A. Pengertian Kebijakan Publik
Secara
terminologi pengertian kebijakan publik (public policy) itu ternyata banyak
sekali, tergantung dari sudut mana kita mengartikannya. Easton memberikan
definisi kebijakan publik sebagai the authoritative allocation of values for
the whole society atau sebagai pengalokasian nilainilai secara paksa kepada
seluruh anggota masyarakat. Laswell dan Kaplan juga mengartikan kebijakan
publik sebagai “a projected program of goal, value, and practice” atau sesuatu
program pencapaian tujuan, nilai-nilai dalam praktek-praktek yang terarah.
Jadi
Berdasarkan pendapat berbagai ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa kebijakan
publik adalah serangkaian tindakan yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh
pemerintah yang berorientasi pada tujuan tertentu guna memecahkan
masalah-masalah publik atau demi kepentingan publik. Kebijakan untuk melakukan
sesuatu biasanya tertuang dalam ketentuan-ketentuan atau peraturan
perundang-undangan yang dibuat pemerintah sehingga memiliki sifat yang mengikat
dan memaksa.
Kemudian
dari pada itu lingkup dari studi kebijakan publik sangat luas karena mencakup
berbagai bidang dan sektor seperti ekonomi, politik, sosial, budaya, hukum, dan
sebagainya. Disamping itu dilihat dari hirarkirnya kebijakan publik dapat
bersifat nasional, regional maupun lokal seperti Undang-Undang, Peraturan
Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, Peraturan Pemerintah
Daerah/Provinsi, Keputusan Gubernur, Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, dan
Keputusan Bupati/Walikota.
B. Analisis Kebijakan Publik UU Nomor 4
Tahun 2012 Tentang APBN
Pada 31 Maret
2012 lalu, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyetujui Rancangan Perubahan
UU APBN Tahun 2012 yang diajukan oleh Pemerintah, menjadi UU APBN Tahun 2012. Berlakunya
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2012
(UU APBN-P 2012) khususnya Pasal 7 ayat (6) huruf a, sangat berefek kepada penyesuaian harga
BBM, dimana UU memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk melakukan
penyesuaian harga jual subsidi BBM kepada rakyat sesuai dengan mekanisme pasar.
“Ini bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi. Bahwa “Mahkamah Konstitusi dalam
putusan judicial review UU Migas memutuskan bahwa harga jual minyak dan
gas tidak boleh diserahkan pada mekanisme pasar. Ini berarti ketentuan Pasal 7
ayat (6a) UU APBN-P tidak sesuai dengan asas hukum lex supperiori derogat
legi inferiori yang menentukan bahwa peraturan perundang-undangan yang
lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi. Selain itu dengan adanya ayat (6a), kewenangan pemerintah untuk
menaikkan atau menurunkan harga BBM tidak sejalan dengan Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2003 tentang Keuangan Negara karena dalam menyesuaikan harga BBM cukup
dilakukan oleh Pemerintah tanpa memerlukan persetujuan DPR RI. Berdasarkan
hal-hal tersebut, norma hukum yang terdapat dalam Pasal 7 ayat (6a) UU APBN-P
2012 telah mengabaikan kedaulatan rakyat dalam menetapkan APBN dan mengabaikan
asas kepastian hukum dan keadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1)
UUD RI Tahun 1945.
Dengan
diberlakukannya UU tersebut, dimana
terdapat
tambahan pasal dan ayat, khususnya Pasal 7 ayat (6) huruf a yang menyatakan:
“Dalam hal harga rata-rata minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude oil
Price/ICP) dalam kurun waktu berjalan mengalami kenaikan atau penurunan
lebih dari 15% (limabelas perseratus) dari ICP yang diasumsikan dalam APBN
Perubahan Tahun Anggaran 2012, Pemerintah dapat melakukan penyesuaian harga BBM
bersubsidi dan kebijakan pendukungnya”, dalam hal ini Pemerintah diberikan kewenangan untuk
menyesuaikan harga Bahan Bakar Minyak bersubsidi”. Artinya
bahwa Pemerintah dengan adanya Pasal 7 ayat (6a) akan dengan leluasa
menaikkan harga BBM. Padahal kehidupan masyarakat Indonesia sangat berada di
bawah standar garis kemiskinan, sebagai contoh anggota Konfederasi Serikat
Nasional yang mayoritas adalah buruh pabrik yang pendapatan rataratanya hanya
sekitar Rp. 1.350.000,- per bulan sangat dipengaruhi harga komoditas
minyak. Dengan kenaikan harga BBM dapat dipastikan akan terjadi “multy
player effect” terhadap seluruh komponen kebutuhan hidup, terutama 6
kebutuhan transportasi (sumber berita koran KOMPAS, Rabu 07 Maret 2012, halaman
7, Kenaikan Harga BBM: “Tarif Angkutan Barang Naik 30 Persen“,an Kamis, 8 Maret
2012, halaman 21, “Kenaikan Upah Buruh Per Februari 2012 Menjadi Tak
Berarti“).
Melihat dari segi substansi UU Nomor 4 Tahun 2012 ini
sanagat bertentangan dengan Hak Asasi Manusia yang di atur dalam Pasal 28A UUD
1945 Perubahan: “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan
hidup dan kehidupannya”.
Dalam norma hak
asasi manusia, negara, khususnya pemerintah, berkedudukan sebagai pemangku
kewajiban (duty barrier). Dalam hal ini, terdapat sekurang-kurangnya
tiga kewajiban yang melekat pada negara atas hak asasi manusia (HAM)
sebagaimana diamanatkan Pasal 8, Pasal 71, dan Pasal 72 Undang-Undang Nomor 39
Tahun 1999 tentang HAM, yaitu menghormati (to respect), melindungi (to
protect), dan memenuhi (to fullfill).
Dengan formulasi
HAM seperti ini, salah satu kewajiban Negara yang paling
fundamental dalam konteks penguasaan
cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang
banyak, adalah optimalisasi perlindungan warga negara atas kebutuhan hajat
hidup yang strategis tersebut, seperti Bahan Bakar Minyak (BBM) dan Listrik.
Sehingga sudah tepatlah bila Pasal 28 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang MIGAS
Nomor 22 Tahun 2001, yang menetapkan harga BBM dan gas mengikuti mekanisme
pasar bebas, kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusipada tahun 2004;
Namun dengan
ditetapkannya Pasal 7 ayat (6a) Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara Perubahan Tahun 2012 Nomor 4 Tahun 2012, maka akan bertentangan dengan
Putusan Mahkamah Konstitusi di atas, dan fungsi negara sebagai pemangku
kewajiban melindungi warga negaranya, menjadi terabaikan;
C. Solusi
Kebijakan Publik UU
Nomor 4 Tahun 2012 Tentang APBN
Sesuai
dengan pembahasan di atas maka solusi dari penulis agar kedepannya harus
diadakan Judicial Rewiew mengingat
sebagian substansi UU Nomor 4 tahun 2012 ini khususnya Pasal 7 ayat
(6) huruf a UU APBN-P Tahun 2012, karena secara formal
dilatarbelakangi alasan bahwa penyusunan pasal tersebut bertentangan dengan
asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam UU
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Penulis mengutip pendapat
“Yusril Ihza
Mahendra” yang
mengatakan, asas-asas hukum dan asas-asas pembuatan peraturan perundang-undangan yang baik,
merupakan conditio sine quanon bagi berhasilnya suatu peraturan
perundang-undangan yang dapat diterima dan berlaku di seluruh masyarakat
Indonesia, karena telah mendapat dukungan landasan filosofis, yuridis, dan
sosilogis.
Dalam hal ini jika UU Nomor 4 Tahun
2012 ini dari sudut dari Sudut
filosofis, pembentukan peraturan perundang-undangan seharusnya ditujukan untuk
kesejahteraan masyarakat,
akan tetapi banyak penolakan dari masyarakat dan bertentangan keputusan MK terhadap Pasal
7 ayat (6) huruf a UU APBN-P Tahun 2012 merupakan indikasi hal tersebut tidak
memenuhi syarat filosofis pembentukan peraturan perundang-undangan. Dari sudut
sosiologis, peraturan perundang-undangan yang dibentuk haruslah diterima oleh
masyarakat. Tetapi bercermin dari protes yang dilancarkan secara masif oleh
berbagai elemen masyarakat, menjadi indikasi kuat pasal dalam UU tersebut tidak diterima masyarakat.
“Bercermin dari
sudut sosiologis dan filosofis Pasal 7 ayat (6) huruf a Undang-Undang APBN-P
Tahun 2012, dari perspektif sosilogis tidak dapat diterapkan oleh pemerintah,” . Sehingga secara materiil
bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 23 ayat (1), Pasal 23 ayat (1),
Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 33 ayat (3) dan ayat (4) UUD 1945,” .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar