Gugatan
Class Action atau gugatan perwakilan kelompok adalah suatu tata cara
pengajuan gugatan, dalam mana satu orang atau lebih yang mewakili
kelompok mengajukan gugatan untuk diri atau diri-diri mereka sendiri dan
sekaligus mewakili kelompok orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki
kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota
kelompok dimaksud. Sementara itu yang dimaksud dengan Wakil kelompok
adalah satu orang atau lebih yang menderita kerugian yang mengajukan
gugatan dan sekaligus mewakili kelompok orang yang lebih banyak
jumlahnya.
Menurut Mas Acmad Santosa menyebutkan Class Action pada intinya adalah gugatan perdata (biasanya terkait dengan permintaan injuntction atau
ganti kerugian) yang diajukan oleh sejumlah orang (dalam jumlah yang
tidak banyak -- misalnya satu atau dua orang) sebagai perwakilan kelas (class repesentatif)
mewakili kepentingan mereka, sekaligus mewakili kepentingan ratusan
atau ribuan orang lainnya yang juga sebagai korban. Ratusan atau ribuan
orang yang diwakili tersebut diistilahkan sebagai class members . (Mas Acmad Santosa)
Class action adalah
sekelompok besar orang yang berkepentingan dalam suatu perkara, satu
atau lebih dapat menuntut atau dituntut mewakili kekompok besar orang
tersebut tanpa perlu menyebut satu peristiwa satu anggota yang diwakili. (Black’s law dictionary)
Class action
bisa merupakan suatu metode bagi orang perorangan yang mempunyai
tuntutan sejenis untuk bergabung bersama mengajukan tuntutan agar lebih
efisien, dan seseorang yang akan turut serta dalam class action harus
memberikan persetujuan kepada perwakilan.
Hal
ini berarti bahwa kegunaan class action secara mendasar antara lain
adalah efisiensi perkara, proses berperkara yang ekonomis, menghindari
putusan yang berulang-ulang yang dapat berisiko adanya putusan
inkonsistensi dalam perkara yang sama.
Setiap
warga negara memiliki hak yang sama di hadapan hukum dan ia pun berhak
untuk membela hak-nya apabila ia merasa dirugikan oleh pihak lain. Hal
ini menjadi dasar pemikiran diadakannya aturan gugatan perdata. Secara
umum model gugatan perdata ada dua macam yaitu gugatan yang dilakukan di
luar pengadilan dikenal dengan sebutan nonlitigasi, sedangkan gugatan
yang dilakukan melalui peradilan disebut litigasi. Oleh karena itu,
gugatan perdata bisa menjadi dasar diselenggarakannya pengadilan
perdata.
Gugatan perdata atas pelanggaran hubungan perdata dapat dilakukan dengan dua cara.
1. Oleh orang yang bersangkutan atau ahli warisnya.
2. Sekelompok orang yang mempunyai kepentingan yang sama (class action).
Gugatan dengan prosedur gugatan perwakilan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1. Numerosity,
yaitu gugatan tersebut menyangkut kepentingan orang banyak, sebaiknya
orang banyak itu diartikan dengan lebih dari 10 orang; sehingga tidaklah
efektif dan efisien apabila gugatan dilakukan sendiri-sendiri atau
bersama-sama dalam satu gugatan.
2. Commonality,
yaitu adanya kesamaan fakta (question of fact) dan kesamaan dasar hukum
(question of law) yang bersifat subtansial, antara perwakilan kelompok
dan anggota kelompok; misalnya pencemaran; disebabkan dari sumber yang
sama, berlangsung dalam waktu yang sama, atau perbuatan melawan hukum
yang dilakukan oleh tergugat berupa pembuangan limbah cair di lokasi
yang sama, dll.
3. Tipicality,
yaitu adanya kesamaan jenis tuntutan antara perwakilan kelompok dan
anggota kelompok; Persyaratan ini tidak mutlak mengharuskan bahwa
penggugat mempunyai tuntutan ganti rugi yang sama besarnya, yang
terpenting adalah jenis tuntutannya yang sama, misalnya tuntutan adanya
biaya pemulihan kesehatan, dimana setiap orang bisa berbeda nilainya
tergantung tingkat penyakit yang dideritanya.
4. Adequacy of Representation, yaitu perwakilan kelompok merupakan perwakilan kelompok yang layak, dengan memenuhi beberapa persyaratan:
- harus memiliki kesamaan fakta dan atau dasar hukum dengan anggota kelompok yang diwakilinya;
- memiliki bukti-bukti yang kuat;
- jujur;
- memiliki kesungguhan untuk melindungi kepentingan dari anggota kelompoknya;
- mempunyai sikap yang tidak mendahulukan kepentingannya sendiri disbanding kepentingan anggota kelompoknya; dan
- sanggup untuk menanggulangi membayar biaya-biaya perkara di pengadilan.
Surat gugatan, selain harus memenuhi syarat formil sebagaimana diatur dalam Hukum Acara Perdata, harus memuat:
- identitas lengkap dan jelas,
- definisi kelompok secara secara rinci dan spesifik;
- keterangan tentang anggota kelompok;
- posita dari seluruh kelompok;
- jika tuntutan tidak sama karena sifat dan kerugian yang berbeda, maka dalam satu gugatan dapat dikelompokkan beberapa bagian atau sub kelompok;
- tuntutan atau petitum ganti rugi, mekanisme pendistribusian dan usulan pembentukan tim.
Gugatan
didaftarkan ke peradilan umum, segera setelah hakim memutuskan bahwa
pengajuan gugatan kelompok dinyatakan sah, wakil kelompok memberitahukan
kepada anggota kelompok melalui media cetak/ elektronik, kantor
pemerintah atau langsung kepada anggota kelompok.
Setelah
pemberitahuan dilakukan, anggota kelompok dalam jangka waktu tertentu
diberi kesempatan menyatakan keluar dari keanggotaan kelompok.
Seterusnya proses persidangan sesuai dengan ketentuan yang telah diatur
dalam Hukum Acara Perdata.
PERKEMBANGAN CLASS ACTION DI INDONESIA
Class action sesungguhnya lebih dikenal oleh negara-negara yang menganut system hukum common law daripada di negaranegara yang menganut sistem civil law. Hal ini karena dalam sejarah dan perkembangannnya class action untuk pertama kalinya diperkenalkan di Inggris, negara yang melahirkan sistem hukum common law.
Pada perkembangannya negara-negara persemakmuran Inggris kemudian
menganutnya. Sedangkan negara-negara yang tidak menganut system hukum common law,
seperti halnya Amerika dan Indonesia pada umumnya hanya mengadopsi dan
disesuaikan dengan sistem hukum yang berlaku di negaranya masing-masing.
Sejarah class action di Indonesia dibagi menjadi 2 periode :
- Before recognition
- After recognition
Yang
menjadi tolak ukur dari pengakuan class action adalah dengan
dikeluarkannya UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup.
1. Before Recognition of Class Action
Sebelum
tahun 1997, meskipun belum ada aturan hukum yang mengatur mengenai
class action, namun gugatan class action sudah pernah dipraktekkan dalam
dunia peradilan di Indonesia. Gugatan class action yang pertama di
Indonesia dimulai pada tahun 1987 terhadap Kasus R.O. Tambunan melawan
Bentoel Remaja, Perusahaan Iklan, dan Radio Swasta Niaga Prambors.
Perkara Bentoel Remaja yang diajukan di PN Jakarta Pusat. Dalam
gugatannya, Pengacara R.O. Tambunan mendalilkan dalam gugatannya bahwa
ia tidak hanya mewakili dirinya sebagai orang tua dari anaknya namun
juga mewakili seluruh generasi muda yang diracuni karena iklan
perusahaan rokok Bentoel.
Menyusul
kemudian Kasus Muchtar Pakpahan melawan Gubernur DKI Jakarta &
Kakanwil Kesehatan DKI (kasus Endemi demam Berdarah) di PN Jakarta Pusat
pada tahun 1988. Dalam kasus ini pengacara Muchtar Pakpahan selaku
penggugat mendalilkan bahwa ia bertindak untuk kepentingan diri sendiri
sebagai korban wabah demam berdarah maupun mewakili masyarakat penduduk
DKI Jakarta lainnya yang menderita wabah serupa.
Selain
itu Kasus YLKI melawan PT. PLN Persero (kasus pemadaman listrik se-Jawa
Bali tanggal 13 April 1997) pada tahun 1997 di PN Jakarta Selatan.
Dari
ketiga kasus class action di atas sayangnya tidak ada satupun gugatan
yang dapat diterima oleh pengadilan dengan pertimbangan :
- Gugatan class action bertentangan dengan adagium hukum yang berlaku bahwa tidak ada kepentingan. Hal ini diperkuat dalam yurisprudensi MA dalam putusannya pada tahun 1971 yang mengisyaratkan bahwa gugatan harus diajukan oleh orang yang memiliki hubungan hukum.
- Pihak penggugat tidak berdasarkan pada suatu Surat Khusus, dalam 123 HIR disebutkan bahwa untuk dapat mewakili pihak lain yang tidak ada hubungan hukum diperlukan suatu Surat Khusus.
- Belum ada hukum positif di Indonesia yang mengatur mengenai gugatan class action, baik soal definisi maupun prosedural mengajukan gugatan class action ke pengadilan
- Bahwa class action lebih didominasi di negara yang menganut stelsel hukum Aglo Saxon, sementara tradisi hukum di Indonesia lebih dominann dipengaruhi oleh stelsel hukum eropa kontinental.
2. After Recognition of Class Action
Class Action dalam
Hukum Positif di Indonesia baru diberikan pengakuan setelah
diundangkannya UU Lingkungan Hidup pada tahun 1997 kemudian diatur pula
dalam UU Perlindungan Konsumen dan UU Kehutanan pada tahun 1999. Namun
pengaturan Class Action hanya terbatas dan diatur dalam
beberapa pasal saja. Selain itu ketiga UU tersebut tidak mengatur secara
rinci mengenai prosedur dan acara dalam gugatan perwakilan kelompok (Class Action). Sebelum tahun 2002, gugatan secara class action umumnya
dilakukan tanpa adanya mekanisme pemberitahuan bagi anggota kelompok
dan pernyataan keluar dari anggota kelompok. Gugatan secara class action dilaksanakan melalui prosedur yang sama dengan gugatan perdata biasa.
Ketentuan yang secara khusus mengenai acara dan prosedur Class Action baru
diatur pada tahun 2002 dengan dikeluarkannya PERMA No. I Tahun 2002
tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok. Dalam PERMA No. 1 Tahun 2002
mengatur tentang kewajiban pemberitahuan bagi wakil kelompok dan membuka
kesempatan keluar dari gugatan class action bagi anggota kelompok (opt out).
A. UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
Dalam
pasal 37 ayat 1 UU No. 23 Tahun 1997 disebutkan bahwa masyarakat berhak
mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan dan/atau melaporkan ke
penegak hukum mengenai berbagai masalah lingkungan hidup yang merugikan
perikehidupan masyarakat.
Dalam
penjelasan pasal 37 ayat (1) menyebutkan bahwa yang dimaksud hak
mengajukan gugatan perwakilan pada ayat ini adalah hak kelompok kecil
masyarakat untuk bertindak mewakili masyarakat dalam jumlah besar yang
dirugikan atas dasar kesamaan permasalahan, fakta hukum, dan tuntutan
yang ditimbulkan karena pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
B. UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Pasal
46 ayat 1 huruf b UU No. 8 Tahun 1999 menyebutkan bahwa gugatan atas
pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh kelompok konsumen yang
mempunyai kepentingan yang sama. Selanjutnya dalam penjelasan Pasal 46
ayat 1 Huruf b menjelaskan bahwa Undang-undang ini (Perlindungan
Konsumen) mengakui gugatan kelompok atau class action. Gugatan kelompok atau class action harus
diajukan oleh konsumen yang benar-benar dirugikan dan dapat dibuktikan
secara hukum, salah satu diantaranya adalah adanya bukti transaksi.
C. UU No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi
Dalam
pasal 38 ayat 1 UU No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi disebutkan
bahwa masyarakat yang dirugikan akibat penyelenggaraan pekerjaan
konstruksi berhak mengajukan gugatan ke pengadilan secara :
(a) orang perorangan;
(b) kelompok orang dengan pemberian kuasa;
(c) kelompok orang tidak dengan kuasa melalui gugatan perwakilan.
Sedangkan
dalam penjelasan pasal 38 ayat (1) UU No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa
Konstruksi disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “hak mengajukan gugatan perwakilan”
adalah hak sekelompok kecil masyarakat untuk bertindak mewakili
masyarakat dalam jumlah besar yang dirugikan atas dasar kesamaan
permasalahan, faktor hukum, dan ketentuan yang ditimbulkan karena
kerugian atau gangguan sebagai akibat kegiatan penyelenggaraan pekerjaan
konstruksi.
Dalam
pasal 39 UU No. 18 Tahun 1999 disebutkan bahwa gugatan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 38 ayat (1) adalah tuntutan untuk melakukan
tindakan tertentu dan/atau berupa biaya atau
pengeluaran nyata, dengan tidak menutup kemungkinan tuntutan lain sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Penjelasan
pasal 39 UU No. 18 Tahun 1999 disebutkan bahwa khusus gugatan
perwakilan yang diajukan oleh masyarakat tidak dapat berupa tuntutan
membayar ganti rugi, melainkan hanya terbatas gugatan lain, yaitu :
· Memohon
kepada pengadilan agar salah satu pihak dalam penyelenggaraan pekerjaan
konstruksi untuk melakukan tindakan hukum tertentu yang berkaitan
dengan kewajibannya atau tujuan dari kontrak kerja konstruksi;
· Menyatakan
seseorang (salah satu pihak) telah melakukan perbuatan melawan hukum
karena melanggar kesepakatan yang telah ditetapkan bersama dalam kontrak
kerja konstruksi;
· Memerintahkan
seseorang (salah satu orang) yang melakukan usaha/kegiatan jasa
konstruksi untuk membuat atau memperbaiki atau mengadakan penyelamatan
bagi para pekerja jasa konstruksi.
D. UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
Pengaturan mengenai gugatan class action dalam UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan diatur dalam Pasal 71 ayat 1 yang menyatakan bahwa masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan dan atau melaporkan ke penegak hukum terhadap kerusakan hutan yang merugikan kehidupan masyarakat.
E. Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok
PERMA No. 1 Tahun 2002 merumuskan Gugatan Perwakilan Kelompok (Class Action)
sebagai suatu prosedur pengajuan gugatan, dimana satu orang atau lebih
yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk dirinya sendiri dan
sekaligus mewakili sekelompok orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki
kesamaan fakta atau kesamaan dasar hukum antara wakil kelompok dan
anggota kelompoknya.
PERMASALAHAN GUGATAN CLASS ACTION DI INDONESIA
Proses adopsi prosedur class action tersebut ternyata banyak menimbulkan masalah dalam prakteknya, karena peraturan yang telah mengadopsi ketentuan class action tersebut menentukan bahwa hukum acara yang dipergunakan adalah hukum acara yang berlaku di Indonesia dalam hal ini adalah Het Herziene Indonesisch Regelement (HIR) dan Regelement op de Burgelijk Rechtsvordering (RBg), padahal HIR dan RBg tidak mengenal prosedur class action.
Permasalahn yang timbul akibat tidak adanya ketentuan mengenai prosedur class action ini terlihat dari beberapa putusan pengadilan yang memeriksa dan mengadili gugatan perdata yang menggunakan prosedur class action. Hasil kajian dari tim ICEL pada tahun 2002
terhadap beberapa kasus class action yang
sedang atau dalam proses di peradilan sebelum terbitnya PERMA No. 1
Tahun 2002 tentang acara gugatan perwakilan kelompok, menemukan beberapa
permasalahan yang sering terjadi dalam praktek gugatan class action di peradilan di Indonesia, antara lain :
a. Tentang surat kuasa dari anggota kelompok kepada perwakilan kelompok.
Dari
keseluruhan putusan pengadilan yang dianalisa, dapat dicatat bahwa
bantahan pertama yang sering dikemukakan oleh tergugat terhadap
penggunaan prosedur class action adalah tidak adanya
surat kuasa dari anggota kelompok kepada anggota kelompok. Dalam
ketentuan hukum acara perdata yang berlaku (HIR/RBg) mensyaratkan bahwa
untuk dapat bertindak sebagai wakil atau kuasa, seseorang harus
memperoleh suart kuasa istimewa dari orang/pihak yang diwakilinya.
b. Tentang surat gugatan.
Dalam surat gugatan yang diajukan pada umumnya tidak menjelaskan karakteristik dari sebuah gugatan yang menggunakan prosedur class action,
dalam hal ini tidak mendeskripsikan secara jelas definisi kelas, posita
gugatan tidak menjelaskan secara rinci dan jelas kesamaan tentang fakta
dan hukum serta kesamaan tuntutan antara wakil kelompok dengan anggota
kelompok, serta tata cara pendistribusian ganti kerugian. Di samping
itu, dalam menentukan wakil kelompok, penggugat cenderung mengajukan
jumlah wakil kelompok dalam jumlah yang besar. Hal ini akan menyulitkan
penggugat dalam membuktikan adanya unsur kesamaan kepentingan antara
wakil kelompok dengan anggota kelompok.
c. Mempersamakan gugatan class action dengan gugatan legal standing.
Dalam beberapa putusan baik penggugat, tergugat maupun pengadilan masih terjebak pada pemikiran bahwa gugatan dengan prosedur class action adalah identik dengan gugatan atas dasar hak gugat LSM atau “NGO’s standing to sue”.
d. Tentang prosedur acara pemeriksaan.
Penentuan pengakuan atau keabsahan dari suatu gugatan yang menggunakan prosedur class action dalam
berbagai putusan, dilakukan dalam tahap pemeriksaan yang berbeda-beda.
Ada yang mengesahkan penggunaan prosedur ini diperiksa dan diputus pada
akhir putusan bersama-sama dengan pokok perkara, sedangkan pada putusan
perkara lainnya diputus pada tahapan putusan sela.
e. Tentang notifikasi atau pemberitahuan.
Belum
adanya aturan atau petunjuk mengenai tata cara pengadilan dalam
memeriksa dan mengadili perkara gugatan perdata melalui prosedur class action,
mengakibatkan perintah notifikasi atrau pemberitahuan (yang dalam
sistem hukum negara lain merupakan suatu kewajiban) tidak menjadi suatu
prioritas atau suatu keharusan.
f. Tentang implemantasi putusan pengadilan dalam hal distribusi ganti kerugian.
Dalam pengajuan gugatan secara class action, yang khususnya mengajukan tuntutan ganti rugi berbentuk uang, posita penggugat tidak secara jelas tentang usulan mekanisme distribusi ganti kerugian.
Dengan
lahirnya PERMA No. 1 Tahun 2002 tentang acara gugatan perwakilan
kelompok, sebagai suatu terobosan hukum diharapkan di masa datang dapat
mengatasi permasalahan dan memenuhi kebutuhan hukum dalam praktek
pengajuan dan pemeriksaan gugatan class action di
Indonesia.
PROSEDUR GUGATAN CLASS ACTION
A. PERMOHONAN PENGAJUAN GUGATAN SECARA CLASS ACTION
Selain
harus memenuhi persyaratanpersyaratan formal surat gugatan yang diatur
dalam Hukum Acara Perdata yang berlaku seperti mencantumkan identitas
dari pada para pihak, dalil-dalil konkrit tentang adanya hubungan hukum
yang merupakan dasar serta alasan-alasan dari pada tuntutan (fundamentum petendi), surat gugatan perwakilan kelompok (class action ) harus memuat hal-hal sebagai berikut :
1. Identitis lengkap dan jelas wakil kelompok.
Identitas biasanya memuat nama, pekerjaan dan alamat lengkap.
2. Definisi kelompok secara rinci dan spesifik, walaupun tanpa menyebutkan nama anggota kelompok satu persatu.
3. Keterangan tentang anggota kelompok yang diperlukan dalam kaitan dengan kewajiban melakukan pemberitahuan.
4. Posita dari
seluruh kelompok baik wakil kelompok maupun anggota kelompok, yang
teridentifikasi maupun tidak teridentifikasi yang dikemukakan secara
jelas dan terperinci. Penggugat harus menjelaskan aspek kesamaan kepentingan yaitu factor kesamaan fakta, kesamaan dasar hukum dan kesamaan tuntutan yang digunakan sebagai dasar gugatan. Selain itu penggugat memberikan usulan tentang mekanisme pendistribusian ganti kerugian dan usulan tentang pembentukan komisi yang akan membantu kelancaran pendistribusian ganti kerugian
5.
Dalam suatu gugatan dapat dikelompokkan beberapa bagian kelompok atau
sub-kelompok, jika tuntutan tidak sama karena sifat dan kerugian yang
berbeda.
6. Tuntutan atau petitum tentang
ganti rugi harus dikemukakan secara jelas dan rinci memuat usulan
tentang mekanisme atau tata cara pendistribusian ganti kerugian kepada
keseluruhan anggota kelompok.
B. PROSES SERTIFIKASI ATAU PEMBERIAN IJIN
Berdasarkan permohonan pengajuan gugatan secara class action tersebut,
pengadilan kemudian memeriksa apakah wakil tersebut dijinkan untuk
menjadi wakil kelompok, apakah syarat-syarat untuk mengajukan gugatan class action sudah terpenuhi, dan apakah class action merupakan prosedur yang tepat dalam melakukan gugatan dengan kepentingan yang sama tersebut.
C. PEMBERITAHUAN
Setelah
hakim memutuskan bahwa pengajuan tata cara gugatan perwakilan kelompok
dinyatakan sah, hakim memerintahkan kepada penggugat/pihak yang
melakukan class action untuk mengajukan usulan model
pemberitahuan untuk memperoleh persetujuan hakim. Setelah usulan model
tersebut disetujui oleh hakim maka penggugat dengan jangka waktu yang
ditentukan oleh hakim melakukan pemberitahuan kepada anggota kelompok.
Pemberitahuan
kepada anggota kelompok adalah mekanisme yang diperlukan untuk
memberikan kesempatan bagi anggota kelompok untuk menentukan apakah
mereka menginginkan untuk ikut serta dan terikat dengan putusan dalam
perkara tersebut atau tidak menginginkan yaitu dengan cara menyatakan
keluar (opt out) dari keanggotaan kelompok.
Dalam pemberitahuan tersebut juga memuat batas waktu anggota kelas untuk keluar dari keanggotaan (opt out), lengkap dengan tanggal dan alamat yang dituju untuk menyatakan opt out. Dengan demikian pihak yang menyatakan keluar dari keanggotaan kelompok tidak terikat dengan putusan dalam perkara tersebut.
Menurut
pasal 1 huruf PERMA No. 1 Tahun 2002 yang melakukan pemberitahuan
kepada anggota kelompok adalah panitera berdasarkan perintah hakim. Cara
pemberitahuan kepada anggota kelompok dapat dilakukan melalui media
cetak dan atau elektronik, kantor-kantor pemerintah seperti kecamatan,
kelurahan atau desa, kantor pengadilan, atau secara langsung kepada
anggota yang bersangkutan sepanjang dapat diindentifikasi berdasarkan
persetujuan hakim.
Pemberitahuan
wajib dilakukan oleh penggugat atau para penggugat sebagai wakil
kelompok kepada anggota kelompok pada tahap-tahap :
1. Segera
setelah hakim memutuskan bahwa pengajuan tata cara gugatan perwakilan
kelompok dinyatakan sah (pada tahap ini harus juga memuat mekanisme
pernyataan keluar).
2. Pada
tahap penyelesaian dan pendistribusian ganti kerugian ketika gugatan
dikabulkan. Namun apabila dalam proses pemeriksaan, pihak tergugat
mengajukan perdamaian maka pihak Penggugat untuk dapat menerima atau
menolak tawaran perdamaian tersebut juga harus melakukan pemberitahuan
kepada anggota kelompoknya.
Berdasarkan PERMA No. 1 Tahun 2002, Pemberitahuan yang dilakukan harus memuat :
- Nomor gugatan dan identitas penggugat atau para penggugat sebagai wakil kelompok serta pihak tergugat atau para tergugat;
- Penjelasan singkat tentang kasus;
- Penjelasan tentang pendefinisian kelompok;
- Penjelasan dari implikasi keturutsertaan sebagai anggota kelompok;
- Penjelasan tentang kemungkinan anggota kelompok yang termasuk dalam definisi kelompok untuk keluar dari keanggotaan kelompok;
- Penjelasan tentang waktu yaitu bulan, tanggal, jam, pemberitahuan penyataan keluar dapat diajukan ke pengadilan;
- Penjelasan tentang alamat yang ditujukan untuk mengajukan penyataan keluar;
- Apabila dibutuhkan oleh anggota kelompok tentang siapa dan tempat yang tersedia bagi penyedian informasai tambahan;
- Formulir isian tentang pernyataan keluar anggota kelompok sebagaimana yang diatur dalam lampiran PERMA No. 1 Tahun 2002;
- Penjelasan tentang jumlah ganti rugi yang akan diajukan.
Menurut Mas Acmad Santosa apabila class action tidak menyangkut tuntutan uang (monetary damages) dan hanya mengajukan permintaan deklaratif atau injuction, pemberitahuan (notice) terhadap anggota kelompok (untuk mendapatkan rekonfirmasi) tidak perlu dilakukan. Namun apabila tuntutan menyangkut ganti rugi dalam bentuk uang, pemberitahuan kepada masyarakat atau masing-masing anggota kelompok untuk mengambil sikap (opt in atau opt out) harus disampaikan. Opt in adalah mekanisme dimana anggota kelompok memberikan penegasan bahwa mereka benar-benar merupakan bagian dari class action. Sedangkan Opt ot adalah kesempatan untuk anggota kelompok menyatakan diri keluar dari class action apabila tidak menghendaki menjadi bagian dari gugatan.
PERMA No. 1 Tahun 2002 sendiri hanya mengatur mengenai pemberitahuan dan pernyataaan keluar (opt out), sedangkan mengenai pernyataan yang menyatakan sebagai bagian class action (opt in) tidak diatur. Pada mekanisme pemberitahuan ini membuka kesempatan bagi anggota kelompok untuk menyatakan diri keluar dari class action apabila tidak menghendaki menjadi bagian dari gugatan.
Dalam
PERMA No. 1 Tahun 2002 disebutkan bahwa pernyataan keluar adalah suatu
bentuk pernyataan tertulis yang ditandatangani dan diajukan kepada
pengadilan dan/atau pihak penggugat oleh anggota kelompok yang
menginginkan diri keluar dari keanggotaan gerakan perwakilan kelompok /class action . Pihak yang menyatakan diri keluar dari keanggotaan gerakan perwakilan kelompok /class action,
maka secara hukum tidak terikat dengan putusan atas gugatan tersebut.
Sedang pihak lain (penggugat pasif) yang tidak menyatakan keluar (tidak opt out) akan terikat dalam putusan class action tersebut, baik gugatan dikabulkan maupun gugatan tidak dikabulkan. Dalam hal tuntutan class action ditolak, penggugat pasif ini tidak dapat lagi mengajukan gugatan untuk kasus yang sama. Sebaliknya jika tuntutan class action dikabulkan ia berhak menerima ganti kerugian yang ditetapkan.
D. PEMERIKSAAN DAN PEMBUKTIAN DALAM CLASS ACTION
Proses pemeriksaan dan pembuktiaan dalam gugatan class action adalah sama seperti dalam perkara perdata pada umumnya seperti :
1. Pembacaan surat gugatan oleh penggugat;
2. Jawaban dari tergugat;
3. Replik atau tangkisan Penggugat atas jawaban yang telah disampaikan oleh Tergugat;
4. Duplik atau jawaban Tergugat atas tanggapan penggugat dalam replik;
5. Pembuktian yang merupakan penyampaian bukti-bukti dan mendengarkan saksi-saksi;
6. Kesimpulan yang merupakan resume dan secara serentak dibacakan oleh kedua belah pihak.
Namun karena gugatan yang akan diperiksa adalah gugatan class action, ada beberapa hal yang memerlukan pemeriksaan lebih khusus lagi seperti :
- Pemeriksaan apakah wakil yang maju dianggap jujur dan benar-benar mewakili kepentingan kelompok. Pemeriksaan ini tidak hanya dilakukan pada saat sertifikasi akan tetapi juga dilakukan pada tahap pemeriksaan, dengan cara memberikan kesempatan kepada anggota kelompok untuk mengajukan keberatan terhadap wakil kelompok yang maju di persidangan. Atas dasar keberatan ini, hakim dapat mengganti wakil kelompok ini dengan yang lain. Sebelum wakil kelompok diganti, maka ia tidak boleh mengundurkan terlebih dahulu.
- Pemeriksaan apakah ada persamaan dalam hukum dan fakta serta tuntutan pada seluruh anggota kelompok.
- Pembuktian khusus untuk membuktikan masalah yang sama yang menimpa banyak orang.
- Mekanisme pembagian uang ganti kerugian untuk sejumlah besar uang.
E. PELAKSANAAN PUTUSAN
Setelah
proses pemeriksaan telah selesai selanjutnya hakim menjatuhkan suatu
putusan. Sama halnya dengan putusan hakim dalam perkara perdata biasa
maka putusan hakim dalam gugatan class action dapat berupa putusan yang mengabulkan gugatan penggugat ( baik sebagian maupun seluruhnya) atau menolak gugatan penggugat.
Dalam
hal gugatan ganti kerugian dikabulkan, hakim wajib memutuskan jumlah
kerugian secara rinci, penentuan kelompok dan atau sub-kelompok yang
berhak menerima, mekanisme pendistribusian ganti kerugian dan
langkahlangkah yang wajib ditempuh oleh wakil kelompok dalam proses
penetapan dan pendistribusian.
Pada dasarnya eksekusi putusan perkara gugatan class action dilakukan
atas perintah dan di bawah pimpinan Ketua Pengadilan atas permohonan
pihak yang menang seperti diatur dalam hukum acara perdata. Namun
mengingat bahwa eksekusi putusan harus dilakukan sesuai dengan amar
putusan dalam perkara yang bersangkutan, sedangkan dalam amar putusan
gugatan class action yang mengabulkan gugatan ganti kerugian
memuat pula perintah agar penggugat melakukan pemberitahuan kepada
anggota kelompok, serta perintah pembentukan komisi independen yang
komposisi keanggotaannya ditentukan dalam amar putusannya guna membantu
kelancaran pendistribusian, maka eksekusi dilakukan setelah diadakannya
pemberitahuan kepada anggota kelompok, komisi telah terbentuk, tidak
tercapai kesepakatan anatara kedua belah pihak tentang penyelesaian
ganti kerugian dan tergugat tidak bersedia secara sukarela melaksanakan
putusan.
Dalam
eksekusi tersebut paket ganti kerugian yang harus dibayar oleh tergugat
akan dikelola oleh komisi yang secara administratif di bawah koordinasi
panitera pengadilan agar pendistribusian uang ganti kerugian dapat
berjalan dengan lancar sesuai dengan besarnya kerugian yang dialami oleh
kelompok.
F. PERDAMAIAN
Dalam gugatan class action dimungkinkan terjadi perdamaian (dading)
antara penggugat dengan tergugat. Hakim berkewajiban mendorong para
pihak untuk menyelesaikan perkara dimaksud melalui perdamaian, baik pada
awal persidangan maupun selama berlangsungnya pemeriksaan perkara
(pasal 6 PERMA No. 1 Tahun 2002 ). Sebelum dilakukan upaya perdamaian dalam class action,
pihak penggugat (wakil kelompok) harus mendapatkan persetujuan dari
anggota kelompok. Persetujuan ini dapat menggunakan mekanisme
pemberitahuan. Umumnya upaya perdamaian dilakukan di luar proses persidangan. Apabila pihak penggugat (wakil kelompok) dan tergugat sepakat dilakukan perdamaian maka diantara para pihak dilakukan perjanjian perdamaian. Lazimnya perjanjian perdamaian dibuat secara tertulis di atas kertas bermaterai.
Berdasarkan perjanjian perdamaian antara kedua belah pihak maka hakim menjatuhkan putusannya (acte van vergelijk)
yang isinya menghukum kedua belah pihak mematuhi isi perdamaian yang
telah dibuat. Kekuatan putusan perdamaian sama dengan putusan biasa dan
dapat dilaksanakan seperti putusan-putusan lainnya. Dalam hal para pihak
sepakat melakukan perdamaian maka tidak dimungkinkan upaya banding.
Dikutip dari sumber buku:
- Mas Achmad Santosa, Konsep dan Penerapan Gugatan Perwakilan Kelompok (Class Action), Jakarta, ICEL, 1997.
(Z.F Lubis, SE, SH)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar