Kamis, 11 Juli 2013

ASAS-ASAS HUKUM PIDANA


ASAS-ASAS HUKUM PIDANA
A. Pengertian Asas Hukum Pidana
Menurut van Elkema Hommes, asas hukum itu tidak boleh dianggap sebagai norma-norma   hukum      yang konkrit, akan tetapi perlu dipandang sebagai dasar-dasar umum atau petunjuk-petunjuk bagi hukum   yang berlaku. Pembentukan hukum praktis perlu berorientasi pada asas-asas hukum   tersebut.   Dengan    kata   lain, asas hukum ialah dasar-dasar atau petunjuk arah dalam pembentukan hukum positif.
Sedangkan menurut P. Scholten, asas hukum adalah kecenderungan-kecenderungan yang disyaratkan oleh pandangan kesusilaan kita pada hukum, merupakan sifat-sifat umum dengan segala keterbatasannya sebagai pembawaan umum itu, tetapi yang tidak boleh tidak harus ada.
Kalau peraturan hukum yang konkrit itu dapat diterapkan secara langsung pada peristiwanya, maka asas hukum diterapkan secara tidak langsung. Untuk menemukan asas hukum dicarilah sifat-sifat umum dalam kaedah atau peraturan yang konkrit. Ini berarti menunjuk kepada kesamaan-kesamaan yang terdapat dalam ketentuan-ketentuan yang konkrit itu.
Jadi, dapatlah disimpulkan bahwa asas hukum pidana adalah pikiran dasar yang umum sifatnya atau merupakan latar belakang dari peraturan-peraturan yang konkrit pada hukum pidana.

Asas Legalitas (nullum delictum nula poena sine praevia lege poenali) Terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Tidak dapat dipidana seseorang kecuali atas perbuatan yang dirumuskan dalam suatu aturan perundang-undangan yang telah ada terlebih dahulu.

Dalam catatan sejarah asas ini dirumuskan oleh Anselm von Feuerbach dalam teori : “vom psychologishen zwang (paksaan psikologis)” dimana adagium : nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali yang mengandung tiga prinsip dasar :
  1. Nulla poena sine lege (tiada pidana tanpa undang-undang)
  2. Nulla Poena sine crimine (tiada pidana tanpa perbuatan pidana)
  3. Nullum crimen sine poena legali (tiada perbuatan pidana tanpa undang-undang pidana yang terlebih dulu ada).

Adagium ini menganjurkan supaya :

  1. Dalam menentukan perbuatan-perbuatan yang dilarang di dalam peraturan bukan saja tentang macamnya perbuatan yang harusdirumuskan dengan jelas, tetapi juga macamnya pidana yang diancamkan;
  2. Dengan cara demikian maka orang yang akan melakukan perbuatanyang dilarang itu telah mengetahui terlebih dahulu pidana apa yangakan dijatuhkan kepadanya jika nanti betul-betul melakukan perbuatan;
  3. Dengan demikian dalam batin orang itu akan mendapat tekanan untuk tidak berbuat. Andaikata dia ternyata melakukan juga perbuatan yang dilarang, maka dinpandang dia menyetujui pidana yang akan dijatuhkan kepadanya.

Prof. Moeljatno menjelaskan inti pengertian yang dimaksud dalam asas legalitas yaitu :

  1. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang. Hal ini dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP.
  2. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi, akan tetapi diperbolehkan penggunaan penafsiran ekstensif.
  3. Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.

Schaffmeister dan Heijder merinci asas ini dalam pokok-pokok pikiran sebagai berikut :

  1. Tidak dapat dipidana kecuali ada ketentuan pidana berdasar peraturan perundang-undangan (formil).
  2. Tidak diperkenankan Analogi (pengenaan suatu undang-undang terhadap perbuatan yang tidak diatur oleh undang-undang tersebut).
  3. Tidak dapat dipidana hanya berdasarkan kebiasaan (Hukum tidak tertulis).
  4. Tidak boleh ada perumusan delik yang kurang jelas (lex Certa).
  5. Tidak boleh Retroaktif (berlaku surut)
  6. Tidak boleh ada ketentuan pidana diluar Undang-undang.
  7. Penuntutan hanya dilakukan berdasarkan atau dengan cara yang ditentukan undang-undang.

Apabila kita sekarang sampai pada pembicaraan mengenai asas hukum, maka pada saat itu kita membicarakan unsur penting dari peraturan hukum. Barangkali tidak berlebihan apabila dikatakan, bahwa asas hukum ini merupakan “jantungnya” peraturan hukum. Ini berarti, bahwa peraturan-peraturan hukum itu pada akhirnya bisa dikembalikan kepada asas-asas tersebut. Kecuali disebut landasan, asas hukum ini layak disebut sebagai alasan bagi lahirnya peraturan hukum, atau merupakan ratio legis dari peraturan hukum. Asas hukum ini tidak akan habis kekuatannya dengan melahirkan peraturan-peraturan selanjutnya.

B. Asas-Asas  keberlakuan Hukum Pidana
Ilmu pengetahuan tent ang hukum pidana (positif) dapat dikenal beberapa asas yang sangat penting untuk diketahui, karena dengan asas-asas yang ada itu dapat membuat suatu hubungan dan susunan agar hukum pidana yang berlaku dapat dipergunakan secara sistematis, kritis, dan harmonis. Pada hakekatnya dengan mengenal, menghubungkan, dan menyusun asas di dalam hukum pidana positif itu, berarti menjalankan hukum secara sistematis, kritis, dan harmonis sesuai dengan dinamika garis-garis yang ditetapkan dalam politik hukum pidana.
Asas-asas hukum pidana itu dapat digolongkan:
a. Asas yang dirumuskan di dalam KUHP atau perundang-undangan lainnya;
b. Asas yang tidak dirumuskan dan menjadi asas hukum pidana yang tidak tertulis, dan dianut di dalam yurisprudensi.

1. Asas Legalitas
Asas legalitas tercantum di dalam pasal 1 ayat 1 KUHP. Kalau kata-katanya yang asli di dalam bahasa Belanda disalin ke dalam bahasa Indonesia kata demi kata, maka akan berbunyi: “ Tiada suatu perbuatan (feit) yang dapat dipidana selain berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang mendahuluinya”.
Asas legalitas yang tercantum di dalam pasal 1 ayat 1 KUHP dirumuskan di dalam bahasa Latin: “Nullum delictum nulla poena sine praevia legi poenali”, yang dapat disalin ke dalam bahasa Indonesia kata demi kata dengan: “Tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana yang mendahuluinya”. Sering juga dipakai istilah Latin: “Nullum crimen sine lege stricta”, yang dapat disalin kata demi kata pula dengan: “Tidak ada delik tanpa ketentuan yang tegas”.
Ucapan nullum delictum nulla poena sine praevia lege berasal dari von Feuerbach, sarjana hukum pidana Jerman (1775-1833). Dialah yang merumuskannya dalam pepatah latin tadi dalam bukunya: “Lehrbnuch des pein leichen recht” 1801.
Hal ini oleh Anselm von Feuerbach dirumuskan sebagai berikut:
“Nulla poena sine lege
Nulla poena sine Crimine
Nullum Crimen sine poena legali”.
Artinya:
“Tidak ada hukuman, kalau tak ada Undang-undang,
Tidak ada hukuman, kalau tak ada kejahatan
Tidak ada kejahatan, kalau tidak ada hukuman, yang berdasarkan Undang-undang .
Perumusan asas legalitas dari von Feuerbach dalam bahasa Latin itu dikemukakan berhubung dengan teorinya yang dikenal dengan nama teori “vom psychologian zwang”, yaitu yang menganjurkan supaya dalam menentukan perbuatan-perbuatan yang dilarang di dalam peraturan bukan saja tentang macamnya perbuatan yang harus dituliskan dengan jelas, tetapi juga tentang macamnya pidana yang diancamkan.
Biasanya asas legalitas ini dimaksud mengandung tiga pengertian, yaitu:
a. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang.
b. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi. (kiyas)
c. Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.
Asas dasar bahwa hukum pidana tidak berlaku surut sebagaimana tercantum di dalam pasal 1 ayat 1 KUHP dibatasi dengan kekecualian yang tercantum di dalam ayat 2 pasal itu. Ayat 2 itu berbunyi: “Apabila perundang-undangan diubah setelah waktu perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa digunakan ketentuan yang paling menguntungkan baginya”.
Mengenai perubahan dalam perundang-undangan, ada tiga macam teori:
a. Teori formil (formale leer)
b. Teori materiel terbatas (beperkte materiele leer)
c. Teori materiel yang tidak terbatas (onbeperkte materiele leer)
Menurut teori formil, dikatakan ada perubahan dalam undang-undang kalau redaksi (teks) undang-undang diubah. Menurut teori materiel bahwa perubahan dalam perundang-undangan terbatas dalam arti kata pasal 1 ayat 2 KUH Pidana, yaitu tiap perubahan sesuai dengan suatu perubahan perasaan (keyakinan) hukum para pembuat undang-undang. Adapun menurut teori materiel yang tidak terbatas, tiap perubahan adalah mencakup perasaan hukum dari pembuat undang-undang maupun dalam keadaan boleh diterimanya sebagai suatu perubahan dalam undang-undang menurut arti kata pasal 1 ayat 2 KUH Pidana.

2. Asas Keberlakuan Hukum Pidana
Kekuasaan berlakunya KUHP dapat ditinjau dari dua segi, yaitu segi negatif dan segi positif. Segi negatif dikaitkan berlakunya KUHP dengan waktu terjadinya perbuatan pidana. Artinya bahwa KUHP tidak berlaku surut. Hal tersebut dapat dilihat dari ketentuan pasal 1 ayat 1 KUHP. Bunyi pasal 1 ayat 1 KUHP yaitu : “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan.
Kekuasaan berlakunya KUHP ditinjau dari segi positif artinya bahwa kekuatan berlakunya KUHP tersebut dikaitkan dengan tempat terjadinya perbuatan pidana. Kekuasaan berlakunya KUHP yang dikaitkan dengan tempat diatur dalam pasal 1 sampai 9 KUHP.
Asas berlakunya undang-undang hukum pidana menurut tempat dapat dibedakan menjadi empat asas, yaitu territorial (territorialiteitsbeginsel), asas personal (personaliteitsbeginsel), asas perlindungan atau nasional yang pasif (bescermingsbeginsel atau passief nationaliteitbeginsel), dan asas universal (universaliteitsbeginsel).

3. Asas Territorial atau Wilayah
Asas wilayah ini menunjukkan bahwa siapa pun yang melakukan delik di wilayah negara tempat berlakunya hukum pidana, tunduk pada hukum pidana itu. Dapat dikatakan semua negara menganut asas ini, termasuk Indonesia. Yang menjadi patokan ialah tempat atau wilayah sedangkan orangnya tidak dipersoalkan.
Asas wilayah atau teritorialitas ini tercantum di dalam pasal 2 dan 3 KUHP:
Pasal 2 yang berbunyi: “Aturan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan perbuatan pidana di dalam Indonesia.”
Pasal 3 yang berbunyi: “Aturan pidana perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di luar Indonesia melakukan perbuatan pidana di dalam kapal Indonesia.”
Pasal 3 KUHP ini sebenarnya mengenai perluasan dari pasal 2.
Undang-Undang Pidana Indonesia berlaku terhadap setiap orang yang melakukan sesuatu pelanggaran/kejahatan di dalam wilayah kedaulatan negara Republik Indonesia. Jadi bukan hanya berlaku terhadap warga negara Indonesia sendiri saja, namun juga berlaku terhadap orang asing yang melakukan kejahatan di wilayah kekuasaan Indonesia.
Yang menjadi dasar adalah tempat di mana perbuatan melanggar itu terjadi, dan karena itu dasar kekuasaan Undang-Undang Pidana ini dinamakan asas Daerah atau asas Territorial. Yang termasuk wilayah kekuasaan Undang-Undang Pidana itu, selain daerah (territoir), lautan dan udara territorial, juga kapal-kapal yang memakai bendera Indonesia (kapal-kapal Indonesia) yang berada di luar perairan Indonesia.
Berlakunya hukum pidana terutama berdasarkan wilayah dibatasi atau mempunyai kekecualian yaitu hukum internasional. Hal ini tercantum di dalam pasal 9 KUHP, yang berbunyi pasal-pasal 2 – 5, 7 dan 8 dibatasi oleh hal yang dikecualikan, yang diakui dalam hukum internasional.
Apakah kecualian-kecualian itu umumnya diakui ada 4 hal:
a. Kepala negara beserta keluarga dari negeri sahabat. Mereka mempunyai hak ekteritorial. Hukum nasional tidak berlaku bagi mereka.
b. Duta-duta negara asing beserta keluarganya. Mereka ini juga mempunyai hak tersebut. Apakah konsul-konsul juga mempunyai hak ini tergantung dari traktaat.
c. Anak buah kapal perang asing yang berkunjung di suatu negara, sekalipun ada di luar kapal. Menurut hukum internasional kapal perang adalah teritoir negara yang mempunyainya.
d. Tentara negara asing yang ada di dalam wilayah negara dengan persetujuan negara itu.

4. Asas Personalitas atau Asas Nasionalitas Aktif
Asas personalitas ini bertumpu pada kewarganegaraan pembuat delik. Hukum pidana Indonesia mengikuti warganegaranya kemana pun ia berada. Asas ini bagaikan ransel yang melekat pada punggung warga negara Indonesia kemana pun ia pergi. Inti asas ini tercantum di dalam pasal 5 KUHP.
Pasal 5 KUHP itu berbunyi:
Ayat 1: “ Aturan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi warga negara yang di luar Indonesia melakukan:
ke-1. salah satu kejahatan tersebut dalam Bab I dan II Buku Kedua dan pasal-pasal: 160, 161, 240, 279, 450, dan 451.
ke-2. salah satu perbuatan yang oleh suatu aturan pidana dalam perundang-undangan Indonesia dipandang sebagai kejahatan sedangkan menurut perundang-undangan negara di mana perbuatan dilakukan, diancam dengan pidana.
Ayat 2: “Penuntutan perkara sebagaimana dimaksud dalam ke-2 dapat dilakukan juga jika terdakwa menjadi warga negara sesudah melakukan perbuatan.
Pasal 5 ayat 1 ke-1 menentukan sejumlah pasal yang jika dilakukan oleh orang Indonesia di luar negeri maka berlakulah hukum pidana Indonesia. Kejahatan-kejahatan itu tercantum di dalam Bab I dan II Buku Kedua KUHP (kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan terhadap martabat Presiden dan Wakil Presiden) dan pasal-pasal 160, 161, 240, 279, 450, dan 451.
Tidak menjadi soal apakah kejahatan-kejahatan tersebut diancam pidana oleh negara tempat perbuatan itu dilakukan. Dipandang perlu kejahatan yang membahayakan kepentingan negara Indonesia dipidana, sedangkan hal itu tidak tercantum di dalam hukum pidana di luar negeri.
Ketentuan di dalam pasal 5 ayat 1 ke-2 bermaksud agar orang Indonesia yang melakukan kejahatan di luar negeri lalu kembali ke Indonesia sebelum diadili di luar negeri, jangan sampai lolos 479a sampai dengan 479b.
Pasal 5 ke-2: ini jangan dipandang sebagai imbangan dari prinsip bahwa warganegara tidak diserahkan kepada pemerintah asing. Apa yang mungkin dipidana menurut pasal ini adalah lebih luas daripada apa yang mungkin menjadi alasan untuk menyerahkan seorang bukan warganegara. Sebagai ternyara dalam pasal 2 Peraturan Penyerahan (uitleveringsbesluit) S. 1883-188, yang mungkin menjadi alasan untuk menyerahkan seorang bukan warganegara adalah terbatas pada kejahatan-kejahatan yang tersebut di situ saja.
Beberapa ketentuan-ketentuan yang penting dari Peraturan Penyerahan itu adalah:
Pasal 1: Penyerahan orang asing hanya mungkin jika memenuhi syarat-syarat tersebut dalam peraturan ini.
Pasal 2: Penentuan macam-macamnya perbuatan pidana memungkinkan penyerahan.
Pasal 4: Penyerahan tidak dilakukan, selama orang asing itu sedang dituntut perkaranya, atau sesudahnya diadili atau sesudahnya diadili dibebaskan atau dilepas dari segala tuntutan.
Pasal 8: Penyerahan dimintakan dengan melalui jalan diplomatik.
Pasal 6 KUHP “membatasi” ketentuan pasal 5 ayat (1) kedua agar tidak memberikan keputusan pidana mati terhadap terdakwa apabila undang-undang hukum pidana negara asing tidak mengancam pidana mati, sebagai asas keseimbangan politik hukum. Bunyi pasal 6 KUHP yaitu: “Berlakunya pasal 5 ayat (1) ke-2 dibatasi sedemikian rupa sehingga tidak dijatuhkan pidana mati, jika menurut perundang-undangan negara di mana perbuatan dilakukan, terhadapnya tidak diancam dengan pidana mati.
Ayat ke-2 diadakan untuk mencegah, bukan warganegara yang sesudah melakukan perbuatan pidana di negeri asing, melarikan diri ke Indonesia lalu minta dinaturalisasikan sebagai warganegara Indonesia, sehingga dengan demikian tidak bisa diserahkan dan terluput dari penuntutan pidana. Dengan adanya ayat tersebut, dalam hal demikian, mereka dapat dituntut di sini karena perbuatannya di negeri asing.

5. Asas Perlindungan atau Asas Nasionalitas Pasif
Asas nasional pasif ialah suatu asas yang memberlakukan KUHP terhadap siapa pun juga baik WNI maupun WNA yang melakukan perbuatan pidana di luar wilayah Indonesia. Jadi yang diutamakan adalah keselamatan kepentingan suatu negara.
Asas ini menentukan bahwa hukum pidana suatu negara (juga Indonesia) berlaku terhadap perbuatan-perbuatan yang dilakukan di luar negeri, jika karena itu kepentingan tertentu terutama kepentingan negara dilanggar di luar wilayah kekuasaan negara itu. Asas ini tercantum di dalam pasal 4 ayat 1, 2, dan 4 KUHP.
Di sini yang dilindungi bukanlah kepentingan individual orang Indonesia, tetapi kepentingan nasional atau kepentingan umum yang lebih luas. Jika orang Indonesia menjadi korban delik di wilayah negara lain, yang dilakukan oleh orang asing, maka hukum pidana Indonesia tidak berlaku. Diberi kepercayaan kepada setiap negara untuk menegakkan hukum di wilayahnya sendiri.
Pasal 4 ke-1 mengenai orang Indonesia yang di luar wilayah Indonesia melakukan salah satu kejahatan yang tersebut dalam pasal-pasal 104, 106, 107, dan 108, 110, 111 bis pada ke-1, 127, dan 131.
Pasal 4 ke-2 mengenai orang Indonesia yang di luar wilayah Indonesia melakukan kejahatan tentang mata uang, uang kertas negara atau uang kertas bank atau tentang materei atau merk yang dikeluarkan atau digunakan oleh Pemerintah Republik Indonesia.
Pasal 4 ke-3 mengenai orang Indonesia yang melakukan pemalsuan tentang surat-surat utang atau sertifikat-sertifikat utang yang ditanggung oleh Pemerintah Republik Indonesia , daerah atau sebagian daerah, pemalsuan talon-talon, surat-surat utang sero (dividen) atau surat-surat bunga uang yang termasuk surat-surat itu, atau dengan sengaja mempergunakan surat palsu atau yang dipalsukan seperti itu, seakan-akan surat itu asli dan tidak dipalsukan.
Mengenai yang tercantum pada pasal 4 ke-2, pada kalimat yang pertama yang berbunyi “melakukan kejahatan tentang mata uang, uang kertas negara atau uang kertas bank”, tidak termasuk asas nasionalitas pasif, melainkan asas universalitas, yang akan diuraikan di belakang. Yang termasuk asas perlindungan ialah kejahatan terhadap materei atau merk yang dikeluarkan atau yang dipergunakan oleh Pemerintah Republik Indonesia.
Ketentuan yang tercantum di dalam pasal 8 juga termasuk asas perlindungan. Pasal itu berbunyi: “Peraturan hukum pidana dalam perundang-undangan Republik Indonesia berlaku bagi nahkoda dan orang yang berlayar dengan alat pelayar Indonesia di luar Indonesia, juga pada waktu mereka tidak berada di atas alat pelayar, melakukan salah satu perbuatan yang dapat dipidana, yang tersebut dalam Bab XXIX Buku Kedua dan Bab IX Buku Ketiga, demikian juga tersebut dalam undang-undang umum tentang surat-surat laut dan pas-pas kapal di Indonesia dan yang tersebut dalam undang-undang (ordonansi) kapal 1935.”
Pasal 8 ini memperluas berlakunya pasal 3. Dasar pemikiran sehingga ketentuan ini diciptakan, ialah untuk melindungi kepentingan hukum negara Indonesia di bidang perkapalan.

6. Asas Universalitas
Asas universalitas ialah suatu asas yang memberlakukan KUHP terhadap perbuatan pidana yang terjadi di luar wilayah Indonesia yang bertujuan untuk merugikan kepentingan internasional. Peristiwa pidana yang terjadi dapat berada di daerah yang tidak termasuk kedaulatan negara mana pun. Jadi yang diutamakan oleh asas tersebut adalah keselamatan internasional. Contoh: pembajakan kapal di lautan bebas, pemalsuan mata uang negara tertentu bukan negara Indonesia.
Jadi di sini mengenai perbuatan-perbuatan jahat yang dilakukan dalam daerah yang tidak termasuk kedaulatan sesuatu negara mana pun, seperti: di lautan terbuka, atau di daerah kutub.
Yang dilindungi dilindungi di sini ialah kepentingan dunia. Jenis kejahatan yang diancam pidana menurut asas ini sangat berbahaya bukan saja dilihat dari kepentingan Indonesia tetapi juga kepentingan dunia. Secara universal (menyeluruh di seantero dunia) jenis kejahatan ini dipandang perlu dicegah dan diberantas. Demikianlah, sehingga orang Jerman menamakan asas ini weltrechtsprinzip (asas hukum dunia). Di sini kekuasaan kehakiman menjadi mutlak karena yuridiksi pengadilan tidak tergantung lagi pada tempat terjadinya delik atau nasionalitas atau domisili terdakwa.
Hal ini diatur dalam KUHP pasal 4 ayat 4. Asas ini didasarkan atas pertimbangan, seolah-olah di seluruh dunia telah ada satu ketertiban hukum.

7. Asas Kesalahan dan Asas-Asas Penghapusan Pidana
Pendapat para ahli pada umumnya mengakui berlakunya asas tidak tertulis dalam hukum pidana, yaitu asas “geen straf zonder schuld”, atau tiada pidana tanpa kesalahan. Di samping itu juga dikenal beberapa asas yang berlaku dalam ilmu pengetahuan pidana, tetapi dalam beberapa hal telah ada yang dirumuskan terbatas dalam undang-undang:
a. Alasan pembenar (rechtsvaardigingsgronden), yaitu menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, sehingga menjadi perbuatan yang benar;
b. Alasan pemaaf (schulduitsluitingsgronden), yaitu menghapuskan sifat kesalahan dari terdakwa meskipun perbuatannya bersifat melawan hukum tetapi tidak pidana;
c. Alasan penghapusan penuntutan (onvervolgbaarheid), yaitu pernyataan tidak menuntut karena tidak dapat diterima oleh badan penuntut umum yang disebabkan konflik kepentingan dengan lebih mengutamakan kemanfaatannya untuk tidak menuntut.
Dalam asas kesalahan dan asas-asas penghapusan pidana yang sebagian besar masih berkembang di dalam doktrin ilmu pengetahuan itu, apabila banyak para sarjana yang menganjurkan untuk dirumuskan secara tertulis di dalam undang-undang hukum pidana, akan mengalami kesulitan untuk membuat batasan berhubung dengan sifatnya asas-asas itu terus menyesuaikan (fleksibel) terhadap perkembangan ilmu pengetahuan. Kedua asas hukum pidana tentang kesalahan dan penghapusan pidana itu mempunyai arti penting untuk menentukan dipidana atau tidak dipidananya seseorang meskipun telah terbukti perbuatannya akan tetapi tidak terpenuhi unsur dari asas-asas tersebut di atas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar