkan oleh Bupati.
e.    Pembayaran atau pemberian benda apapun kepada pemilik dengan maksud untuk memperoleh tanah garapan adalah terlarang.
f.     Penuntutan perjanjian sebelum berakhirnya jangka waktu hanya mungkin dengan persetujuan kedua bela pihak atau atas permintaan pemilik dalam hal penggarap tidak mengusahakan tanah sebagaimana mestinya.
g.    Kewajiban untuk membayar pajak dilarang untuk dibebankan kepada penggarap.
Hubungan antara kedua bela pihak, yaitu pihak yang satu menyerahkan tanahnya untuk digarap oleh pihak yang lain dengan perjanjian bahwa hasilnya akan dibagi. Sistem bagi hasil ini disebut maro, mertelu yaitu institusi bagi hasil tradisional yang telah dikenal dan hingga saat ini masih dijalankan didalam masyarakat. Dengan lahirnya UUPSH tersebut adalah untuk melakukan perubahan terhadap suatu lembaga yang telah ada didalam masyarakat. Perubahan yang dilkukan melalui  UU tersebut adalah:
a.    Mengenai batas waktu minimum bagi perjanjian.,
b.    Adanya syarat formal bagi pembuatan perjanjian.,
c.    Masuknya unsur pemerintahan kedalam unsur perjanjian; dan
d.   Adanya larangan untuk memberikaan sesuatu kepada pemilik guna memperoleh tanah garapan.
Keempat hal tersebut digunakan sebagai indikator, untuk mengetahui bagaimanakah pengetahuan masyarakat terhadap UU itu ternyata, dari laporan penelitian menunjukan bahwa “Tingkat Kebutaan UU melampaui 75% , oleh karena itu agar hukum dapat dipakai sebagi sarana untuk merubah tingkah laku masyarakat , maka komunikasi badan mpembuat UU dengan masyarakat sebagai adresat merupakan faktor yang amat penting. Namun demikian, hasilnya hanya mencapai 6,13% dari seluruh proses komunikasi.

Kegagalan Hukum Moderen: Kasus perkawinan
 Suatu ilustrasi yang sangat menarik akan di tampilkan disini yaitu tentang pelaksanaan UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Penelitian yang dilakukan oleh PSHP Fakultas Hukum Airlangga tentang efektifitas ketentuan umur minimal untuk kawin (19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita) di Bangkalan, Madura. Penelitian ini ingin mengetahui bagaimanakah bekerjanya  ketentuan hukum  yang baru itu khususnya mengenai batas umum untuk kawin. Untuk dapat mentaati ketentuan tersebut tentunya masyarakat sasaran pengaturan UU itu terlebih dahulu harus mengetahui isinya. Pada kenyataan, laporan penelitian justru memberikan data yang sebaliknya.
Temuan-temuan sebagaimana di uraikan diatas mengisyaratkan, bahwa untuk memasukan nilai-nilai yang baru kedalam masyarakat memerlukan perunahan sikap dari anggota-anggota masyarakatnya. Oleh karena itu, pengembangan berbagai strategi untuk menanamkan konsep-konsep dan persepsi baru perlu dilakukan untuk mempermudah dan membantu masyarakat beradaptasi dengan realitas baru itu. Jadi disini kita berhadapan dengan usaha untuk merombak cara pandang maupun nilai-nilai yang selama ini telah berfungsi dengan baik.

Hukum Sebagai Karya Kebudayaan
Hukum merupakan konkretisasi nilai-nilai yang terbentuk dari kebudayaan suatu masyarakat. Oleh karena setiap masyarakat selalu mengahsilkan kebudayaan, maka hukum pun selalu ada disetiap masyarakat , dan tampil dengan kekhassanya masing-masing. Setiap bangsa mengembangkan sendiri kebiasaan hukumnya sebagaimana mereka mempunyai bahasanya sendiri juga. Tidak ada hukum dari suatu negara tertentu dipakaikan untuk bangsa dan negara lain dan merupakan pencerminan volksgeit, jiwa rakyat, yang tidak mudah  diterjemahkan melalui perbuatan hukum dewsa ini.

Komponen Budaya Hukum
. Budaya hukum merupakan unsur yang paling penting untuk memahami perbedaan-perbedaan  yang terdapat di antara sistem hukum yang satu dangan yang lain. Adapun budaya hukum diperinci kedalam “nilai-nilai hukum prosedural” dan “nilai-nilai hukum substantif
Dalam pemahaman yang lebih luas Lawrence M.Friedman memasukan komponen budaya hukum sebagai bagian  integral dari suatu sistem hukum. Friedman membedakan unsur sistem kedalam 3 macam yaitu:
1.    Struktur
     Yaitu komponen kelembagaan yang diciptakan oleh sistem hukum dengan berabgai macam fungsinya dalam mendukung bekerjanya sistem hukum.
2.    Substansi
     Yaitu komponen luaran dari suatu sistem hukum ,termasuk didalamnya norma-norma yang antara lain berwujud peraturan perundang-undangan.
3.    Kultur (buadaya)
     Yaitu komponen nilai-nilai dan sikap-sikap yang merupakan pengikat sistem itu,serta menentukan tempat sistem itu di tengah-tengah budaya bangsa sebagai keseluruhan.

Menuju Efektifitas Hukum
Sitem hukum efektif menurut Fuller terjadi “bila perilaku-perilaku manusia didalamn masyarakat sesuai apa yang di tentukan di dalam aturan-aturan hukum yang berlaku”,  selain itu untuk mengefektifkan sistem hukum menurut menurut Paul dan Dias mengajukan 5 syarat yang harus dipenuhi yaitu:
1.    Mudah tidaknya makna aturan-aturan hukum itu untuk ditangkap dan dipahami.
2.    Luas tidaknya kalangan di dalam masyarakat yang mengetahui isi aturan-aturan hukum yang bersangkutan itu.
3.    Efisien dan efektifnya mobilisasi aturan-aturan hukum.
4.    Adanaya mekanisme peneyelesaian sengketa yang tidak hanya mudah dijangkau dan dimasuki oleh setiap warga masyarakat, melainkan juga harus cukup efektif dalam menyelesaikan sengketa-sengketa.
5.    Adanya anggapan dan pengakuan yang merata di kalangan warga masyarakat bahwa aturan-aturan dan pranata-pranata hukum memang sesungguhnya berdaya kemampuan yang efektif.
Komunikasi hukum merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi agar hukum berlaku efektif. Selain itu,faktor sarana juga perlu diperhatikan dalam penyampaian isi suatu peraturan.

Melembagakan Nilai Hukum Baru
Untuk dapat menanamkan nilai-nilai hukum baru sehingga dapat melembaga sebagi pola-pola tingkah laku yang baru di masyarakat, maka perlu adanya proses pelembagaan dan internalisasi dalam rangka pembentukan kesadaran hukum masyarakat.
Sistem pengawasan yang rapi harus pula di kembangkan, serta usaha-usaha untuk menyadarkan mereka tentang unsur-unsur baru tersebut terus ditanamkan dan ditegaskan serta  di butuhkan komitmen yang tulus dan kemampuan yang tinggi dari para petugas dalam mengimplementasikan kebijaksanaan yang tertuang dalam hukum itu.

3. Pembinaan Kesadaran Hukum
Membina kesadaran hukum adalah suatu pembaharuan sosial yang dewasa ini menjadi perhatian pemerintah dan mulai digalakan dalam berbagai usaha pembangunan. Hal itu penegasannya dituangkan dalam ketetapan MPR NO. IV/MPR/1978 mengenai GBHN dalam hal hukum tertib hukum dan penegakan hukum. Penegasan hal ini dirumuskan sebagai berikut:
a.    Pembangunan di bidang hukum didasarkan atas landasan tertib hukum seperti terkandung dalam pancasila dan UUD 1945.,
b.    Guna meningkatkan ketertiban dan kepastian hukum dalam mengayomi masyarakat, yang merupakan masyarakat bagi terciptanya stabilitas nasional yang mantap, maka aparatur pemerintah pada umumnya dan aparatur penegak hukum pada khususnya perlu terus menerus dibina dan dikembangkan untuk peningkatan kemampuan serta kewibawaanya.
c.    Pembangunan dan pembinaan di bidang hukum diarahkan agar hukum mampu memenuhi kebutuhan sesuai dengan tingkat kemajuan pembangunan, sehingga dapat diciptakan ketertibaan dan kepastian umum.
d.   Usaha-usaha penertiban badan-badan penegak hukum perlu dilanjutkan.
e.    Meningkatkan kesadaran hukum sehingga masyarakat menghayati hak dan kewajibannya.
f.        Meningkatkan pembinaan sikap para pelaksana penegak hukum kearah tegaknya hukum, keadilan dan pembinaan perlindungan harkat dan martabat manusia, ketertiban serta kepastian hukum sesuai UUD 1945.
Jadi, tegaknya suatu peraturan hukum baru akan menjadi kenyataan bilamana didukung oleh adanya kesadaran hukum dari segenap masyarakat.

Terminologi Kesadaran Hukum
Keadaran hukum masyarakat merupakan semacam jembatan yang menghubungkan antara peraturan-peraturan  hukum dengan tingkah laku hukum anggota masyarakatnya.  Lawrence M. Friedman menyebutnya sebagai bagian dari “kultur hukum” yaitu nilai-nilai, sikap-sikap yang mempengaruhi bekerjanya hukum. Selain itu menurut Sunaryati hartono betapaun kesadaran hukum itu berakar di dalam masyarakat, ia merupakan abstraksi yang lebih rasional daripada perasaan hukum yang hidup didalam masyarakat.
Uraian di atas telah menjelaskan tenetang berbagai pendapat tentang terminologi kesadaran hukum . Tampak bahwa kesadaran bahwa konsep kesadaran  hukum itu sendiri mengandung unsur nilai yang tentunya sudah dihayati oleh warga masyarakat semenjak kecil dan sudah melembaga serta mendarah daging . Proses pelembagaan hukum ini akhirnya menjadi pedoman yang dipertahankan oleh masyarakat dan ditanamkan melalui proses sosialisasi , selanjutnya apa yang dihayati dan dilembagakan itu diwujudkan dalam bentuk norma-norma yang menjadi patokan bagi warga masyarakatnya dalam bertingkah laku.

Sikap Moral : Kunci Kesadaran Hukum 
 Kesadaran hukum ini timbul apabila nilai-nilai yang akan diwujudkan dalam peraturan hukum itu merupakan nilai-nilai yang baru. Hal ini sebagai konsekuensi logis dari meluasnya fungsi hukum yang tidak sekedar merekam kembali pola-pola tingkah laku yang sudah ada di dalam masyarakat. Ia justru menjadi sarana penyalur kebijaksanan-kebijaksanaan pemrintah, sehingga terbuka kemungkinan akan muncul keadaan-keadaan baru untuk merubah sesuatu yang ada.


Motifasi Bertingkah Laku
Masyarakat bertindak sesuai ketentuan hukum, sangat tergantung pada pengefektifan bebrapa variabel dibawah ini sebagai berikut:
1. Apakah normanya telah disampaikan.
2. apakah normanya serasi dengan tujuan-tujuan yang diterapkan bagi posisi itu.
3. Apakah si pemegang peran digerakan oleh motivasi yang menyimpang.
Pendapat Seidman tersebut menunjukan bahwa selain sosialisasi dan singkronisasi produk hukum, faktor motifasi juga ikut menentukan tingkah laku sesorang pemegang peran dalam menaati isi produk hukum tersebut.
Fungsi hukum tidak hanya sebagi sosial kontrol melainkan jug a sebagai saran umtuk mewujudkan suatu masyarakat (baru) yang dicita-citakan. Jadi sebenarnya hukum sedang di pahami sebagi sesuatu konsepsi  yang modern, dimana hukum di gunakan sebagi sarana untuk  melakukan social engineering. Itu artinya, hukum diharapkan untuk dapat membentuk, mengarahkan, dan pada saat-saat tertentu juga merubah masyarakat menuju sesuatu yang dicita-citakan .

Faktor Penentu Kesadaran Hukum
Salah satu sumber bagi tidak di taatinya suatu peraturan adalah faktor inkonsistensi dalam pelaksanan hukum disamping faktor komunikasi hukumnya juga. Pengimplementasian sanksi juga sangat ditentukn oleh faktor komunikasi yang baik untuk memperkenalkan produk hukum itu kepada masyarakat dan seluruh perngkat pelaksanaanya. Selain faktor komunikasi, pelaksanaan hukum yang dilakukan secara bersungguh-sungguh dan konsekuen juga akan sangat menentukan proses bekerjanya hukum itu.

Pertimbangan Pembuatan Hukum
  Perlu kita pahami bersama bahwa sebenarnya pembuatan hukum itu merupakan suatu “rencana bertindak” (plan of action) . Artinya apa yang disebut sebagi UU itu hanyalah sekedar kerangka atau pedoman bertindak, dan oleh karena itu masih harus dilengkapi  dengan segala macam sarana yang dibutuhkan agar dapat dijalankan semestinya.      Kita juga harus menaruh perhatian kepada berbagai faktor  maupun kekuatan sosial  yang melingkupinya
. A. Podgorecki mengembangkan empat asas pokok yang perlu diperhatikan dalam mewujudkan tujuan sosial yang dikehendaki, yakni:
1. Suatu penggambaran yang baik mengenai situasi yang dihadapi.
2. Membuat suatu analisa mengenai penilaian-penilaian yang ada dan menempatkannya dalam suatu urutan hirarki . Analisis di sini meliputi pula perkiraan mengenai apakah cara-cara yang akan dipakai tidak akan lebih menimbulkan suatu efek yang baik malah memperburuk keadaan.
3. Melakukan verifikasi hipotesis-hipotesis, seperti apakah suatu cara yang dipikirkan untuk dilakukan itu pada akhirnya membawa kita kepada tujuan sebagaimana yang dikehendaki.
4. Pengukuran terhadapa efek peraturan-peraturan yang ada.

Pembinaan Kesadaran Hukum
Masalah pembinaan kesadaran ini menjadi penting artinya bila kita bicara soal hukum sebagi suatu konsep yang modern. Di sini kita tidak hanya melihat masalah pengaturan hukum itu dari segi legitimasinya, melainkan juga dari segi efektifitasnya. Oleh karena itu, jika kita ingin agar hukum (modern) itu dapat terlaksana dengan baik, maka struktur masyarakat pun perlu dikembangkan untuk dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan hukum yang demikian itu. Ini penting mengingat struktur masyarakat Indonesia hingga saat ini belum seluruhnya memenuhi tuntutan sistem hukum modern

Tidak ada komentar:

Posting Komentar