Minggu, 13 Oktober 2013

PERBEDAAN TEORI DAN KONSEP


PERBEDAAN TEORI DAN KONSEP

·          Tentang Teori
‘Teori’ – berasal dari kata theoria dalam bahasa Latin yang berarti ‘perenungan’, yang pada gilirannya berasal dari kata thea dalam bahasa Yunani yang berarti ‘cara atau hasil pandang— adalah suatu konstruksi di alam ide imajinatif manusia tentang realitas-realitas yang ia jumpai dalam pengalaman hidupnya.  Adapun yang disebut pengalaman ini tidaklah hanya pengalaman-pengalaman yang diperoleh manusia dari alam kehidupannya yang indrawi, tetapi juga diperoleh dari alam kontemplatif-imajinatifnya, khususnya dalam ilmu pengetahuan yang berobjek manusia dalam kehidupan bermasyarakatnya.  Apapun sumbernya, apakah pengalamannya yang indrawi ataukah pengalamannya yang kontemplatif-imajinatif murni, teori itu adalah suatu himpunan konstruksi yang dibangun oleh konsep-konsep yang berada di alam ide imajinatif manusia,  
Berada di alam imajinatif, teori adalah gambaran atau hasil penggambaran  secara reflektif fenomena yang dijumpai dalam alam pengalaman indrawi manusia, dibangun dengan bahan-bahan pembangun yang sebagaimana kita ketahui disebut konsep. Betullah apa yang dikatakan secara ringkas dalam kepustakaan berbahasa Inggris, bahwa concepts is the building blocks of theories.  Didefinisikan dalam rumusan yang demikian, berbicara tentang ‘teori’, tak pelak lagi orang niscaya akan diperjumpakan dengan dua macam realitas.  Yang pertama adalah realitas in abstracto yang berada di alam idea yang imajinatif, dan yang kedua adalah padanannya yang berupa realitas in concreto yang berada di alam pengalaman yang indrawi.  Di dalam bahasa falsafati, sementara orang mengatakan bahwa realitas pertama disebut ‘realitas nomenon’ (atau ‘nomena’ apabila jamak), sedangkan yang tersebut kedua disebut ‘realtas fenomenon’ (atau ‘fenomena’ apabila jamak).
Berhakikat sebagai realitas yang berada di alam nomena yang imajinatif itu, teori hanya bisa dijembatani dengan padanannya yang berada di alam realitas fenomena, vise versa, bersaranakan simbol-simbol yang dalam ilmu bahasa disebut ‘kata-kata’ atau rangkaiannya yang disebut ‘kalimat’.  Ringkasnya kata, teori itu terdiri dari sehimpunan konsep berikut rangkaian-rangkaiannya yang disebut ‘hukum’ (dalam artinya yang umum dan luas).  Adapun yang disebut hukum dalam artinya yang umum dan luas ini tak lain daripada kalimat-kalimat pernyataan tentang adanya keniscayaan dalam dua rupa. Yang pertama ialah keniscayaan faktual yang berasal dari hasil amatan indrawi di alam fenomena (disebut nomos atau keteraturan empirikal yang objektif); sedangkan yang kedua ialah keniscayaan moralitas yang berasal dari segugus ajaran yang diyakini kebenarannya sebagaimana yang bermaqom di alam nomena (disebut norma, atau pula aturan yang secara subjektif membedakan mana yang baik, yang karena itu wajib dijalani, dan mana pula yang buruk, yang karena itu wajib dijauhi).
Keniscayaan tersebut pertama, apabila telah teruji dan terverifikasi berdasarkan data ialah ‘informasi yang dihimpun secara terukur dari alam empirik berdasarkan metode sains’ akan disebut hukum alam atau hukum kodrat, atau yang didalam bahasa Inggris disebut the scientific laws of nature.  Hukum kodrat adalah suatu rangkaian kata yang secara afirmatif menyatakan adanya teori tentang ada-tidaknya hubungan kausal atau korelatif antara fenomenon yang telah dikonsepkan.  Misalnya tentang adanya hubungan antara ‘permintaan atas suatu komoditas’ dan ‘harga komoditas itu’ ; kian tinggi jumlah ‘permintaan’ akan kian tinggi pula ‘harga’; demikian sebaliknya, kian rendah jumlah ‘permintaan’ akan kian rendah pula ‘harga yang ditawarkan’.  Teori akan tervalidasi secara ilmiah manakala konstruksi rasionalnya seperti yang disebutkan di muka itu konform dengan data empirik yang bisa dan telah diperoleh lewat observasi, untuk selanjutnya diabstrakkan sebagai asas atau dalil yang akan menjelaskan sejumlah amatan yang serupa, di manapun dan kapanpun, yang terjadi di alam fenomena.
Berbeda dengan keniscayaan tersebut pertama, keniscayaan tersebut kedua tidaklah memerlukan verifikasi pembenaran dari konsep-konsep yang diperoleh sebagai hasil observasi.  Alih-alih, kebenaran keniscayaan tersebut kedua ini berpangkal pada konsep-konsep abstrak yang disebut bahan-bahan ajaran, yang hadirnya sebagai realitas tidaklah dibenarkan atas otoritas data empirik melainkan, melainkan atas dasar asas-asas yang diyakini sebagai ‘yang telah benar dengan sendirinya (self-evident)’.  Kalaupun toh diperlukan dasar pembenar yang lebih bersifat in personam, amatlah lazim kalau orang mengklaim bahwa asas-asas itu datang dari sumber kekuasaan yang teramat sentral, baik yang abstrak (wahyu Tuhan atau tradisi ajaran nenek moyang) ataupun yang lebih kongkrit dan struktural (titah raja atau putusan suatu badan legislatif).
Mana yang akan dipilih dan diyakini sebagai dasar pembenar pengetahuan berikut teori-teori yang dibangun olehnya itu akan tergantung dari paradigmanya.  Paradigma yang mensyaratkan kebenaran pengetahuan itu mesti didasarkan pada kebenaran faktual yang diperoleh dari hasil amatan indrawi yang aktual akan disebut paradigma nomotetik atau kebenaran fenomenologik, sedangkan paradigma kedua yang mensyaratkan agar  kebenaran pengetahuan itu harus diniscayakan berdasarkan ajaran moral, entah yang bersumber wahyu entah pula yang bersumber tradisi akan disebut kebenaran normatif atau kebenaran menologik.  Sehubungan dengan kontroversi antara dua ragam dasar pembenar pengetahuan yang disebut paradigma itu, maka memperbincangkan kebenaran pengetahuan dan/atau teori-teorinya itu, tak pelak lagi, orang mestilah akan juga memperbincangkan ihwal ‘paradigma’.  Apakah paradigma itu? Semua pemahaman itu tergantung paradigma mereka masing-masing yang menentukannya. Sedangkan konsep adalah;
·          Tentang Konsep
            Dalam bahasa sehari-hari, apa yang disebut ‘konsep’ itu tak lain daripada ‘kata’. Di sebut dalam batasan tertentu yang definitif,  apa yang disebut konsep secara umum ini tak lain daripada apa yang disebut ‘terma’ dalam logika dan apa yang disebut ‘istilah’ dalam setiap perbincangan keilmuan.  Apapun sebutannya dalam berbagai perbincangan, secara umum dapatlah dikatakan per definisi bahwa ‘konsep’ itu ialah simbol tertentu yang digunakan sebagai representasi objek yang diketahui dan/atau dialami oleh manusia dalam kehidupan bermsyarakatnya.  Sebagai simbol bermakna, setiap konsep bermukim di alam numenon, ialah alam ide yang imajinatif, sedangkan objek yang diwakili berada di alam phenomenon, ialah alam fakta-aktual yang indrawi.
Dalam ilmu pengetahuan sosial, objek-objek yang terjumpai dalam kehidupan sosial pun harus dibataskan secara definitif kedalam konsep-konsep, dan persoalan yang berkenaan dengan taraf abstraksinya akan pula mesti diperhatikan.  Hanya saja, cukup berbeda dari kajian-kajian ilmu hayat dengan objek hewan atau tumbuh-tumbuhan yang lebih kasat mata, kajian-kajian ilmu pengetahuan sosial akan lebih banyak berkenaan dengan objek-objek yang tak secara langsung berkategori kasat mata.  Kelas sosial (yang atas, yang tengah atau yang bawah, misalnya adalah konsep yang tak bisa dibataskan berdasarkan kerja “sekali amatan yang direk”, melainkan mesti dikerjakan dengan memperhatikan tengara-tengaranya (the signs) yang manifes di alam indrawi, yang oleh sebab itu dapat didatakan; misalnya tingkat pendapatannya, tingkat pendidikan dan keterpelajarannya, tingkat kekayaannya, dan apapun lainnya lagi.   
Berbeda dengan ilmu hayat atau ilmu alam kodrat lainnya, yang seabstrak apapun simbol-simbol yang dipakai sebagai konsep, selalu saja konsep-konsep itu gampang menunjukkan objek-objek rujukannya dengan sekali amatan, tidaklah demikian halnya dengan kajian ilmiah yang berobjek manusia berikut masyarakatnya.  Akan diketahui nanti bagaimana dalam kajian dengan objek manusia dan/atau masyarakatnya ini baik yang dikenali sebagai ilmu pengetahuan sosial maupun yang dikenali sebagai ilmu hukum. Konsep-konsep yang dikembangkan akan condong lebih bersifat abstrak, imajinatif, dan merupakan konstruksi-konstruksi rasional dalam alam pikiran daripada lebih bersifat hasil abstraksi yang berpadanan langsung dengan objek yang terjumpai sebagai fenomenon/na di alam indrawi ini.  Dengan demikian, ilmu pengetahuan sosial dan ilmu hukum itu boleh dikatakan lebih gampang dicenderungkan ke gambarannya yang ideal dengan blue-sky concepts-nya daripada kajian-kajian ilmu alam kodrat (natural and life sciences) yang nyata lebih down to earth, punya padanannya yang nyata dan direk di alam indrawi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar