Minggu, 13 Oktober 2013

ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG APBN



A.  Pengertian Kebijakan Publik
Secara terminologi pengertian kebijakan publik (public policy) itu ternyata banyak sekali, tergantung dari sudut mana kita mengartikannya. Easton memberikan definisi kebijakan publik sebagai the authoritative allocation of values for the whole society atau sebagai pengalokasian nilainilai secara paksa kepada seluruh anggota masyarakat. Laswell dan Kaplan juga mengartikan kebijakan publik sebagai “a projected program of goal, value, and practice” atau sesuatu program pencapaian tujuan, nilai-nilai dalam praktek-praktek yang terarah.
Jadi Berdasarkan pendapat berbagai ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa kebijakan publik adalah serangkaian tindakan yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah yang berorientasi pada tujuan tertentu guna memecahkan masalah-masalah publik atau demi kepentingan publik. Kebijakan untuk melakukan sesuatu biasanya tertuang dalam ketentuan-ketentuan atau peraturan perundang-undangan yang dibuat pemerintah sehingga memiliki sifat yang mengikat dan memaksa.        
Kemudian dari pada itu lingkup dari studi kebijakan publik sangat luas karena mencakup berbagai bidang dan sektor seperti ekonomi, politik, sosial, budaya, hukum, dan sebagainya. Disamping itu dilihat dari hirarkirnya kebijakan publik dapat bersifat nasional, regional maupun lokal seperti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, Peraturan Pemerintah Daerah/Provinsi, Keputusan Gubernur, Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, dan Keputusan Bupati/Walikota.

B.  Analisis Kebijakan Publik UU Nomor 4 Tahun 2012 Tentang APBN
Pada 31 Maret 2012 lalu, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyetujui Rancangan Perubahan UU APBN Tahun 2012 yang diajukan oleh Pemerintah, menjadi UU APBN Tahun 2012. Berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2012 (UU APBN-P 2012) khususnya Pasal 7 ayat (6) huruf a, sangat berefek kepada penyesuaian harga BBM, dimana UU memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk melakukan penyesuaian harga jual subsidi BBM kepada rakyat sesuai dengan mekanisme pasar. “Ini bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi. Bahwa “Mahkamah Konstitusi dalam putusan judicial review UU Migas memutuskan bahwa harga jual minyak dan gas tidak boleh diserahkan pada mekanisme pasar. Ini berarti ketentuan Pasal 7 ayat (6a) UU APBN-P tidak sesuai dengan asas hukum lex supperiori derogat legi inferiori yang menentukan bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Selain itu dengan adanya ayat (6a), kewenangan pemerintah untuk menaikkan atau menurunkan harga BBM tidak sejalan dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara karena dalam menyesuaikan harga BBM cukup dilakukan oleh Pemerintah tanpa memerlukan persetujuan DPR RI. Berdasarkan hal-hal tersebut, norma hukum yang terdapat dalam Pasal 7 ayat (6a) UU APBN-P 2012 telah mengabaikan kedaulatan rakyat dalam menetapkan APBN dan mengabaikan asas kepastian hukum dan keadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD RI Tahun 1945.
Dengan diberlakukannya UU tersebut, dimana terdapat tambahan pasal dan ayat, khususnya Pasal 7 ayat (6) huruf a yang menyatakan: “Dalam hal harga rata-rata minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude oil Price/ICP) dalam kurun waktu berjalan mengalami kenaikan atau penurunan lebih dari 15% (limabelas perseratus) dari ICP yang diasumsikan dalam APBN Perubahan Tahun Anggaran 2012, Pemerintah dapat melakukan penyesuaian harga BBM bersubsidi dan kebijakan pendukungnya”, dalam hal ini Pemerintah diberikan kewenangan untuk menyesuaikan harga Bahan Bakar Minyak bersubsidi”. Artinya bahwa Pemerintah dengan adanya Pasal 7 ayat (6a) akan dengan leluasa menaikkan harga BBM. Padahal kehidupan masyarakat Indonesia sangat berada di bawah standar garis kemiskinan, sebagai contoh anggota Konfederasi Serikat Nasional yang mayoritas adalah buruh pabrik yang pendapatan rataratanya hanya sekitar Rp. 1.350.000,- per bulan sangat dipengaruhi harga komoditas minyak. Dengan kenaikan harga BBM dapat dipastikan akan terjadi “multy player effect” terhadap seluruh komponen kebutuhan hidup, terutama 6 kebutuhan transportasi (sumber berita koran KOMPAS, Rabu 07 Maret 2012, halaman 7, Kenaikan Harga BBM: “Tarif Angkutan Barang Naik 30 Persen“,an Kamis, 8 Maret 2012, halaman 21, “Kenaikan Upah Buruh Per Februari 2012 Menjadi Tak Berarti“).
Melihat  dari segi substansi UU Nomor 4 Tahun 2012 ini sanagat bertentangan dengan Hak Asasi Manusia yang di atur dalam Pasal 28A UUD 1945 Perubahan: “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”.
Dalam norma hak asasi manusia, negara, khususnya pemerintah, berkedudukan sebagai pemangku kewajiban (duty barrier). Dalam hal ini, terdapat sekurang-kurangnya tiga kewajiban yang melekat pada negara atas hak asasi manusia (HAM) sebagaimana diamanatkan Pasal 8, Pasal 71, dan Pasal 72 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, yaitu menghormati (to respect), melindungi (to protect), dan memenuhi (to fullfill).
Dengan formulasi HAM seperti ini, salah satu kewajiban Negara yang paling
fundamental dalam konteks penguasaan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, adalah optimalisasi perlindungan warga negara atas kebutuhan hajat hidup yang strategis tersebut, seperti Bahan Bakar Minyak (BBM) dan Listrik. Sehingga sudah tepatlah bila Pasal 28 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang MIGAS Nomor 22 Tahun 2001, yang menetapkan harga BBM dan gas mengikuti mekanisme pasar bebas, kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusipada tahun 2004;
Namun dengan ditetapkannya Pasal 7 ayat (6a) Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan Tahun 2012 Nomor 4 Tahun 2012, maka akan bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi di atas, dan fungsi negara sebagai pemangku kewajiban melindungi warga negaranya, menjadi terabaikan;
C.  Solusi Kebijakan Publik UU Nomor 4 Tahun 2012 Tentang APBN
Sesuai dengan pembahasan di atas maka solusi dari penulis agar kedepannya harus diadakan Judicial Rewiew mengingat sebagian substansi UU Nomor 4 tahun 2012 ini khususnya Pasal 7 ayat (6) huruf a UU APBN-P Tahun 2012, karena secara formal dilatarbelakangi alasan bahwa penyusunan pasal tersebut bertentangan dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Penulis mengutip pendapat Yusril Ihza Mahendra yang mengatakan, asas-asas hukum dan asas-asas pembuatan peraturan perundang-undangan yang baik, merupakan conditio sine quanon bagi berhasilnya suatu peraturan perundang-undangan yang dapat diterima dan berlaku di seluruh masyarakat Indonesia, karena telah mendapat dukungan landasan filosofis, yuridis, dan sosilogis.
Dalam hal ini jika UU Nomor 4 Tahun 2012 ini dari sudut  dari Sudut filosofis, pembentukan peraturan perundang-undangan seharusnya ditujukan untuk kesejahteraan masyarakat, akan tetapi banyak penolakan dari masyarakat dan bertentangan keputusan MK terhadap Pasal 7 ayat (6) huruf a UU APBN-P Tahun 2012 merupakan indikasi hal tersebut tidak memenuhi syarat filosofis pembentukan peraturan perundang-undangan. Dari sudut sosiologis, peraturan perundang-undangan yang dibentuk haruslah diterima oleh masyarakat. Tetapi bercermin dari protes yang dilancarkan secara masif oleh berbagai elemen masyarakat, menjadi indikasi kuat pasal dalam UU tersebut tidak diterima masyarakat.
“Bercermin dari sudut sosiologis dan filosofis Pasal 7 ayat (6) huruf a Undang-Undang APBN-P Tahun 2012, dari perspektif sosilogis tidak dapat diterapkan oleh pemerintah,” . Sehingga secara materiil bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 23 ayat (1), Pasal 23 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 33 ayat (3) dan ayat (4) UUD 1945,” .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar