Titik tolak pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia sebagai
manifestasi konkrit dari upaya-upaya sadar, bijaksana dan berencana
dimulai pada tahun 1982 dengan dikeluarkannya UU No. 4 tahun 1982
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup. Sebelum
lahirnya undang-undang ini, berbagai peraturan perundangan yang
berkaitan dengan lingkungan hidup masih bersifat parsial-sektoral dimana
masing-masing materi ketentuannya mengacu kepada pengaturan masalah
tertentu secara khusus. Dengan demikian, beberapa ketentuan acapkali
dirasakan tumpang tindih satu sama lain sehingga membawa implikasi yang
luas di bidang kelembagaan dan kewenangan pengaturannya.
(Soetaryono:2000:1)
Sebenarnya sudah cukup banyak peraturan perundangan yang berkaitan
dengan lingkungan hidup sejak zaman kolonial Belanda. Diantaranya yang
terbit dalam bentuk ordonansi adalah Vischerij Ordonantie 1916.
(Danusaputro:1982)(Hardjasoemantri:1991)(Hamzah: 1992)
(Soetaryono:1998). Dibawah ini dibagai dalam beberapa periode peraturan
perundang-undangan terkait dengan lingkungan hidup yang telah
dikeluarkan diantaranya :
Indonesia pada masa kolonial sudah memberlakukan berbagai produk hukum seperti :
- 1. Peraturan tentang Pengeluaran Ternak (Sbld 1912 No. 432)
- 2. Vischerij Ordonantie, 1916 (Ordonansi Penangkapan Ikan)
- 3. Reden Reglemen (Reglemen Bandar) Sbld 1924 No. 500
- 4. Hinder Ordonantie, 1926 (Undang-undang Gangguan)
3. Loods Dients Ordonantie Sbld 1927 No. 62
- 4. Kustvisserij Ordonnantie Sbld 1927 No. 144 (Ordonansi Penangkapan Ikan di kawasan Pesisir)
- 5. Petroleum en Andere Licht Onvlambare Olien (Ordonansi Pengangkutan minyak Tanah) Sbld 1927 No. 214
- 6. Mijn-Politic Reglement No. 341/1930
6. Scheepvart Wet Sbld 1936 Nomor 700
- 7. Peraturan Pendaftaran kapal-kapal Nelayan Laut Asing Sbld 1938 Nomor 201
- 8. Bedrijfserglementeerings Ordonantie, 1938 (Ordonansi Perusahaan)
- 9. Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie (Kringen Ordonansi) Sbld 1939 No. 22
10. Jacht Ordonantie, 1940 (Ordonansi Perburuan)
11. Natuurbeschermings Ordonantie, 1941 (Ordonansi Perlindungan Alam)
Diantara peraturan perundang-undangan tersebut ada yang masih berlaku hingga saat ini seperti Hinder Ordonantie, 1926 (Undang-undang Gangguan). Ordonansi ini banyak digunakan terutama dalam pengurusan persyaratan perizinan.
Setelah masa kemerdekaan hingga menjelang lahirnya UU No. 4 tahun 1982 beberapa produk hukum yang lahir diantaranya :
- 1. Stadtsvormings Ordonantie, 1948 (Ordonansi Pembentukan Kota)
- 2. Undang-undang No. 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-undang Pengawasan Perburuan Tahun 1948 No. 23 dari Republik Indonesia untuk Seluruh Indonesia
- 3. Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Agraria
- 4. Undang-undang No. 44 Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi
- 5. Undang-undang No. 2 Tahun 1961 tentang Impor dan Ekspor Bibit Tanaman
- 6. Undang-undang No. 31 Tahun 1964 tentang Ketentuan Pokok Tenaga Atom
- 7. Undang-undang No. 2 Tahun 1966 tentang Higiene
- 8. Undang-undang No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan
- 9. Undang-undang No. 6 Tahun 1967 tentang Peternakan
10. Undang-undang No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan
11. Undang-undang No. 14 Tahun 1969 tentang Keentuan-ketentuan Pokok Tenaga Kerja
12. Undang-undang no. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja
13. Undang-undang No. 3 Tahun 1972 tentang Transmigrasi
10. Undang-undang No. 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen
11. Undang-undang No. 7 Tahun 1973 tentang Penggunaan Pestisida
12. Undang-undang No. 5 Tahun 1974 tentang Ketentuan Pokok Pemerintah Daerah
13. Undang-undang No. 11 Tahun 1974 tentang Pengairan
14. Undang-undang No. 8 Tahun 1979 tentang Ratifikasi Perjanjian Mengenai Pencegahan Penyebaran Senjata Nuklir
15. dll
Sebagai catatan bahwa sebelum lahirnya Undang-undang No. 4 tahun 1982
ada beberapa hal yang perlu diperhatikan diantaranya pemerintah
Indonesia sudah sejak persiapan dan berakhirnya Konferensi Stockhlom
1972 atau Konferensi PBB mengenai Lingkungan Hidup Manusia (UNCHE) telah
berupaya untuk menginventrisasikan berbagai peraturan
perundang-undangan. Hal ini dilakukan dalam rangka penyusunan initial draft suatu undang-undang lingkungan hidup. Namun ada beberapa kenyataan yang dihadapi yaitu bahwa :
- Berbagai segi atau aspek lingkungan hidup telah secara sporadis diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang telah berlaku.
- Peraturan perundang-undangan tersebut umumnya berorientasi pada pemanfaatan sumberdaya alam.
- Peraturan perundang-undangan tersebut bersifat parsial sektoral.
Dengan demikian rintisan usaha penyusunan konsep rancangan
Undang-undang (RUU) tentang lingkungan hidup pada waktu itu menghadapi
masalah, yaitu bagaimana memasukan wawasan lingkungan hidup secara
komprehensif kedalam suatu peraturan perundang-undangan tentang
lingkungan hidup. Ada dua laternatif yang dapat ditempuh pada waktu itu
yaitu :
- Memperbaharui setiap undang-undang dengan memasukkan wawasan lingkungan ke dalamnya. Alternatif ini berarti bahwa banyak undang-undang yang harus diubah, dan berdasarkan undang-undang yang telah diperbaiki itu kemudian disusun pelaksanaan yang diperlukan. Alternatif ini berarti diperlukan waktu yang lama.
- Disusun satu undang-undang baru yang berwawasan lingkungan yang akan menjadi dasar bagi perbaikan dan penyempurnaan perundang-undangan yang berlaku, sekaligus sebagai dasar penetapan peraturan pelaksanaan baru untuk masing-masing bidang.
Alternatif kedua inilah yang kemudian dipilih. Mengingat bahwa pokok
materi yang harus diatur cakupannya demikian luas maka tidaklah mungkin
mengaturnya secara terinci dalam satu undang-undang. Oleh karena itu
ditempuh cara pengaturan ketentuan pokok yang hanya memuat asas dan
prinsip-prinsipnya. Dengan cara pengaturan demikian undang-undang
tentang lingkungan hidup merupakan ketentuan payung (umbrella provision).
Karena itu Undang-undang No. 4 tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup yang kemudian lahir memiliki
beberapa ciri seperti :
- Sederhana tetapi dapat mencakup kemungkinan perkembangan di masa depan sesuia dengan tuntutan keadaan, waktu dan tempat.
- Mengandung ketentuan-ketentuan pokok sebagai dasar bagi peraturan pelaksanaannya lebih lanjut.
- Mencakup semua bidang di bidang lingkungan hidup agar dapat menjadi dasar bagi pengaturan lebih lanjut bagi masing-maing bidang tsb, yang rencananya akan dituangkan dalam bentuk peraturan tersendiri.
Selain daripada itu UULH ini menjadi landasan untuk menilai dan
menyesuaikan semua peraturan perundang-undangan yang memuat ketentuan
tentang segi-segi lingkungaan hidup yang telah berlaku.
(Soetaryono:2000:3-6).
- Peraturan Perundang-undangan Setelah Lahirnya Undang-undang No. 4 tahun 1982
- 1. Undang-undang No. 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif
- 2. Undang-undang No. 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian
- 3. Undang-undang No. 9 Tahun 1985 tentang Perikanan
- 4. Undang-undang No. 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan
- 5. Undang-undang No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun
- 6. Undang-undang No. 17 Tahun 1985 tentang Ratifikasi UNCLOS
- 7. Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistemnya
- 8. Undang-undang No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja
- 9. Undang-undang No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman
10. Undang-undang No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar budaya
11. Undang-undang No. 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera
12. Undang-undang No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman
13. Undang-undang No. 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran
14. dll
Undang-undang diatas sebagian besar telah mencantumkan UULH No. 4
tahun 1982. Hingga saat ini masih ada Undang-undang yang berlaku dan
belum dicabut sehingga masih menggunakan UU No. 4 tahun 1982.
Beberapa peraturan yang dikeluarkan setelah diadakannya KTT Bumi diantaranya :
- 1. Undang-undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
- 2. Undang-undang No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang
- 3. Undang-undang No. 5 Tahun 1994 tentang Ratifikasi konvensi PBB mengenai keanekaragaman hayati
- 4. Undang-undang No. 6 Tahun 1994 tentang ratifikasi Kerangka Konvensi PBB mengenai Perubahan Iklim
- 5. Undang-undang No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan
- 6. Undang-undang No. 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran
Setelah diadakannya KTT Bumi 1992 beberapa pemikiran untuk
meyempurnakan UU No. 4 tahun 1982 mulai berkembang. Saat itu Kantor
Menteri Negara Lingkungan Hidup (KLH) telah mendeteksi beberapa
permasalahan yang mendorong perlunya penyempurnaan UU No. 4 tahun 1982
yaitu :
- Berkembangnya perhatian masyarakat dunia tentang lingkungan hidup seperti berlangsungnya KTT Bumi di Rio de Janerio 1992.
- Masih banyaknya peraturan pelaksanaan yang belum ditindaklanjuti sehingga sering menjadi hambatan dalam penerapan UULH.
- Meningkatnya peran masyarakat yang menuntut keterbukaan dalam pengelolaan lingkungan hidup.
- Penerapan audit lingkungan yang dirasakan sangat bermanfaat dan belum mendapatkan tempat memadai dalam peraturan perundang-undangan.
- Analisis mengenai dampak lingkungan masih dilihat sebagai formalitas dalam pengelolaan lingkungan, sehingga terjadi kecenderungan meskipun studi analisis mengenai dampak lingkungan telah dibuat namun dalam kenyataan masih banyak usaha dan/atau kegiatan yang mencemarkan lingkungan.
- Kesulitan pembuktian kasus lingkungan sehingga sukar untuk dapat menerapkan ketentuan pidana ex pasal 22 UULH no. 4 tahun 1982 dan belum diaturnya tindak pidana korporasi.
Maka pada tahun 1997 terbitlah Undang-undang Nomor 23 tahun 1997
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Namun demikian sebenarnya UU No.
23 tahun 1997 bukanlah merupakan penyempurnaan dari UU No. 4 tahun 1982.
Hal ini dikarenakan substansi materi UU No. 23 tahun 1997 sudah
mengatur hal-hal yang bersifat teknis.(Soetaryono:2000:16). Dengan
demikian Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 bukanlah Undang-undang payung
(umbrella provisions) seperti halnya Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982.
d. Peraturan Perundang-undangan Setelah Berlakunya UU No. 23 tahun 1997
Setelah berlakunya UU ini berbagai perangkat setingkat UU juga mulai mencantumkan UU No. 23 tahun 1997 diantaranya adalah :
- Undang-undang No. 25 Tahun 1997 tentang Ketenaga Kerjaan
- Undang-undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang jasa Kontruksi
- Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan di Daerah
- Undang-undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah
- Undang-undang Nomor 29 tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman
- Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi
- Undang-undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara
- Undang-undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
- Undang-undang Nomor 27 tahun 2003 tentang Panas Bumi
- Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air
- Undang-undang nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
- Undang-undang Nomor 4 Tahun 2006 tentang Pengesahan Plant Genetic Resources for Food and Agriculture.
- Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
- Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
- Undang-undang Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil
- Undang-undang Nomor 9 Tahun 2008 tentang Penggunaan Bahan Kimia dan Larangan Penggunaan Bahan Kimia Sebagai Senjata Kimia.
- Undang-undang Nomor 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah
- Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah
Dll
Dengan lahirnya Undang-undang nomor 23 tahun 1997 ini nampaknya tidak
juga menyelesaikan persoalan-persoalan yang bersifat laten seperti
pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup. Setelah 12 tahun berlakunya
UU ini kemudian dievaluasi melalui tim yang ditugaskan membentuk
Undang-undang baru. Adapun hasilnya adalah sbb :
1. Mainstreaming lingkungan hidup belum dicapai.
2. Kebijakan pro lingkungan hidup masih merupakan harapan
3. Masyarakat semakin sadar akan pentingnya lingkungan hidup
4. Putusan perkara lingkungan hidup belum memuaskan
5. Keterbatasan kewenangan kelembagaan lingkungn hidup
6. Amdal hanya sekedar dokumen kajian.
7. Keterbatasan kewenangan penyidik pegawai negeri sipil (ppns) dan pejabat pengawas lingkungan hidup (pplh)
8. Kasus lingkungan hidup di daerah sulit dilakukan penegakan hukumnya
9. Issu lingkungan hidup di tataran internasional terus berkembang
Hasil evaluasi ini menjadi sangat penting. Hal ini mendorong Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) periode 2004-2009 yang kemudian menggunakan hak
inisiatif terutama dalam hal penyusunan Undang-undang Lingkungan Hidup
yang baru. Hasilnya adalah terbitnya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Ada beberapa
pertimbangan atau alasan perlunya UU Nomor 23 Tahun 1997 diubah/diganti
diantaranya adalah :
1. Penguatan kewenangan kelembagaan lingkungan hidup.
2. Selama ini terjdi materi yang multi tafsir seperti :
pasal 1 angka 12 à defenisi pencemaran
pasal 18 (1) à usaha/kegiatan berdampak besar dan penting
3. Penguatan atas kewenangan pplh dan ppns
4. Instrumen atur dan awasi serta atur diri sendiri kurang efektif sehingga perlu peningkatan kemampuan atas instrumen ini
5. Amdal masih belum optimal dan diperlukan penguatan salah satu diantaranya melalui sistem registrasi, lisensi dan sertifikasi.
6. Rumusan sanksi administrasi lemah sehingga perlu diperkuat.
7. Dibuatkannya pidana mnimum
8. Prinsip desentralisasi dan demokrasi perlu ditingkatkan
9 Perkembangan penyesuaian atas dinamika dan issu international
10. Asas subsidiaritas perlu disempurnakan.
Maka lahirnya Undang-undang ini menjadi sangat penting. Maka periode baru muncul yaitu periode UUPPLH nomor 32 Tahun 2009.
Ada beberapa peraturan yang berlaku dalam periode ini diantaranya :
- Undang-undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Benda Cagarbudaya.
- Undang-undang Nomor 13 Tahun 2010 tentang Holtikultura
- Undang-undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Permukiman
- dll
Namun sebagai catatan terpenting adalah hingga tahun 2011 yang akan
berakhir, nampaknya peraturan pelaksanaan dari Undang-undang ini yang
berupa Peraturan Pemerintah (PP) belum satupun yang terbit. Akan tetapi
beberapa peraturan dibawahnya sudah diterbitkan baik berupa Peraturan
Menteri (Permen) maupun Keputusan Menteri (Kep Men).
Terlepas dari kendala diatas, Undang-undang LH yang baru ini nampak
lebih keras dan terkesan tegas. Perangkat UU ini juga telah memberikan
berbagai bentuk instrumen baru yang muncul dan berkembang sesuai dengan
dinamika lingkungan hidup yang terus berkembang seiring dengan kebutuhan
zaman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar