PERBEDAAN TEORI DAN KONSEP
·
Tentang
Teori
‘Teori’ – berasal dari kata theoria dalam bahasa Latin
yang berarti ‘perenungan’, yang pada gilirannya berasal dari kata thea dalam
bahasa Yunani yang berarti ‘cara atau hasil pandang— adalah suatu konstruksi di
alam ide imajinatif manusia tentang realitas-realitas yang ia jumpai dalam
pengalaman hidupnya. Adapun yang disebut pengalaman ini tidaklah hanya
pengalaman-pengalaman yang diperoleh manusia dari alam kehidupannya yang
indrawi, tetapi juga diperoleh dari alam kontemplatif-imajinatifnya, khususnya
dalam ilmu pengetahuan yang berobjek manusia dalam kehidupan
bermasyarakatnya. Apapun sumbernya, apakah pengalamannya yang indrawi
ataukah pengalamannya yang kontemplatif-imajinatif murni, teori itu adalah
suatu himpunan konstruksi yang dibangun oleh konsep-konsep yang berada di alam
ide imajinatif manusia,
Berada di alam imajinatif, teori
adalah gambaran atau hasil penggambaran
secara reflektif fenomena yang dijumpai dalam alam pengalaman indrawi
manusia, dibangun dengan bahan-bahan pembangun yang sebagaimana kita ketahui
disebut konsep. Betullah apa yang dikatakan secara ringkas dalam kepustakaan
berbahasa Inggris, bahwa concepts is the building blocks of theories.
Didefinisikan dalam rumusan yang demikian, berbicara tentang ‘teori’, tak pelak
lagi orang niscaya akan diperjumpakan dengan dua macam realitas. Yang
pertama adalah realitas in abstracto yang berada di alam idea yang
imajinatif, dan yang kedua adalah padanannya yang berupa realitas in
concreto yang berada di alam pengalaman yang indrawi. Di dalam bahasa
falsafati, sementara orang mengatakan bahwa realitas pertama disebut ‘realitas
nomenon’ (atau ‘nomena’ apabila jamak), sedangkan yang tersebut kedua disebut
‘realtas fenomenon’ (atau ‘fenomena’ apabila jamak).
Berhakikat sebagai realitas yang
berada di alam nomena yang imajinatif itu, teori hanya bisa dijembatani dengan
padanannya yang berada di alam realitas fenomena, vise versa, bersaranakan simbol-simbol
yang dalam ilmu bahasa disebut ‘kata-kata’ atau rangkaiannya yang disebut
‘kalimat’. Ringkasnya kata, teori itu terdiri dari sehimpunan konsep
berikut rangkaian-rangkaiannya yang disebut ‘hukum’ (dalam artinya yang
umum dan luas). Adapun yang disebut hukum dalam artinya yang umum dan
luas ini tak lain daripada kalimat-kalimat pernyataan tentang adanya
keniscayaan dalam dua rupa. Yang pertama ialah keniscayaan faktual yang berasal
dari hasil amatan indrawi di alam fenomena (disebut nomos atau keteraturan
empirikal yang objektif); sedangkan yang kedua ialah keniscayaan moralitas yang
berasal dari segugus ajaran yang diyakini kebenarannya sebagaimana yang
bermaqom di alam nomena (disebut norma, atau pula aturan yang secara
subjektif membedakan mana yang baik, yang karena itu wajib dijalani, dan mana
pula yang buruk, yang karena itu wajib dijauhi).
Keniscayaan tersebut pertama,
apabila telah teruji dan terverifikasi berdasarkan data ialah ‘informasi yang
dihimpun secara terukur dari alam empirik berdasarkan metode sains’ akan
disebut hukum alam atau hukum kodrat, atau yang didalam bahasa Inggris disebut the
scientific laws of nature. Hukum kodrat adalah suatu rangkaian
kata yang secara afirmatif menyatakan adanya teori tentang ada-tidaknya hubungan
kausal atau korelatif antara fenomenon yang telah dikonsepkan. Misalnya
tentang adanya hubungan antara ‘permintaan atas suatu komoditas’ dan ‘harga
komoditas itu’ ; kian tinggi jumlah ‘permintaan’ akan kian tinggi
pula ‘harga’; demikian sebaliknya, kian rendah jumlah ‘permintaan’ akan
kian rendah pula ‘harga yang ditawarkan’. Teori akan tervalidasi secara
ilmiah manakala konstruksi rasionalnya seperti yang disebutkan di muka itu
konform dengan data empirik yang bisa dan telah diperoleh lewat observasi,
untuk selanjutnya diabstrakkan sebagai asas atau dalil yang akan menjelaskan
sejumlah amatan yang serupa, di manapun dan kapanpun, yang terjadi di alam
fenomena.
Berbeda dengan keniscayaan tersebut
pertama, keniscayaan tersebut kedua tidaklah memerlukan verifikasi pembenaran
dari konsep-konsep yang diperoleh sebagai hasil observasi. Alih-alih,
kebenaran keniscayaan tersebut kedua ini berpangkal pada konsep-konsep abstrak
yang disebut bahan-bahan ajaran, yang hadirnya sebagai realitas tidaklah dibenarkan
atas otoritas data empirik melainkan, melainkan atas dasar asas-asas yang
diyakini sebagai ‘yang telah benar dengan sendirinya (self-evident)’.
Kalaupun toh diperlukan dasar pembenar yang lebih bersifat in personam,
amatlah lazim kalau orang mengklaim bahwa asas-asas itu datang dari sumber
kekuasaan yang teramat sentral, baik yang abstrak (wahyu Tuhan atau tradisi
ajaran nenek moyang) ataupun yang lebih kongkrit dan struktural (titah raja
atau putusan suatu badan legislatif).
Mana yang akan dipilih dan diyakini
sebagai dasar pembenar pengetahuan berikut teori-teori yang dibangun olehnya
itu akan tergantung dari paradigmanya. Paradigma yang mensyaratkan
kebenaran pengetahuan itu mesti didasarkan pada kebenaran faktual yang
diperoleh dari hasil amatan indrawi yang aktual akan disebut paradigma
nomotetik atau kebenaran fenomenologik, sedangkan paradigma kedua yang
mensyaratkan agar kebenaran pengetahuan itu harus diniscayakan
berdasarkan ajaran moral, entah yang bersumber wahyu entah pula yang bersumber
tradisi akan disebut kebenaran normatif atau kebenaran menologik.
Sehubungan dengan kontroversi antara dua ragam dasar pembenar pengetahuan yang
disebut paradigma itu, maka memperbincangkan kebenaran pengetahuan dan/atau
teori-teorinya itu, tak pelak lagi, orang mestilah akan juga memperbincangkan
ihwal ‘paradigma’. Apakah paradigma itu? Semua pemahaman itu tergantung
paradigma mereka masing-masing yang menentukannya. Sedangkan konsep adalah;
·
Tentang Konsep
Dalam bahasa sehari-hari, apa yang
disebut ‘konsep’ itu tak lain daripada ‘kata’. Di sebut dalam batasan tertentu
yang definitif, apa yang disebut konsep secara umum ini tak lain daripada
apa yang disebut ‘terma’ dalam logika dan apa yang disebut ‘istilah’ dalam
setiap perbincangan keilmuan. Apapun sebutannya dalam berbagai
perbincangan, secara umum dapatlah dikatakan per definisi bahwa ‘konsep’ itu
ialah simbol tertentu yang digunakan sebagai representasi objek yang diketahui
dan/atau dialami oleh manusia dalam kehidupan bermsyarakatnya. Sebagai
simbol bermakna, setiap konsep bermukim di alam numenon, ialah alam
ide yang imajinatif, sedangkan objek yang diwakili berada di alam phenomenon,
ialah alam fakta-aktual yang indrawi.
Dalam ilmu pengetahuan sosial,
objek-objek yang terjumpai dalam kehidupan sosial pun harus dibataskan secara
definitif kedalam konsep-konsep, dan persoalan yang berkenaan dengan taraf
abstraksinya akan pula mesti diperhatikan. Hanya saja, cukup berbeda dari
kajian-kajian ilmu hayat dengan objek hewan atau tumbuh-tumbuhan yang lebih
kasat mata, kajian-kajian ilmu pengetahuan sosial akan lebih banyak berkenaan
dengan objek-objek yang tak secara langsung berkategori kasat mata. Kelas
sosial (yang atas, yang tengah atau yang bawah, misalnya adalah konsep yang tak
bisa dibataskan berdasarkan kerja “sekali amatan yang direk”, melainkan mesti
dikerjakan dengan memperhatikan tengara-tengaranya (the signs) yang
manifes di alam indrawi, yang oleh sebab itu dapat didatakan; misalnya tingkat
pendapatannya, tingkat pendidikan dan keterpelajarannya, tingkat kekayaannya,
dan apapun lainnya lagi.
Berbeda dengan ilmu hayat atau ilmu
alam kodrat lainnya, yang seabstrak apapun simbol-simbol yang dipakai sebagai
konsep, selalu saja konsep-konsep itu gampang menunjukkan objek-objek
rujukannya dengan sekali amatan, tidaklah demikian halnya dengan kajian ilmiah
yang berobjek manusia berikut masyarakatnya. Akan diketahui nanti
bagaimana dalam kajian dengan objek manusia dan/atau masyarakatnya ini baik yang
dikenali sebagai ilmu pengetahuan sosial maupun yang dikenali sebagai ilmu
hukum. Konsep-konsep yang dikembangkan akan condong lebih bersifat abstrak,
imajinatif, dan merupakan konstruksi-konstruksi rasional dalam alam pikiran
daripada lebih bersifat hasil abstraksi yang berpadanan langsung dengan objek
yang terjumpai sebagai fenomenon/na di alam indrawi ini. Dengan
demikian, ilmu pengetahuan sosial dan ilmu hukum itu boleh dikatakan lebih
gampang dicenderungkan ke gambarannya yang ideal dengan blue-sky concepts-nya
daripada kajian-kajian ilmu alam kodrat (natural and life sciences) yang
nyata lebih down to earth, punya padanannya yang nyata dan direk di alam
indrawi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar