Selasa, 16 Juli 2013

MAQASHID AL-SYARI'AH DAN PENERAPAN HAK ASASI MANUSIA DALAM MASYARAKAT ISLAM

MAQASHID AL-SYARI'AH DAN PENERAPAN HAK ASASI MANUSIA
DALAM MASYARAKAT ISLAM
Abstrak
Hak-hak asasi manusia merupakan hak kodrati. Hak yang dimiliki setiap orang dan tidak dapat dicabut. Semua negara dan umat manusia seharusnya dapat menerima konsep-konsep HAM, karena rumusannya telah disempurnakan dengan mengadopsi berbagai budaya bangsa dan agama yang beragam. Syari'at Islam sendiri mempunyai tujuan yang sejalan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia. Tujuan hukum Islam atau maqashid al-syari'ah mengandung lima hak paling asasi yang merupakan kebutuhan primer -dhoruriyat al-khoms- yaitu hak hidup, pemeliharaan akal, penjagaan keturunan, pengakuan terhadap hak milik (harta) dan kebebasan beragama. Nabi sendiri dalam memimpin masyarakat Madinah telah menerapkan prinsip-prinsip hak asasi tersebut. Terdapat lebih banyak persamaan daripada perbedaan antara prinsipprinsip HAM internasional, nasional dengan prinsip-prinsip hak-hak asasi manusia menurut perspektif Islam.
Kata Kunci:
hak asasi manusia, maslahah mursalah, maqashid al- syari'ah.
Pendahuluan
Setelah Perang Dunia Kedua. Hak asasi manusia (HAM) menjadi bahasan penting. Akibat perang, semua orang merasakan penderitaan lalu muncul gerakan untuk menghidupkan hak kodrati, hak paling asasi bebas dari belenggu penindasan. Melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) masyarakat internasional menuntut ditegakkannya hakhak asasi manusia, kesetaraan negara besar dan kecil, kesetaraan gender dan tidak ingin terulang kembali penindasan manusia terhadap manusia lainnya di masa depan Sebagai rujukan dalam penegakkan HAM adalah Deklarasi Universal tentang hak-hak asasi manusia (DUHAM) tanggal 10 Desember 1948), yang memuat pokok-pokok tentang kebebasan, persamaan, pemilikan harga, hak-hak dalam perkawinan, pendidikan, hak kerja dan kebebasan beragama. Melihat perkembangan historisnya, terdapat perbedaan  filosofis yang tajam, baik dari segi nilai ataupun orientasinya (El- Muhtaj, 2009 : 10). Mengantisipasi kesan bahwa Indonesia kurang peka terhadap masalah HAM pemerintah setelah reformasi melakukan pembenahan baik secara hukum maupun kelembagaan. Amandemen terhadap Undang-Undang Dasar 1945 dilakukan. Disamping langkah-langkah pembenahan tersebut, juga dilakukan kegiatan lain seperti meningkatkan kepekaan di kalangan masyarakat maupun pada penyelenggaraan negara. Bagi umat Islam khususnya dan bagi kaum beragama lainnya, perlu menyambut baik upaya pemerintah dalam rangka penerapan prinsip-prinsip hak asasi manusia. Sebagai naskah yang disusun bersama, DUHAM, lebih merupakan perpaduan dari berbagai ajaran nilai dasar dari berbagai ideologi, politik maupun agama. Masing-masing bangsa dan kelompok masyarakat manapun telah berkonstribusi terhadap rumusan HAM. Sekalipun demikian tentu masih ada nilai ajaran Islam yang tidak terekam dalam deklarasi tersebut.
Kemungkinan terjadi masih ada hal-hal yang belum bersinggungan (sesuai) antara DUHAM dengan syariat Islam. Perbedaan ini bisa menjadi kendala bagi pelaksanaan HAM, sebab bagi pemeluk Islam yang meyakini bahwa syariat (hukum) Islam sudah final dan sempurna, bisa jadi nilai-nilai agamanya itu dipertentangkan dengan butir-butir hak asasi manusia tersebut. Ini menjadi permasalahan tersendiri ketika pemeluk Islam tersebut juga sebagai penduduk/warga negara yang notabene negaranya sebagai anggota PBB menerima deklarasi tersebut. Memperhatikan perjalanan sejarah Nabi Muhammad SAW dan sahabatnya, serta belajar dari ulama terdahulu ternyata prinsip-prinsip hak asasi manusia itu telah pernah dilaksanakan dan dibahas oleh para ulama. Salah satu diantaranya berkembang pemikiran istilah maslahah mursalah dan maqashid al-syari'ah (tujuan-tujuan hukum). Tertarik pada masalah tersebut dalam paper ini akan dibahas tentang maqashid al-syari'ah dalam hubungannya dengan hak-hak asasi manusia.
Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Islam
Hak asasi manusia pada awalnya merupakan terjemahan dari kata droits de I'home (Perancis) yaitu suatu hak-hak manusia dan warga negara yang dikeluarkan di Perancis pada tahun 1789 ketika berlangsung revolusi Perancis. Gagasan HAM berasal dari pandangan hukum kodrati. Artinya hak-hak manusia ini dimiliki setiap orang karena ia manusia. Selain hak-hak ini bersifat universal, juga tidak dapat dicabut. Gerakan untuk menghidupkan kembali hak kodrati menghasilkan rancangan instrumen inernasional mengenai hak asasi manusia. Mencegah terulangnya peristiwa holocaust di masa depan, masyarakat internasional sepakat menjadikan hak asasi manusia sebagai tolak ukur. Kesadaran masyarakat akan pentingnya hak-hak asasi manusia terus meningkat. Untuk mengimbangi universal Declaration of Human Rights Interaction Council, dibentuk organisasi yang beranggotakan 60 tokoh dan ahli dari berbagai bidang dan agama. Organisasi ini menghasilkan deklarasi tentang tanggung jawab manusia atau Universal
Declaration of Human Responsibilities. Pemikiran ini berkembang setelah banyak muncul pandangan bahwa hak harus diimbangi dengan tanggung jawab atau kewajiban. Disamping itu DUHAM mencerminkan latar belakang filsafat dan kebudayaan Negara-egara barat yang memenangkan Perang Dunia II. Maka konsep kewajiban manusia berfungsi sebagai penyeimbang antara konsep kebebasan dan tanggung jawab. Jika hak lebih terkait dengan kebebasan, maka kewajiban terkait dengan tanggung jawab.
Pemikiran tentang HAM terus berkembang. Karel Vasak, seorang ahli hukum dari Perancis, menggunakan istilah generasi dalam melihat perkembangan hak asasi manusia. Kebebasan atau hak-hak generasi pertama sering disebut sebagai hak-hak asasi manusia yang klasik. Generasi ini mewakili hak-hak sipil dan politk. Hak-hak ini muncul dari tuntutan untuk melepaskan diri dari kungkungan kekuasaan absolutisme. Termasuk ke dalam hak ini adalah hak hidup, keutuhan jasmani, hak kebebasan bergerak, hak suaka  dari penindasan, perlindungan terhadap hak milik, kebebasan berpikir, beragama dan berkeyakinan, kebebasan untuk berkumpul dan menyatakan pikiran, hak bebas dari penahanan dan penangkapan sewenang-wenang, hak bebas dari penyiksaan, hak bebas dari hukum yang berlaku surut dan hak mendapatkan proses peradilan yang adil. Hakhak generasi pertama ini disebut sebagai hak-hak negatif (Bahan kursus HAM & Syari'ah UMM, 2012).
Generasi kedua hak asasi manusia muncul dari tuntutan agar negara menyediakan pemenuhan terhadap kebutuhan dasar setiap orang. Hak-hak ini dirumuskan dalam bahasa yang positif "hak atas" (right to), bukan dalam bahasa negatif "bebas dari" (freedom from). Inilah yang membedakan dengan hak-hak generasi pertama. Termasuk dalam generasi kedua ini adalah hak atas pekerjaan dan upah yang layak, hak atas jaminan sosial, hak atas pendidikan, hak atas perumahan, hak atas tanah, hak atas lingkungan yang sehat dan hak atas perlindungan karya ilmah, kesusastraan dan kesenian. Hak-hak ini pada dasarnya adalah tuntutan atas persamaan sosial. Generasi ketiga merupakan tuntuan atas hak solidaritas, tuntutan datang dari negara-negara berkembang atau Dunia Ketiga atas tatanan internasional. Dunia ketiga menginginkan terciptanya suatu tatanan ekonomi dan hukum internasional yang kondusif bagi terjaminnya hak-hak berikut : hak atas pembangunan, hak atas perdamaian, hak atas sumber daya alam sendiri, hak generasi ketiga ini sebetulnya hanya mengkonseptualisasi kembali tuntutan-tuntutan nilai berkaitan dengan kedua generasi hak manusia terdahulu.
Masyarakat Madani dan Keteladanan Rasulullah SAW
Wacana masyarakat madani di Indonesia pertama kali muncul pada symposium nasional dalam rangka Forum Ilmiah pada acara festival Istiqlal 26 September 1995 oleh Dato Anwar Ibrahim, ketika itu ia menjabat sebagai Menteri Keuangan dan Asisten Perdana Menteri Malaysia. Kemudian mendapat legitimasi dari beberapa pakar di Indonesia termasuk Nurcholish Madjid yang telah melakukan rekonstruksi terhadap konsep masyarakat madani pada artikelnya "Menuju Masyarakat Madani" (Taufiq, 2010 : 193)
Masyarakat Madani sebagai sebutan lain dari civil society yang diberi warna Islam. Sedang civil society dipahami sebagai negara (state) yang mempuyai prinsip pokok pluralis, toleransi dan human right termasuk didalamnya demokrasi. Adapun masyarakat madani disamping tetap mempertahankan prinsip-prinsip seperti pada civil society, juga merupakan komunitas yang memiliki kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat dilandasi dengan nilai-nilai agama/spiritualis. Istilah madani terambil dari kata madinah yang artinya kota. Tapi yang dimaksud disini adalah peradaban. Jadi masyarakat madani adalah masyarakat berperadaban. Sebagaimana Nabi Muhammad SAW mengubah nama Yatsrib menjadi Madinah dengan harapan dapat membangun masyarakat beradab yang memiliki peradaban yang tinggi. Madinah sendiri disamping mendapat predikat sebagai kota Nabi juga disebut dengan Al-Madinah Al-Munawaroh, kota yang cemerlang sebagai pusat pencerahan dan peradaban. Kepemimpinan Rasulullah dalam masyarakat Madinah menjadi teladan dalam pembentukan masyarakat madani dimanapun. Terdapat dokumen bersejarah yang disebut dengan Piagam Madinah. Nabi telah memberikan contoh bagaimana membangun masyarakat multikultural. Di Madinah terdapat penduduk asli yang kemudian dinamakan kaum Anshar. Para sahabat yang mengikuti Nabi hijrah dari Mekah ke Madinah disebut dengan kaum Muhajirin. Disamping itu terdapat kelompok masyarakat Yahudi yang terdiri dari Bani Qainuqa, Bani Nadhir dan Bani Quraizah (Al-Maghluts, 2008 : 174).
Setibanya Nabi Muhammad SAW, dan para sahabatnya di Madinah, waktu hijrah, Nabi mempersaudarakan antar kaum Muhajirin dan kaum Anshar. Maksud dijalinnya persaudaraan ini adalah untuk menghilangkan fanatisme jahiliyah dan menghilangkan sekat-sekat ras, warna kulit dan kesukuan. Suatu langkah tepat yang dilakukan Rasulullah sehingga dapat meminimalisasi usaha-usaha orang-orang munafik yang ingin memecah belah hubungan antara kelompok Aus dengan Khajraj-keduanya penduduk asli Madinahserta supaya orang munafik tidak merusak persaudaraan kaum Anshar dengan Muhajirin. Berhasil membangun ukhuwah Islamiyah-mempersaudarakan kaum Anshar dengan kaum Muhajirin-Nabi kemudian membangun persatuan Yatsrib (ukhuwah wathaniyah) dengan melakukan perjanjian dengan orang-orang Yahudi. Jalinan persaudaraan dan peraturan tersebut dimuat dalam perjanjian tertulis yang dikenal dengan Piagam Madinah. Piagam ini mengandung beberapa poin penting yang berhubungan dengan aturan atau hukum bagi masyarakat. Bila kita bandingkan dengan istilah sekarang, piagam tersebut merupakan dustur atau undang-undang. Didalamnya terdapat garis besar/ pengaturan negara. Piagam Madinah mencerminkan keadilan yang direpresentasikan dalam sikap Rasulullah terhadap kaum Yahudi. Piagam tersebut juga menunjukkan prinsip kesetaraan yang dijadikan sokoguru dalam membangun masyarakat saat ini. Kesetaraan ini juga berlaku bagi kaum wanita maupun lak-laki. Piagam Madinah juga menunjukkan bahwa hukum yang adil merupakan jalan untuk menyelesaikan pertikaian, perselisihan dan berbagai persoalan yang terjadi diantara penduduk Madinah (Al-Buthy, 2010 : 243).
Dokumen politik yang dikeluarkan oleh Nabi Muhamad SAW sejak 15 abad yang lampau telah memberikan dasar-dasar kehidupan masyarakat yang ideal diantaranya kebebasan beragama, kebebasan menyatakan pendapat, tentang keselamatan harta benda (hak milik) dan larangan melakukan kejahatan. Ketika itu dapat dikatakan Madinah sebagai negara kota. Seluruh penduduknya berkewajiban mempetahankan kotanya menghadapi ancaman dari luar. Mereka bekerja sama dan saling menghormati hak masing-masing dengan segala kebebasan dalam koridor perjanjian (piagam) Madinah yang telah disepakati bersama. Nabi Muhammad SAW, dalam masyarakat Madinah ini telah memberikan contoh dalam menegakkan hak asasi manusia. Ini sesuai dengan ajaran Islam yang mamandang sama semua manusia. Kepemimpinan Rasullulah tegak diatas prinsip keadilan dan samaan tanpa memandang perbedaan etnis maupun agama. Pada saat wukuf di Arafah 9 Dzulhijah 10 H, waktu haji wada' Nabi Muhammad saw berkhotbah : " Wahai manusia sesungguhnya darah dan harta kalian adalah haram di dzolimi oleh siapapun diantara kalian, sebagaimana haramnya dinodai hari ini, pada bulan ini, di negeri kalian ini" (AlButhy, 2009 : 582).
Maqashid al-Syari'ah dalam Kaitannya dengan Prinsip HAM
Syari'ah (syari'at) secara harfiah adalah jalan ke sumber air. Dalam istilah agama (Islam) syari'ah merupakan jalan hidup orang muslim. Syari'ah memuat ketetapanketetapan Allah dan ketentuan Rasul-Nya, baik berupa larangan maupun berupa perintah, meliputi seluruh aspek hidup dan kehiduoan manusia (Ali, 2001 : 46).
Dilihat dari segi ilmu hukum, syari'ah merupakan norma hukum dasar yang ditetapkan Allah, yang wajib diikuti oleh orang Islam berdasarkan iman yang berkaitan dengan akhlak, baik dalam hubungannya dengan Allah dan dengan sesama manusia maupun dengan alam sekitarnya. Fikih (fiqh) secara bahasa berarti paham, dalam arti pengertian atau pemahaman yang mendalam yang menghendaki pengerahan potensi akal. Para ulama ushul fikih mendifinisikan fikih sebagai mengetahui hukum-hukum Islam yang bersifat amali (amalan)
melalui dalil-dalilnya yang terperinci. Mereka mendefinisikan fikih sebagai sekumpulan hukum amaliah yang disyari'atkan dalam Islam ( Anshari, 1994 : 8 ). 
Dalam istilah hukum Islam syari'at dibedakan dengan fiqh sebagai berikut: 
Syari'at merupakan peraturan yang bersumber dari wahyu, sedang kesimpulankesimpulan dari wahyu menjadi (berupa) fiqh. Syari'at bersifat fundamental dengan ruanglingkup lebih luas, maka fiqh brsifat instrumental dengan ruang lingkup terbatas pada hukum yang mengatur perbuatan manusia. Syari'at adalah ketetapan Allah dan RasulNya, karena itu berlaku abadi. Fiqh adalah karya manusia yang tidak abadi, dapat berubah dari masa ke masa. Syari'at hanya satu dan menunjukkn kesatuan dalam Islam, sedangkan fiqh menunjukkan keragaman terlihat adanya aliran-aliran yang disebut madzab-madzab. Jika syari'at disebut Islamic Law maka fiqh adalah Islamic Jurisprudence. Antara syari'at dan fiqh tampak perbedaan-perbedaan, sekaligus menunjukkan keeratan hubungannya ( Ali, 2001 : 49 ).
Kalau kita pelajari ketetapan-ketetapan Allah dan ketentuan-ketentuan RasulNya dalam Al-Qur'an dan hadits-hadits shahih, kita segera mengetahui adanya tujuantujuan hukum Islam. Secara umum dapat dirumuskan bahwa tujuan hukum Islam adalah kebahagiaan manusia di dunia dan di akhirat, dengan jalan mengambil yang bermanfaat dan mencegah atau menolak yang mudlarat. Dengan kata lain tujun hukum Islam adalah kemaslahatan hidup manusia. Abu Ishaq al-Syatibi merumuskan lima tujuan hukum Islam, yakni memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Kelima tujuan hukum Islam ini disebut maqashid al-syari'ah.
Maqashid al- syari'ah adalah tujuan hukum Islam yng harus dicapai. Tujuan tersebut dapat ditelusuri dalam ayat-ayat al-Qur'an dan hadits-hadits Nabi sebagai sumber hukum utama sehingga dapat dirumuskan hukum-hukum fikih yang berorientasi pada kemaslahatan.
Kemaslahatan ini dapat ditangkap oleh orang yang mau dengan sungguhsungguh menggunakan daya pikir (intelektual). Menurut istilah ulama ushul fikih kemaslahatan ini disebut dengan maslahah mursalah.Maslahah mursalah sebagai sumber hukum dalam implemntasinya masih dipertimbangkan oleh para fuqaha. Golongan madzab Hanafy dan madzab Syafi'i tidak menganggapnya sebagai sumber hukum yang berdiri sendiri dan memasukkannya ke dalam kategori qiyas. Sedangkan Imam Maliki dan Imam Hanbali berpendapat bahwa maslahah mursalah dapat diterima dan dapat dijadikan sumber hukum Islam, selama memenuhi syarat yang ditentukan. Sebab pada hakikatnya keberadaan maslahat adalah dalam rangka merealisasikn tujuan hukum (maqashid al- syari'ah). Meskipun secara langsung tidak terdapat nash yang menguatkannya. Madzab Maliky sebagai pembawa bendera maslahah mursalah mengemukkan tiga alasan sebagai berikut: Pertama, praktek para sahabat yang telah menggunakan maslahah mursalah. Seperti yang dilakukan Umar bin Khattab. Ia tidak melaksanakan hukuman potong tangan kepada pencuri yang miskin dimusim paceklik. Contoh lain, para sahabat mengumpulkan mushaf al-Qur'an pada hal tidak ada perintah dari Nabi. Kedua, adanya maslahat sesuai dengan maqashid al-syari'ah. Ketiga, Seandainya maslahat tidak dilakukan, maka mukallaf akan mengalami kesulitan ( Zahroh, 2001 : 428 - 431 ).
Tingkatan Kemaslahatan
Menurut Abu Ishaq Al-Syatibi, kemaslahatan yang akan diwujudkan terbagi menjadi tiga tingkat, yaitu: Pertama, Kebutuhan dharuriyat (maslahat yang hakiki) atau kebutuhan primer. Termasuk dalam kebutuhan ini adalah al-kulliyatu al-khams, lima hal yang merupakan tujuan hukum Islam. Kedua, kebutuhan hajiyat ialah kebutuhankebutuhan sekunder, dimana bilamana tidak terwujud dan tidak sampai mengancam keselamatannya, namun akan mengalami kesulitan. Tujuan hajiyat dari segi penerapan penetapan hukumnya dikelompokan pada 3 (tiga) kelompok:
  1. Hal yang disuruh syara' melakukannya untuk dapat melaksanakan kewajiban syara' secara baik. Hal ini sebut muqodimah wajib. Misalnya mendirikan sekolah dalam hubungannya dengan menuntut ilmu untuk meningkatkan kualitas akal. 
  2. Hal yang dilarang syara' melakukannya untuk menghindarkan secara tidak langsung pelanggaran pada salah satu unsur yang dharuri.Misalnya melakukan khalawat (berdua dengan lawan jenis ditempat sepi).
  3. Segala bentuk kemudahan yang termasuk hukum rukshah (kemudahan) yang memberi kelapangan dalam kehidupan manusia. 
Ketiga, kebutuhan tahsiniyat. Tujuan tingkat tersier ini adalah sesuatuyang sebaiknya ada untuk memperindah kehidupan. Keberadaannya dikehendaki untuk kemuliaan akhlak dan kebaikan tatatertib pergaulan.Misalnya berhias dan berpakaian rapi pada waktu ke masjid ( Syarifuddin, 2011 : 222 - 229 ). Lebih rinci Abu Ishaq al-Syatibi menjelaskan tentang, dharuriyati al-kuliatul alkhoms (kebutuhan Al-Dharuriyat) sebagai berikut:
Al-Muhafazhah Ala Al-Dîn
Al-Muhafazhah Ala Al-Dîn yaitu menjaga agama. Agama adalah sesuatu yang harus dimiliki oleh setiap manusia supaya martabat-nya terangkat lebih tinggi. Beragama merupakan kebutuhan manusia yang mesti dipenuhi, karena agama-lah yang dapat menyentuh nurani manusia. Dalam memeluk agama, Bahkan Islam memberi perlindungan kepada pemeluk agama lain untuk menjalankan agamanya sesuai dengan keyakinannya.
Muhafazhah Ala Al-Nafs
Al-Muhafazhah ala al-nafs ialah jaminan keselamatan atas hak hidup yang mulia. Termasuk dalam pengertian umum dari jiwa ini adalah jaminan keselamatan nyawa, anggota badan dan terjaminnya kehormatan kemanusian. Mengenai yang terakhir ini meliputi kebebasan memilih profesi, kebebasan berpikir, dan mengeluarkan pendapatan, kebebasan berbicara dan kebebasan memilih tempat tinggal. Larangan pembunuhan dan ancaman hukuman qishosh adalah termasuk dalam pemeliharan hifdl an-nafs.
 Al-Muhafazhah Ala Al-'Aql.
Al-Muhafazhah Ala Al-'Aql Yaitu terjaminnya akal pikiran dari kerusakan yang menyebabkan orang yang bersangkutan tidak berguna ditengah masyarakat. upaya pencegahan yang bersifat preventif yang dilakukan syari'at sesungguhnya ditujukan untuk meningkatkan kemampuan akal pikiran dan menjagannya dari berbagai hal yang membahayakan. Di haramkan meminum khamar termasuk narkoba adalah dimaksudkan untuk menjamin keselamatan akal. Dengan akal yang sehat manusia dapat mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan dengan itu manusia dapat mengelolah dan memakmurkan dunia dengan sebaik-baiknya.
Al-Muhafazhah Ala Al-Nasl
Al-Muhafazhah Ala Al-Nasl ialah jaminan kelestarian populasi umat manusia agar tetap hidup dan berkembang sehat baik fisik maupun psikis. Dalam memelihara keturunan Islam mengatur dengan pernikahan dan melarang zina. Islam memberikan ketentuan dalam al-Qur'an dan as-sunnah bagimana memilihara keturunan. Islam juga memberikan pelajaran bagaimana mendidik anak dan memelihara keluarga.
 Al-Muhafazhah Ala Al-M?l
Harta merupakan perhiasan hidup bagi manusia pada umumnya. Harta asasi hidup dan kehidupannya. Untuk itu manusia diberi amanah sebagai khalifah Allah SWT, di muka bumi agar dapat mengelolah alam ini sesuai dengan kemampuannya. Sebenarnya menurut Islam segala sesuatu adalah milik Allah secara mutlak. Namun manusia dilindungi hanya untuk memperoleh harta dengan cara-cara yang halal. Oleh karenanya diperlukan adanya kepastian hukum dalam masyarakat, guna menjamin kedamaian dalam kehidupan bersama ( Zahrah, 2001 : 425-426 )
Islam menjadikan hak asasi sebagai salah satu pokok dari agama. Bahkan Islam menjadikan hak sebagai manhaj ilahi, yang karena itu manusia diberi pahala jika menunaikannya dan berdosa bila meninggalkannya. Allah menjdikan hak untuk semua manusia, tanpa memandang perbedaan agama, etnis dan warna kulit. Rasulullah sebaikbaik orang yang mengaplikasikan hak-hak asasi tersebut, sehingga semua yang hidup dibawah naungan tuntunannya dan sunnahnya dapat merasakan kehidupan yang merdeka dan mulia. Hak-hak yang ditetapkan oleh Islam sebagai model atas keagungan syari'at. Islam meliputi hak-hak asasi manusia pada umumnya, hak perempuan, hak anak, hak pembantu dan pekerja, hak orang sakit dan berkebutuhan khusus, hak anak yatim dan orang miskin serta hak lingkungan (As-Sirjani, 2011 : 90 - 91).
Abdul Manan dan A. Syifaul Qulub dalam, Pendidikan Agama Islam (2010), menjelaskan lebih jauh sebagai berikut : pertama, hak persamaan dan kebebasan yang terdiri dari: (1) Persamaan didalam Politik dan Hukum. Di sini dijelaskan bahwa Islam tidak membenarkan tindakan diskriminatif antara manusia yang didasarkan pada suku, bangsa, ras, warna kulit, pangkat maupun jabatan dan sebagainya. (QS An-Nisa: 58 & 105); (2) Hak Berekspresi dan Mengeluarkan Pendapat. Setiap orang berhak menyampaikan pendapatnya kepada orang lain, mengingatkan kepada kebenaran, kebajikan serta mencegah kemungkaran (QS Ali-Imron: 104). Disamping itu Islam menyuruh agar saling mendengarkan dan mengeluarkan pendapat untuk kemudian memilih yang terbaik diantara pendapat-pendapat yang ada. (QS. Al-Zumar:17-18); (3) Hak Berpartisipasi dalam Politik dan Pemerintahan. Disini dijelaskan bahwa setiap orang mempunyai hak dalam kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam pemerintahan di negara-nya. Hal tersebut harus diimbangi dengan kemampuan (capability) dan keterpercayaan (credibility) seperti kemampuan fisik dan ilmu pengetahuan (basthatan fi al-ilmi wa al-jismi) hal ini sekaligus menunjukan penghargaan atas profesionalisme dan keahlian seseorang untuk menduduki jabatan tertentu. Islam tidak membenarkan pemberian suatu jabatan kepada yang bukan ahlinya sebab menyerahkan suatu urusan kepada yang bukan ahlinya akan mendatangkan kebinasaan; (4) Hak Wanita Sederajat dengan Pria (Kesetaraan). Sehubungan dengan ini, al Qur'an banyak berbicara hak-hak kaum wanita, yang sebelumnya tidak diperoleh sebelum al-Qur'an di turunkan, misalnya didalam al-Qur'an surat An-Nisa 34, disiratkan perintah agar kita senantiasa melindungi serta memberikan kebutuhan-kebutuhan istri. Di dalam QS. Al-Thalaq; 6, dijelaskan hak-hak istri berupa
nafkah dan tempat tinggal yang layak sesuai kemampuan suami. Di dalam al-Qur'an surah An-Nisa: 7, disebutkan bahwa wanita (ibu, saudara perempuan, anak perempuan) juga mempunyai hak untuk memperoleh bagian harta warisan. Masih banyak lagi ayat al-Qur'an yang menunjukkan adanya hak-hak bagi wanita; (5) Hak dan Kesempatan Yang Sama Untuk Memperoleh Kesejahteraan Sosial Di dalam al-Qur'an surat. al-Baqarah 29, dijelaskan bahwa setiap orang mempunyai kesempatan yang sama untuk memenuhi kebutuhan hidup. Namun, ini bukan berarti bahwa seseorang boleh mengambil tanpa memperdulikan aturan-aturan yang ada. Qur'an surah al-Baqarah 168, menyebutkan "hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang ada dibumi". Berkaitan dengan perlindungan sosial bagi orang miskin dan golongan ekonomi lemah (dhu'afa), Islam mengajarkan agar bersikap peduli terhadap nasib fakir miskin dan anak-anak yatim, serta orang-orang yang terlantar, oleh karena itu untuk membantu penghidupan mereka ini, didalam Islam ada lembaga yang bernama badan amil zakat, infak dan sedekah; (6) Hak Kebebasan Bertempat Tinggal dan Mencari Serta Memberi Suaka .Pada al-Qur'an surat. Al-Nisa: 97, berisi pesan bahwa seorang mukmin tidak boleh membiarkan dirinya ditindas atau dianiayah oleh orang lain di negeri-nya sendiri.
Kemudian pada al-Qur'an surat.Al-Mumtahanah: 8-9, berisi pesan bahwa orang orang muslim boleh memberikan perlindungan terhadap non-muslim yang tidak menganggu kepentingan agama dan diri mereka.
Kedua, hak hidup perlindungan dan kehormatan, yang terdiri dari: (1) Hak hidup dan memperoleh perlindungan. Sehubungan dengan hak hidup ini al-Qur'an menegaskan antara lain dalam surat Al-Isra: 31 dan 33. Kemudian dalam rangka memberikan perlindungan kepada mereka yang lemah dan teraniaya, al-Qur;an dalam surat, Al-Balad: 12-16; (2) Hak atas kehormatan pribadi. Sehubungan dengan ini al-Qur;an menegaskan antara lain: dalam surat Al-Hujurat: 11-12 dan surat An-Nur: 27-28. (3) Hak anak dari ng tua. Sehubungan dengan ini al-Qur'an surat Al-Baqarah: 233, menjelaskan para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama 2 tahun dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada anak dan ibu dengan cara yang baik. Kemudian dalam surat AtTahrim: 6, ditegaskan bahwa hendaklah orang-orang yang beriman menjaga dirinya dan keluarganya dari api neraka. Demikian pula dalam surat. At-Tahrim: 6; (4) Hak
memperoleh pendidikan dan berperan serta dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Didalam Islam, hak memperoleh pendidikan ini tercermin dalam ayat-ayat alQur'an antara lain: surat Al-Isra: 36: "dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan, sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya". Ayat ini secara implisit mengandung perintah agar seseorang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi sebelum melakukan suatu aktifitas dalam kehidupannya. Sekaligus ayat ini dapat pula dipahami sebagai bukti bahwa Allah memberikan hak kepada setiap orang untuk memperoleh ilmu pengetahuan; (5) Hak untuk bekerja dan memperoleh imbalan. Sehubungan dengan ini al-Qur'an menegaskan antara lain: dalam surat An-Nahl: 97, surat Al-Mulk; 15, dan surat Al-Isra; 84. ayat-ayat tersebut menunjukkan bahwa Islam memberikan kesempatan kepada manusia untuk bekerja dan berusaha serta memperoleh imbalan berupa upah dari apa yang dikerjakannya untuk mendapatkan penghidupan yang layak bagi dirinya; (6) Hak tahanan dan nara pidana. Didalam Islam seseorang tidak boleh berlaku aniaya (dzolim) dan sewenangwenang terhadap orang lain. Nabi bersabda: "beri makanlah orang yang kelaparan, kunjungilah orang yang sakit dan lepaskanlah orang yang tertahan" (HR Bukhari). Kemudian dalam a;- Qur'an suat Al-Qasas : 77, Allah melarang berbuat kerusakan di muka bumi. Ketiga, hak kepemilikan yang terdiri dari: 
  1. Hak kepemilikan pribadi. Islam sangat menghargai hak-hak kepemilikan. Hal ini tercermin dari adanya persyaratan hak milik untuk kewajiban zakat dan pewarisan. Bahkan seseorang yang mati didalam membela dan mempertahankan hak miliknya dipandang sebagai syahid. Dalam al-Qur'an surat Al-Baqarah: 29, ditegaskan agar setiap orang mengambil manfaat dari alam yang diciptakan Allah guna memenuhi kebutuhannya;
  2. Hak menikmati hasil/produk dan hak cipta. Sehubungan dengan ini al-Qur'an surat Al-Ahqaf: 19 , dijelaskan bahwa hasil karya seseorang ikut menentukan derajatnya. Kemudian dalam surat Al-Mujadilah: 11,dijelaskan bahwa iman dan ilmu pengetahuan merupakan jalan (wasilah) untuk menaiki derajat yang lebih tinggi. Juga didalam surat An-Nahl: 97, dijelaskan bahwa setiap karya yang dilakukan oleh orang-orang yang beriman pasti akan mendatangkan hasil bagi perbaikan hidupnya baik di dunia maupun di akhirat. Dengan demikian, Islam selalu mengakui dan menghormati hasil karya seseorang baik berupa benda maupun pemikiran atau ilmu pengetahuan;
  3. Hak menikah dan berkeluarga. Sehubungan dengan pernikahan dan kehidupan berumah tangga/berkeluarga ini, al-Qur'an didalam surat Ar-Rûm: 21 "dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untuk mu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih saying. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir". Perkawinan dalam Islam bukan hanya merupakan hak tapi merupakan kewajiban, terutama bagi mereka yang punya kemampuan serta berkeinginan yang besar. 
Kewajiban memelihara keluarga itu terutama kepada suami, karena suami adalah pemimpin dalam keluarga. Toleransi dan Kebebasan Memilih Agama Nabi Muhammad saw, datang (diutus oleh Allah) sebagai rasulnya untuk menyeru umat manusia agar menjalani kehidupan ini diatas jalan Allah. Secara sederhana dapat diungkapkan bahwa nabi Muhammad saw, di utus dengan membawa Islam dalam rangka pendewasaan manusia, "aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia" demikian sabda nabi. Kesempurnaan akhlak manusia tidak lain adalah kedewasaan sikapnya dalam pergaulan dan hubunganya dengan Allah, manusia dan makluk lainnya, ciri utamanya adalah menjalani kehidupan secara bertanggungjawab yang merupakan sikap orang dewasa. Diutusnya Nabi Muhammad saw, merupakan kasih sayang Allah dan anugerahNya kepada seluruh umat manusia sebagaimana firman Allah dalam al-Qur'an surat AlAnbiyâ; 107, "tidaklah kami mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi alam semesta". Al-Maraghi (1989 : 125-127) dalam menafsirkan ayat sebelumnya yang menyatakan bahwa bumi ini hanya akan dimakmurkan oleh hamba-hamba-Nya yang pantas untuk memakmurkannya, dari penganut agama manapun dan pemeluk aliran apapun. Penegasan dalam ayat 107 Surah Al-Anbiya diatas, bahwa Nabi diutus untuk menciptakan kemashlahatan, agar rahmat Allah dapat tersebar dimiliki oleh seluruh umat manusia dan dimanapun mereka berada. Sekalipun risalah yang dibawa oleh Nabi ajaran Islam sebagaimana termaktub dalam kitab suci al-Qur'an untuk di sebar luaskan keseluruh umat manusia, namun diingatkan bahwa dalam pelaksanaannya tidak diperkenankan melakukan penekanan dan pemaksaaan. Kebebasan beragama atau kebebasan memilih agama sebagaimana disebutkan dalam surat Al-Baqarah : 256, dengan tegas dinyatakan tidak boleh ada paksaan untuk memeluk agama (Islam). karena sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dan jalan yang salah. Kemudian dalam Qur'an surat Yunus: 99, disebutkan bahwa andaikan Allah menghendaki semua orang beriman tentunya semua orang dimuka bumi menjadi beriman. Berdasarkan ayat-ayat ini jelaslah bahwa masalah menganut suatu agama atau kepercayaan sepenuhnya diserahkan kepada manusia itu sendiri untuk memilihnya tanpa ada paksaan dari pihak manapun.
Semua agama lahir sebagai respon terhadap kehidupan manusia yang menyimpang dari hakikat kemanusiaan, penyimpangan terjadi karena menuruti ajaan hawa nafsunya. Maka dakwah bermaksud mengajak manusia untuk mengikuti jalan Allah. Dengan demikian dakwah ingin menjadikan manusia bermartabat terhindar dari tindakan-tindakan destruktif dan tidak manusiawi. Tujuan akhir dari risalah menciptakan kedamaian lahir batin sebagai realisasi misi menebarkan rahmat Allah (rahmatan lil 'alaamiin).
Agar tercipta suatu kedamaian perlu memperhatikan prinsip-prinsip dakwah (penyampaian risalah) diantaranya bil hikmah (dengan penuh kearifan dan kebijaksanaan) serta menjaga hubungan baik sesama umat manusia dengan kata lain menegakkan kehidupan toleransi dalam pergaulan. Toleransi merupakan ekspresi ajaran Allah sekaligus kebutuhan hidup manusia di muka bumi. Dalam trasidi Islam, Tuhan di gambarkan sebagai Maha Damai (al-salam), Yang Maha Pengampun (al-ghafur), Yang Maha Pengasih (ar-rahman), Yang Maha Penyayang (ar-rahim). Energi utama toleransi dan cinta kasih adalah dari Allah, maka
tidak ada pilihan lain kecuali membumikan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan nyata Ibnu Mashkawih menjelaskan pentingnya toleransi dan cinta kasih dalam ranah sosial. Cinta kasih adalah energi penting dalam sebuah masyarakat. Masyarakat yang menjadikan cinta kasih sebagai nilai-nilai fundamental, maka masyarakat tersebut mempunyai kesempatan menaiki tahapan dan tangga menuju masyarakat yang beradab
dan bermartabat (Misrawi , 2010 : 204-205).
Dari berbagai sumber ajaran Islam, keteladanan Rasulullah dalam kehidupan dan tujuan hukum Islam atau syari'at serta prinsip-prinsip berbagai macam hak tersebut diatas maka ajaran Islam telah mencakup banyak tentang hak-hak asasi manusia. Jika dibandingkan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia baik hak sipil dan politik maupun hak-hak ekonomi sosial dan budaya hampir seluruhnya telah termaktub dalam hak asasi
manusia menurut prespektif Islam. Dimungkinkan dengan perkembangan dan pemikiran baru yang terus berubah menyesuaikan dengan kebutuhan manusia. Pemikiran yang pernah dicetuskan terdahulu yaitu mashlahah murshalah sebagai salah satu sumber hukum Islam akan memberikan peluang memperoleh solusi dalam memecahkan berbagai persoalan.. Dengan demikian prinsip bahwa al-Islamu sholikhun fi kulli makan wa zaman tetap berlaku.
Sumber hukum utama dalam Islam adalah al-Qur'an dan Sunnah Nabi.
Dari dua landasan fundamental tersebut dikembangkan oleh para ulama dasar-dasar hukum berikutnya yang tentunya tidak bisa lepas dari landasan utama dari al-Qur'an dan Hadits. Di antarannya adalah mashlahah murshalah yang kemudian dari dasar ini lahir kaidah maqashidu al-syariah yang menyangkut jaminan terhadap lima hal yang sangat urgen yaitu; hifdl al-dîn, hifdl al-nafs, hifdl al-'aql, hifdl al-nasl, dan hifdl al-mâl.. Pengalaman Nabi di Madinah patut menjadi contoh. Banyak hal yang dapat diambil daripadanya. Nilai toleransi dan kasih sayang dikembangkan, sikap adil ditegakkan, meletakkan dasar persamaan hak kepada semua warga/penduduk Madinah baik yang muslim maupun yang non-muslim. Piagam Madinah menjadi transkip monumental yang memberikan pelajaran sangat berharga bagi pergaulan hidup umat manusia.
Keteladanan Nabi Muhammad SAW dan prinsip-prinsip hak asasi manusia dalam Islam banyak bersinggungan dan kesesuaian dengan DUHAM maupun peraturan perundang-undangan penegakan HAM di Indonesia. Bahkan Islam telah memberikan sumbangan dan kontribusi bagi pengembangan konsep dan pelaksanaan HAM.

Penutup
Konsep hak asasi manusia berkembang sejalan dengan kebutuhan manusia. Mulai dari yang klasik yang memuat hak-hak sipil dan politik hingga tuntutan kepada negara untuk memenuhi kebutuhan dasar semua orang yang memuat hak-hak asasi manusia dalam bidang sosial, ekonomi dan budaya. Dalam kehidupan masyarakat di Madinah, Nabi telah melaksanakan prinsip-prinsip hak asasi manusia yang termaktub dalam Piagam Madinah. Hak-hak tersebut meliputi kebebasan beragama, kebebasan menyatakan pendapat dan kewajiban menolong sesama serta kewajiban bela negara. Perkembangan sumber hukum Islam dari landasan utama lahir maslahah mursalah dan tujuan hukum Islam maqashid al-syari'ah dapat dipenuhi hak-hak asasi manusia kebutuhan primer (dharuriyat) yang meliputi hak kebebasan beragama, hak hidup, hak mengembangkan dan menggunakan akal, hak memelihara keturunan, dan hak memilikiharta. Prinip-prinsip HAM baik yang termasuk dalam hak-hak sipil dan politik maupun hak-hak sosial, ekonomi dan budaya telah terangkum dalam maqashid al- syariah maupun dalam maslahat (kebutuhan) dharuriyat (primer), hajiyat (sekunder) dan takhsiniyat (tertier).



Daftar Pustaka
Ali, Muhammad Daud. 2011. Hukum Islam, Jakarta: PT raja Grafindo Persada.
Al-Maraghi, Ahmad Mushthofah. 1989. Terjemah Tafsir Al-Maraghi, Penerjemah Heri Nur
Ali, Semarang: Toha Putra.
Al-Maghluts, Sami bin Abdullah. 2008. Atlas Perjalanan Nabi Muhammad, Penerjemah
Dewi Kourniasari dkk, Jakarta: Al-Mahira.
 Al-Buthy. 2010. Fikih Sirah, Penerjemah Fuad Syaifudin Nur, Jakarta : Penerbit Hikmah.
Anshari, Hafizh, dkk. 1994. Ensiklopedi Islam, jild 2, Jakarta: Ichtar Baru Van Hoeven.
As-Sirjani, Raghib. 2011. Rasulullah Teladan Untuk Semesta Alam. Penerjamah, Arif Rahman
Hakim, Sukoharjo:Insan Kamil Solo.
Bahan Kursus HAM Syari'ah UMM, Evolusi Pemikiran dan Sejarah Perkembangan Hak Asasi
Manusia.
Daud Ali, Mohammad. 2001. Hukum Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
El-Muhtaj, Majda. 2009. Dimensi-Dimensi HAM mengenai Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya,
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Kholaf, Abdul Wahhab. 2003. Ilmu Ushul Fiqih Kaidah Hukum Islam, Terjemah Faiz el
Muttaqin. Jakarta: Pustaka Amani.
Manan, Abdul dan A. Syifaul Qulub. 2010. Pendidikan Agama Islam, Surabaya: Laros.
Machasin. 2011. Islam Dinamis Islam Harmonis, yogyakarta: LKiS
Misrawi, Zuhairi. 2010. Al-Qur'an Kitab Toleransi, Jakarta: Pustaka Oasis.
Ritonga, A. Rahman, dkk. 1997. Ensiklopedi Hukum Islam 2, Jakarta: PT. Intermasa.
Saptaningrum, Indriwastati Diah, dkk. 2011. Hak Asasi Manusia Dalam Pusaran Politik
Transaksional. Jakarta: ELSAM.
Syarifuddin, Amir. 2011. Ushul Fiqih, Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
 Taufiq, Ahmad & Muhammad Rohmadi. 2010. Pendidikan Agama Islam, Pendidikan Karakter
Berbasis Agama, Surakarta: Yuma Pustaka.
Zahroh, Muhammad Abu. 2001. Ushul Fiqih, Penerjamah Syaifullah Ma'shum, Jakarta: PT
Pustaka Firdaus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar